Part 26. Tragedi Berdarah

1.2K 58 3
                                    

     Aku merasa ada yang tak beres dengan suamiku. Ada apa dengannya yang mendadak harus terbang ke Jakarta. Malam itu, setelah kutitipkan duo kembarku pada Mama, aku memesan tiket pesawat terpagi ke Jakarta.
      Untungnya, iphone milik Mas Dani dengan iphone ku tersambung. Dengan mengaktifkan find iphone, aku bisa mengetahui dimana posisi suamiku berada. Bandara masih tampak belum begitu ramai setelah subuh. Final call seluruh penumpang membuatku berlalu terburu masuk kedalam ruang tunggu dan langsung berlari menyusuri garbarata, masuk kedalam pesawat berlogo merah itu.
     Sepanjang 60menit penerbangan, aku berharap semoga semuanya yang akan terjadi baik-baik saja dan menemui titik terang. Tak pernah aku tahu suamiku seperti ini. Suamiku beberapa hari terakhir tampak lebih cemas, dan sering melamun. Ada apa dengannya?. Tiap aku cek isi ponselnya, tak ada yang mencurigakan.
   Keluar dari bandara Soetta aku segera memesan taksi dan menuju titik lokasi suamiku berada.
"Ini masih jauh ngga, Pak? Kok di pinggir pantai ya..." kataku sambil menunjukkan ponselku pada driver taksi.
"Oh ini sih kayaknya emang di sekitaran ruko di PIK, Bu .. Disana kan banyak kantor banyak tempat makan juga..tempat dagang lah. Saya antar kesana ya, Bu" tutur si driver.
    Aku ikuti saja kemana taksi itu melangkah. Selama diperjalanan driver ini bersikap sopan dan informatif sekali. Bahkan ketika harus melewati jalan tikus sebab beberapa titik macet, driver sangat sigap. Maka aku meminta dia melanjutkan perjalanan bersamaku hari ini. Kubayar dia seperti carter mobil harian selepas tarif taksi online.
"Bu, ini udah masuk areal di maps. Ini saya tunggu Ibu dimana?" Tanya driver.
"Deket sini aja, Pak. Bapak jangan kemana-mana ya. Saya minta tolong, karena saya bukan orang Jakarta, dan saya lagi nyari suami saya"
"Ibu tenang saja. Saya tunggu. Selesaikan urusan Ibu. Ibu bisa telpon saya sewaktu-waktu kalau butuh bantuan. Saya parkir dibawah pohon ini ya, Bu" terang driver itu.
   Dengan langkah gamang aku keluar dari mobil dan melihat kesana kemari. Aku lihat di maps posisi ponsel suamiku tak jauh dari sekitar sini.
    Sebuah resto menghadap pantai mencuri perhatianku sebab titik maps ku terhenti disana. Resto itu masih tutup. Namun pintu utamanya tampak sedikit terbuka. Suasana resto yang masih tutup itu tampak temaram. Resto berkonsep tropis itu sepi, tak ada orang. Namun sayup aku dengar suara derap langkah dari lantai atas resto ini. Disusul suara tembakan.
    Jantungku berdegup kencang, aku takut bila diatas ada suamiku. Dengan mengendap endap aku melangkah keatas, kulepas sepatuku agar tak menimbulkan suara. Kuintip dari celah tirai pembatas.
   Betapa kagetnya aku, kulihat suamiku dan Musab berdiri berhadapan, dengan tangan Musab membawa pistol. Ingin aku berlari dan membawa pergi suamiku namun aku tak mau gegabah. Justru hal ini akan membahayakan nyawaku dan suamiku. Musab tampak acak-acakan dan tak setampan sebersih dahulu.
    Segera kutelpon driver taksi tadi dengan suara pelan. Kuminta dia menelpon polsek terdekat dengan berita ada percobaan pembunuhan di resto yang sedang tutup ini. Driver taksi menyanggupi bahkan menawarkan diri untuk masuk kedalam namun aku cegah. Kudengar percakapan Musab dan Mas Dani dalam bahasa Inggris. Mereka berdua terlibat cekcok hebat. Aku tak percaya Musab tega melakukan ini semua menuntut balas lebih tepatnya dendam kasih tak sampai yang masih terbawa hingga kini.
    Jantungku hampir copot ketika melihat Musab mengacungkan pistolnya didepan Mas Dani. Kakiku gemetar, ingin rasanya menangis namun aku harus mampu melawan. Aku tak mau kehilangan pria yang aku cintai ini, suamiku, sebelah nyawaku. Kubuka tirai dan berlari kearah Mas Dani.
"Jangaaaaaaaann!!! Musab!!! What are you doing?!!Don't be stupid bastard!" Bentakku.
"Im stupid im dying because of you!! Hahaha!! Tell to your husband, i will kill him. Sesaat lagi" Musab mengacungkan pistol. Tercium aroma alkohol dari mulut Musab. Pasti dia habis mabuk.
"Tak akan kubiarkan kau menghancurkan keluargaku,menginjak harga diriku!" Sahut Mas Dani melindungiku, menyuruhku bersembunyi dibalik tubuhnya yang kekar.
"Musab! Apapun ancaman yang kau lakukan, termasuk kau akan membuka masa lalu suamiku atau hingga reputasi suamiku hancur, aku tak peduli!" bentakku.
    Aku melangkah mendekati Musab sementara Mas Dani mencoba menarik tanganku.
"Apa maumu, Musab? Kalau kau dendam padaku, jangan lakukan pada suamiku. Aku yang memilih kembali kepadanya karena kami masih saling mencintai dan memang dia takdirku, aku terima apapun masa lalunya"
"Kalau kau marah padaku, benci padaku tembak aku! Ingat, kau punya ibu orang Indonesia dan keluarga besar di Jakarta yang akan malu setengah mati kalau sampai tindakan konyolmu ini beredar di media massa! Apa kau mau menambah daftar kesalahanmu di berbagai negara?!" Sergahku.
     Musab tampak tak acuh, kini pistol itu berdiri tepat didepan jidatku. Aku hanya memohon keselamatan pada Allah dan bila memang hari ini takdir usiaku habis, aku rela demi suamiku. Kuharap Mas Dani ridho agar pintu surga terbuka untukku. Tak tampak lagi tatapan mata Musab yang penuh kelembutan dan kasih sayang seperti dahulu. Ia menatapku penuh ambisi, bagai singa yang siap menerkam mangsa hidup-hidup didepan matanya. Tak sedikitpun tangan Musab merendah turun, justru tangannya semakin bergerak mendekati pelatuh pistol. Kupejamkan mata sembari berkali-kali kuucap syahadat namun dari lubuk hati aku berharap semoga polisi lekas datang.
   Musab lalu menarik tubuhku, memaksaku terbenam dalam pelukannya sementara pistol masih tetap berada didekat kepalaku.
"Jangan sakiti Sarah!! Bajingan kau!!!"
"Jangan mendekat!! Sekali kamu berani mendekat kuhabisi kalian berdua sekarang juga! Hahahaaaaaa"
      Dalam ingatanku aku ingat pesan almarhum Papa suatu hari ketika aku gagal dalam beasiswa S2 tahap pertama. Papa memberiku nasehat "Nduk, hidup itu utamanya adalah berjuang. Terus berjuanglah untuk cita-citamu, hidupmu. Karena hidup dan nyawa manusia itu sangat berharga. Jadilah manusia yang tak lelah terus berjuang dan jadi manusia yang bermanfaat. Kamu boleh lelah kalau nyawa sudah tak ada. Berjuanglah".
      Mengingat kembali pesan papa, semangatku melawan Musab kembali bergelegak. Aku harus memperjuangkan hidupku, hidup suamiku dan anak anakku. Tubuh Musab yang tinggi dan besar sementara aku hanya sebatas bahunya tentu sedikit menyulitkanku untuk melawan tubuhnya. Dalam gemetar takutku, kucoba melihat sekeliling benda apa yang bisa kuraih untuk melumpuhkan bajingan dari Inggris ini. Lawan! Lawan!.
      Entah kudapat tenaga dari mana aku mampu menggigit sekuat tenaga pergelangan tangan Musab hingga berdarah dan ia mengaduh kesakitan, lalu kutendang kemaluannya sekuatku hingga badanku terlepas. Aku berlari menghampiri Mas Dani dan ...
"DORRRRRR!!!!" .
     Waktu serasa berjalan begitu lambat bagai film yang diputar dengan slow motion. Aku terperangah seiring dengan tumbangnya Mas Dani terjatuh ke lantai. Darah mengalir dari sisi kiri bahunya. Bajingan bangsat itu menembak suamiku!. Tangisku tumpah ruah menjadi-jadi. Tubuh Mas Dani melemas. Kuraih kepalanya dalam pangkuanku.
"Pii.. Papi denger Mami kan... Piii yang kuaaaaaat...." kataku sambil berderai airmata. Mas Dani mengangguk.
"Sumpal darahku, Mi... Ajak aku bicara terus biar gak turun kesadaranku..." Pintanya.
    Bersamaan dengan itu dari arah pintu masuk segerombolan polisi bersenjata lengkap langsung mengepung lokasi dan mengarahkan pistol kepada Musab. Polisi menyuruh Musab untuk menyerahkan diri dan meletakkan senjata. Namun Musab justru melepaskan tembakan ke salah satu polisi. Beruntung polisi itu memakai rompi anti peluru. Rupanya polisi tahu bahwa Musab punya rekam jejak buruk di kepolisian Inggris dan telah menyiapkan serangkaian skenario penangkapan Musab.
     Musab melarikan diri , mencoba melompat pagar pembatas resto yang langsung terjun ke rawa mangrove. Polisi dengan jumlah lebih dari 5 orang itu tak kalah gesit. Mereka bergerak memencar dan melepaskan tembakan diudara. Sementara driver taksi datang membantuku membawa Mas Dani yang semakin lemah kondisinya.
    Satu mobil polisi diluar resto sudah bersiap siaga. Melihatku dan driver taksi yang tampak kesulitan menggotong Mas Dani, polisi itu membantu dan membawa kami ke rumah sakit. Didalam mobil polisi, Mas Dani tak sadarkam diri. Darah yang mengalir dari bahu kirinya terus mengucur walau sudah kusumpal dengan kain seadanya di resto itu.
"Ya Allah selamatkan suamiku.... Papi... Kuat... Papi pasti bisa... kuat ya, Sayang.., anak-anak nunggu di rumah, Sayang..." rintihku sambil terus memegangi tangannya yang dingin dan pucat.
^^^
    Siang itu juga berita penembakan yang dilakukan oleh warga negara Inggris terhadap seorang dokter bedah sekaligus influencer tersebar di media online dan televisi nasional. Mas Iqbal dan mama siang itu juga mendarat di Jakarta dan membantuku menghadapi permasalahan ini. Dering telepon dan whatsapp bertubi-tubi masuk ke ponselku dari kerabat dan relasi. Mas Iqbal pasang badan sebagai juru bicaraku saat para wartawan bergerombol datang menyerbu RS tempat Mas Dani dirawat. Kulihat di beberapa akun gosip di media sosial ramai memberitakan peristiwa ini dengan judul yang terlalu dibuat-buat. Ingin aku membuat klarifikasi, tapi belum saatnya. Kesehatan Mas Dani lebih utama. Ia baru saja  keluar dari ruang operasi untuk mengeluarkan peluru yang bersarang di bahu kirinya. Mas Dani memerlukan dua kantung darah sebab ia kehabisan banyak darah. Syukurnya operasi berjalan lancar, namun Mas Dani belum melewati masa kritisnya. Ia masih belum sadarkan diri.
    Aku sendiri masih shock dengan kejadian ini. Cobaan masih terus datang di rumah tangga kami. Beruntung aku masih memiliki mama yang selalu menguatkanku dan  Mas Iqbal yang melindungiku.
"Keira dan Keenan gimana, Ma?" tanyaku.
"Mereka aman sama Mbak Naya.. Mama titipkan mereka di rumah masmu, tentu akan lebih aman dan terjamin. Sore ini, ayah dan ibu mertuamu akan nyusul ke Jakarta. Mereka juga kaget dengar kabar ini" tutur mama.
"Mas Dani belum sadar, Ma... huhuuuu... aku takut jadi janda lagi... huuuuuhuuu" tangisku luruh dipelukan mama. Pelukan abadi yang sedari kecil selalu menenangkanku inilah yang menguatkanku.
"Doa... doa yang banyak, Nak. Banyak wirid dan fatihah untuk kesembuhan suamimu... Jangan pernah putus. Kamu harus kuat. Istri yang kuat maka suaminya akan kuat" tutur Mama. Aku mengangguk pilu. Tak sanggup membayangkan bagaimana hidupku tanpa Mas Dani. Dengan segala kekurangan dan kelebihannya, aku mencintainya, aku menerima takdirku sebagai istrinya. Selama pernikahan tak pernah sekalipun ia berkata kasar padaku. Ia memuliakanku sebagai istrinya walau ia sempat pernah salah jalan.
  Suamiku..lekaslah sadar, Sayang.. Aku tak akan bisa jalani hidup ini tanpa kamu.. Kamu belahan jiwaku. Bagaimana bisa aku hidup bila hanya dengan sebelah nyawa dan jiwa yang tak lagi utuh?

*kurang satu part lagi dah abis ya guys... aku udah siapin cerita chicklit lain yang siap kalian baca setelah serial CTPSJ ini*

Cinta (Tak Pernah) Salah Jalan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang