18. BBM | Malam yang Mengerikan

3 0 0
                                    


Warning! Cerita ini mengandung unsur dewasa. Diharapkan kebijaksanaan pembaca.

HAPPY READING, BABY!

***

"Ya Ayah," Ricky masuk ke ruangan sang ayah, dan langsung mengambil posisi duduk di sofa yang ada ditengah ruang kerjanya.

"Kau tidak perlu memanjakannya seperti itu," tegas Ridwan kepada putranya.

"Perlakukan dia seperti cleaning servise lainnya!" sambung sang ayah.

Ricky terus diam. Dia tidak mengeluarkan satu kata pun meski hatinya mulai geram.

"Aku tak ingin ada skandal, Ric! Kau tau, aku ingin pernikahanmu dengan Alya di percepat sebelum wanita polos itu menjatuhkanmu!"

"Ayah kesini hanya untuk mengatakan itu kepadaku?" akhirnya kalimat itu keluar dari mulutnya.

"Jangan bodoh, Ricky!" tegas Ridwan.

"Ayah sudah cukup tua untuk mengurusi hidupku dan percintaanku. Lebih baik jaga kesehatanmu, ayah."

Setelah mengucapkan demikian, Ricky berdiri untuk keluar ruangan yang bertuliskan Direktur. Dia tak ingin memperpanjang perdebatan lagi dengan ayahnya.

"Permisi Pak," Karen berdiri dihadapan Ricky setelah menunjukkan jam 6 sore. "Izin pulang lebih dulu Pak, saya mau menjemput putriku  ditempat les."

"Silakan, Karen. Saya masih disini sebentar."

Jam 7 malam, Ricky masih saja disibukkan oleh pekerjaannya. Memang benar katanya Karen —ayahnya datang di kantor. Hari ini adalah pertemuan pertama dengan ayahnya setelah kejadian makan malam itu. Tapi ayahnya masih saja bersikeras untuk memintanya menikahi Alya. Ah, ralat. Ridwan memerintahkan putra tunggalnya menikahi putri rekan bisnisnya.

Tidak bisa di biarkan! Ricky membatin saat sampai diruangannya. Wajahnya memancarkan kemarahan disana. Dia sudah cukup dewasa mengatur jalan hidupnya. Bahkan, percintaannya.

"Apa ada sesuatu masalah Pak?" Aril bertanya seraya mendekat dengan atasannya itu. Meski merasa takut akan tindakannya itu, tapi entah keberanian apa yang kini ia miliki.

Ricky menggebrak meja dengan kaki kanannya dan kedua tangannya menyingkirkan apapun diatas mejanya. Berbagai dokumen penting berserakan di lantai, telepon kantor, maupun ponselnya terlempar entah kemana, pot bunga pecah belah.

Amarahnya meledak. Dia tidak bisa mengontrol dirinya. Dia mengangkat komputer yang ada disudut mejanya, namun...

"Ricky, stop it, please,"

Aril memeluk dari belakang pinggang laki-laki yang kini sedang melampiaskan kemarahannya pada fasilitasnya sendiri.

Perlahan, Ricky menurunkan komputer yang ada digenggamannya. Badannya yang tadinya sedikit membungkuk sekarang berdiri tegap saat menyadari lingakaran tangan mungil mengelilingi  pinggangnya. Dengan tangisan kecil penuh ketakutan, Aril memperkuat pelukannya.

"Berhenti marahnya, Ricky."

"Hiks, hikss,"

Hening. Ricky masih mematung ditempatnya. Sedangkan Aril terus menangis sambil menenggelamkan wajahnya di punggungnya Ricky.

Pelan-pelan, Ricky menggenggam tangan Aril yang masih setia di pinggangnya. Dia lepaskan, lalu berhadapan dengan tubuh Aril.

Kemudian laki-laki itu mengangkat tubuh Aril diatas meja kerjanya yang kini tak ada apapun kecuali komputer. Gadis itu berhenti menangis dan tidak berani menatap dalam matanya Ricky.

"Thanks baby," ucap Ricky lembut seraya merapikan rambut gadis itu.

Waktu seolah berhenti, suasana seperti ini sangat terasa canggung. Mata coklat milik Ricky bertemu dengan mata teduh milik Aril. Wajah Ricky kini semakin dekat dan dekat.

Baby, Be Mine!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang