Pintu rumah depan itu dibuka lebar dengan suara yang keras.
Disana tepat dihadapan pintu. Menampilkan seorang cowok bertubuh tegap yang memiliki mata setajam burung elang.
Dengan gigi yang bergemelatuk menahan amarah dalam dirinya yang siap kapan saja akan meledak. Tatapannya datar, namun siapa sangka dalam dirinya menahan emosi yang menyala.
Cowok dengan kaos lengan pendek berwarna hitam, jeans warna senada dengan jaket hitam yang di dipunggungnya bertuliskan 'NAGALA' berwarna putih itu memasuki rumahnya dengan perasaan yang campur aduk tidak karuan.
Cowok itu mengumpat dalam hati, kaki tegapnya melangkah menuju ruang tamu. Dimana keluarganya tengah berkumpul disana.
Ketika kakinya sudah menginjakan kaki di ruang tamu. Semua pasang mata menatap ke arahnya. Disana hanya ada kedua orang tuanya dan juga seorang lelaki remaja berusia limabelas tahun yang semuanya duduk menunggu kedatangan dirinya.
"Akhirnya kamu pulang juga, Galandra." suara laki-laki mengintrupsi cowok bernama Galandra. Yang bernotabe sebagai anak lelaki pertama mereka.
Dengan langkah tegas dan wajah dingin lelaki itu. Cowok yang dipanggil Galandra itu mendekat ke arah kedua orang tuanya duduk.
"Duduk." Perintah Abran, ayah dari Galandra dan juga ayah dari laki-laki remaja berusia limabelas tahun itu. Galandra duduk disebelah mamahnya yang bernama Ayumi.
"Dengarkan baik-baik Galandra. Kamu harus siap dan menerima keputusan papah dan mamah. Walau memang pasti berat untuk kamu," ujar Ayumi lembut pada anaknya.
Galandra hanya mendengarkan dengan raut datarnya, walaupun didalam lubuk hatinya dia menahan amarah. Cowok itu memang sudah mengetahui apa yang telah direncanakan kedua orang tuanya, dia hanya ingin mendengarnya langsung dari mulut mereka.
"Saya pindahkan kamu ke SMA Internasional Aksara." tutur dari Abran sontak membuat Galandra membelalak. Suara giginya semakin terdengar keras karena saking kuatnya dis menahan emosi.
Bagaimana bisa dia dipindahkan tanpa persetujuan darinya. Bahkan Abran tidak pernah membicarakan ini dulu dengannya sebelumnya. Tidak, Galandra tidak akan pernah mau.
Dia merasa tidak pernah ada harganya dimata kedua orang tuanya. Dia merasa bahwa orang tuanya tidak pernah menghargai apa yang diinginkannya.
Semua hidupnya selalu diatur, tanpa pernah sekalipun menanyakan bagaimana keadaannya dan apa yang dia mau. Semuanya diatur dan dia harus menerima mentah-mentah keputusan sialan itu.
Galandra berdiri dengan raut wajah merah padam. "Nggak bisa gitu dong pah, papah ambil keputusan tanpa bilang dulu ke Galandra!" ucap Galandra geram. Nada suaranya sedikit meninggi. Membuat pria paruh baya itu ikut tersulut emosi.
Abran lantas ikut berdiri dan menghadap anaknya.
"Berani kamu meninggikan nada suaramu, Galandra!" Ayumi yang melihat kedua lelakinya berdebat pun langsung mendekat ke arah suaminya. Menyentuh pundak Abran dan mengusapnya lembut, berusaha menenangkan suaminya itu agar tidak lepas kendali.
"Tenang pah," ujarnya, pandangannya beralih menatap Galandra. "Galandra, kamu harus nurut sama keputusan papah kamu. Semua yang kami lakukan semata-mata hanya untuk yang terbaik buat kamu" Ayumi lalu menuntun Abran duduk lagi agar pria itu tidak kembali emosi.
"Kamu itu sebagai kakak harus jadi panutan yang baik. Bukannya malah melawan!" Abran kembali membuka suara.
Galandra mengerutkan kening. "Mamah bilang apa tadi? Semua yang kalian lakuin itu demi yang terbaik buat Galandra? Terbaik dimana? Jelas-jelas keputusan kalian itu sangat jauh berbeda dengan keinginan aku!" Jelasnya penuh penekanan.
KAMU SEDANG MEMBACA
AYYARA [Revisi]
Teen Fiction"Aku bisu." "Aku tidak bisa berjalan." "Ayahku telah meninggal dan aku dianggap pembunuh oleh keluargaku sendiri." "Ibuku tak pernah menyayangiku, dia hanya menyayangi adik-ku." "Hingga aku dipertemukan dengan tiga lelaki yang membuat perasaanku men...