Part 15. Denting Hati.

1.2K 72 4
                                    


Surabaya, Musim Penghujan.

           Dua tahun bukan waktu yang sebentar bagiku untuk menata kembali masa depan dan juga perasaanku. Dua tahun juga aku mencoba berdiri, melupakan, memaafkan diriku, memaafkan masa laluku, dan berdamai dengan keadaan. Bila gundah kembali melanda, aku segera mengambil wudhu, lalu shalat sunnat.
          Saat perasaan rindu yang kembali menyergap dan mengunci seluruh ruang hatiku, hanya satu tempat yang sanggup aku kunjungi untuk mencurahkan semua rasa. Seperti pesan ibunya sebelum berangkat dua tahun silam, aku akan sering mengunjunginya. Anakku Danisa, papi menyesali semua yang telah terjadi. Papi kehilanganmu, kehilangan ibumu. Papi kehilangan perhiasaan terindah papi karena kesalahan fatal papi.
       Siang ini aku kembali mendatangi makam Danisa. Di sebelah makam Danisa, kini terdapat satu makam yang tampak masih baru dengan nama nisan yang aku kenal. Farid Fauzie, kini telah menyatu dengan tanah. Kanker rektum yang telah metastasis ke seluruh organ tubuhnya akhirnya merenggut nyawanya. Aku sempat bertemu dia di hari terakhirnya sesaat sebelum ia meninggal, ia mengucapkan maaf padaku, juga meminta maafkan kepada Sarah. Farid meninggal tanpa ada saudara atau keluarga disisinya. Hanya beberapa teman dan tetangganya yang ikut dalam proses pemulasaraan jenazahnya. Bahkan di hari-hari terakhirnya, ia hanya dirawat tetangganya saja. Sungguh menyedihkan di sisa hidupnya. Ya Rabb, ampuni Farid, ampuni aku.
"Danisa sayangnya papi, andai kamu masih ada nak.... sekarang kamu pasti tumbuh lucu sekali.... tenang disana ya, Nak... Nanti kita bertemu lagi" ucapku.
         Ya Tuhan, dua tahun sudah berlalu rupanya belum mampu mengubur rasa cintaku, rinduku pada Sarah. Setiap aku ke makam Danisa, selalu kuingat paras ayu Sarah saat ia menitipkan pesan padaku agar sering menjenguk makam anak kami. Dua tahun sudah aku menduda. Bukan tak ada yang mendekati, tapi aku yang masih enggan membuka diri.
         Email yang kukirim pada Sarah dua hari lalu belum juga ia balas. Padahal aku tahu ia baru saja online di instagramnya. Aku tak punya nomor whatsapp Sarah yang  baru sebab nomor Indonesianya yang lama sudah tidak aktif. Lagi pula aku yakin Sarah tak akan mau memberikan nomornya padaku. Ia sudah terlanjur kecewa dan membenciku, juga jijik padaku.
         Iseng aku kirim DM di instagramnya. Karena kulihat ia sedang online. Indonesia sedang tengah malam, selepas aku tahajjud. Di Inggris mungkin masih sore.
Danialfir.dr : Assalamualaikum, Sarah, apa kabar? Semoga kamu baik2 saja. Tadi sore aku ke makam Danisa.
Lalu aku kirimkan juga foto makam Danisa sore tadi yang kutaburi bunga dan kubersihkan.
Satu detik
Dua detik
Tiga detik
Sepuluh detik
Satu menit, belum ada balasan. Ku tekan kembali tombol sisi kiri instagram dan stalking postingannya. Postingan terakhirnya dua jam lalu ia hanya mengunggah sebuah taman di London penuh dengan bunga. Sarah hanya menulis caption singkat
"Blossom like those flowers after two years".
        Aku mengernyitkan dahi, mencoba mengkorelasikan antara caption dengan foto.  Namun aku terhenyak saat beberapa komentar teman-temannya bermunculan merespon captionnya.
Ririe_dhika : Tabarakallah, akhirnya... soon to be bride
Azrinamaysa : Tahniah adikku... Akak ikut bahagia sentiasa doakan adik ngan Mr.Turkey. Semoga sentiasa Allah mudahkan hingga tiba masa tu.
Erlitadarwis02 : Saraaaah sayang, apa bener berita bahagia itu??? Aku ikut seneng, Ndukkkkk...
         JLEGGGG. Jantungku serasa berhenti berdetak. Ada yang mencelos dan kurasakan nyeri dalam hatiku, sakit tapi tak berdarah. Oh .... rupanya ini yang membuat Sarah sudah melupakanku? Melupakan Danisa juga. Secepat itukah ia ingin berumah tangga lagi? Mr. Turkey? Siapa dia?? Aku harus cari tahu.
         Tapi... kalaupun aku cari tahu, apa untungnya buatku? Bukankah aku sendiri yang merelakan Sarah pergi karena kesalahanku. Sarah bukan lagi istriku, dia berhak menikah lagi dengan siapapun itu. Dia berhak menikahi pria yang benar-benar sanggup menjadi imamnya, dan tentu lebih baik dari aku.
        Kututup ponselku lalu kujauhkan dari jangkauan. Memejamkan mata disaat hati tengah gundah tak karuan seperti ini tentu terasa berat. Kuambil air wudhu lagi, menggelar sajadah lagi, kembali tunduk dalam sujud. Hanya dengan cara ini aku tenang.
"Ya Allah ampunilah segala dosaku, terimalah taubatku. Bila memang jodohku dengan Sarah tidak ada lagi, mohon Engkau ikhlaskan aku, dan engkau berikan aku perhiasan dunia, pendamping hidup yang memang sanggup membersamaiku, menerimaku, mencintaiku karenaMu".
Ikhlas... Ikhlaskan, Dani.

Cinta (Tak Pernah) Salah Jalan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang