Part 20. Bulan Madu Yang Tertunda

2.1K 69 1
                                    


       Banyak orang bilang, cinta sejati anak perempuan adalah ayahnya dan sampai kapanpun sosok ayah akan jadi the first man untuk anak perempuannya. Setelah salat subuh, aku ingin kembali istirahat sebab tubuhku baru terasa nyeri, njarem di sekujur badan akibat benturan kecelakaan kemarin. Untung semalam aku tak jadi menerkam Sarah, entah mungkin kalau jadi, makin nyeri sekujur tubuhku. Padahal semalam rasanya aku udah gak sabar ingin menyatukan cintaku pada Sarah.
      Malam pertama pengantin lawas yang baru rujuk ini semalam hanya dilalui dengan ngobrol ringan, berciuman, tanpa hubungan badan sampai akhirnya kami terlelap sambil berpelukan. So sweet kan. Ya mau gimana lagi, istriku itu sedang kedatangan tamu.
       Pagi ini, Sarah masih terlelap. Tak tega aku bangunkan karena dia pasti lelah sekali menjalani drama mengejutkan seharian kemarin. Mulai dari nangisin aku di kamar jenazah sampai akhirnya akad nikah yang dilaksanakan serba kilat beberapa jam setelahnya. Aku juga tak menyangka, akan secepat ini aku kembali bersatu dengan belahan jiwaku lagi, tanpa persiapan apa-apa, hanya menuruti keinginan papa.
       Ponselku berdering, Mas Iqbal menelpon. Menyuruh kami segera ke rumah sakit pagi ini, padahal semula rencana kami akan ke KUA dan pengadilan agama untuk mengurus itsbat nikah agar pernikahan ini tercatat lagi secara negara. Dari nada bicara kakak iparku itu, tampaknya ia sedang benar-benar serius. Papa dalam keadaan gawat.
      Kubangunkan Sarah, dengan cepat ia bergegas mandi, lalu memandikanku dan kami segera ke rumah sakit. Di perjalanan, selagi Sarah pegang kemudi, Mas Iqbal mengirim pesan padaku yang nyaris saja membuatku limbung bila tak ingat ada Sarah disisiku.
"Papa sudah nggak ada, Dan. Jangan bikin panik Sarah ya. Tetep kalem" begitu pesan Mas Iqbal.
       Setiba di RS, barulah Sarah menyadari ada yang berbeda. Suara tangisan mama membuatnya tahu bahwa pria pertama dalam hidupnya telah tiada. Sesaat sebelum jenazah papa dimandikan dan disucikan, sempat aku kecup kening papa, dalam hati aku berjanji pada papa akan menjaga putri kesayangannya ini sepanjang hidupku. Sarah tampak tegar melepas kepergian papa, walaupun isak tangisnya tak dapat dibendung. Kupeluk istriku, aku bilang kepadanya bahwa kita sudah membuat papa lega dan bahagia.
       Proses pemulasaraan jenazah papa terbilang cepat. Siang hari jenazah papa telah dimakamkan di pemakaman muslim dekat rumah Mas Iqbal. Pertimbangan dimakamkan di Surabaya saja sebab kami semua anak-anak papa tinggal di Surabaya. Banyak karangan bunga duka cita yang dikirimkan relasi bisnis papa hingga keluar batas ujung komplek. Acara tahlil akan berlangsung mulai malam nanti hingga 7 harinya.
      Diantara para kerabat yang hadir, ada juga rekan-rekan sejawat dosen di kampus tempat istriku mengajar. Ciye...istriku . Ha ha ha. Ceritanya mereka semua kaget melihat aku berada disini bersama keluarga Sarah. Akhirnya sekalian kami adakan jumpa pers macam artis gitu lah 😁. Gak, canda kok. Maksudnya kami bagikan kabar kepada rekan-rekan bahwa kami sudah rujuk lagi, mengulang akad nikah lagi sehari sebelum papa meninggal. Diantara ucapan duka cita, ucapan selamat kembali melanjutkan hidup bersama juga kami terima.
"Tuh kan, apa aku bilang. Ujung-ujungnya juga balikan lo. Kalau udah cinta mau dipisah Inggris-Indonesia, juga tetep rujuk lagi" celetuk Erlita saat takziah kepada kami. Sarah  cengar-cengir di sebelahku.
"Iya, Mbak. Alhamdulillah, kami masih jodoh..." jawabku.
"Terus setelah ini rencana kalian gimana? Sarah belom selesai kan?" Tanya Erlita.
"Belom, Mbak. Ntar akhir tahun aku balik ke Inggris. Jatahku cuti cuma enam bulan" jawab istriku. Dengan mata sembab ia tetap berusaha tegar. Justru caranya agar tegar adalah dengan banyak bicara dengan para pentakziah, sebab agar ia tak terus-terusan mengingat papa.
"Lha trus ini suamimu gimana? Kalian LDR lagi? Emang kuat?" Tanya Erlita.
"Ya nggak kuat lah, Mbak. Aku ikut kesana kok, sampe Sarah selesai. Ya kerjaan ditinggal dulu. Ntar pulang kerja lagi kan bisa praktek lagi. Daripada pisah lagi, harus ada yang ngalah...Ga mungkin juga Sarah berhenti ditengah jalan" kataku.
"Yah kalau pak dokter sih saya percayaaaaa deh rejeki kaga kemana. Orang asetnya udah banyak dimana mana, ha ha ha" celetuk Erlita. Aku dan Sarah tersenyum simpul.

****
      Hari-hari pasca kepergian papa, ternyata belum mampu mengembalikan semangat ceria istriku. Perban dikepalaku telah dilepas. Hasil CT Scan tidak menunjukkan adanya luka dalam yang berbahaya, melainkan hanya memar dan sobek di pelipis. Jahitannya sepanjang 10cm pun sudah kering menyatu dengan kulit. Kini aku sudah bisa jalan pelan tanpa kursi roda, namun tanganku masih harus memakai arm sling untuk menyangga. Puji syukur, hasil ronsen ternyata tanganku tidak patah, namun ada retakan tulang dan butuh menjalani rehabilitasi medik secara rutin. Aku dan Sarah pun tengah mengajukan itsbat nikah ke pengadilan agama dan KUA. Menurut jadwal tak sampai sebulan buku nikah yang baru akan kami terima. Aku pun tengah mengurus visa ke Inggris.
      Tak perlu aku pikir panjang, aku akan break sementara sampai tahun depan. Kalau Sarah bisa lebih cepat ujian disertasinya dan tak banyak revisi, kurang dari setahun sudah bisa kembali ke tanah air. Lagipula, menjaga keutuhan rumah tangga menjadi prioritasku saat ini. Aku akan menjaga istriku, tak akan kubiarkan ia pergi sendiri lagi.
       Lagipula, mana tahan aku jauhan dengannya. Tiga tahun berpisah sudah cukup jadi siksaan yang berat buatku. Biarlah orang bilang aku bucin kek, karena orang tak turut merasakan pergulatan hidup yang aku rasakan.
"Sayang ... jangan sedih terus, kasihan papa. Papa udah nggak kesakitan lagi. Papa udah enak. Insya Allah, papa husnul khotimah. Cita-cita terbesar papa untuk menyatukan kita udah terlaksana" hiburku. Sarah berbaring di tepi ranjang, dengan memeluk guling. Matanya mulai bengkak. Semalaman ia tak henti menangis. Sengaja ia menahan airmata saat didepan mama. Namun setelah kembali ke apartemen, ia tak dapat lagi membendung airmatanya.
"Hmmm... kamu sudah seminggu kayak gini, Yang... kita semua kehilangan papa. Tapi papa gak akan kembali, sebab Allah udah minta papa untuk bersamanya"
"Huuuhuu... kasian mama. Mama sekarang udah ga ada papa. Kalau kita ke London, mama gimana, Mas? Biar mama ikut kita ya..."
"Boleh... mas ga masalah mama ikut kita atau mas Iqbal. Yang penting mama bahagia, dan gak kesepian. Cuma kalo sekarang kan hiburan mama ada Savanna"
"Iya ya untung ada Savanna....." istriku menimpali.
"Harusnya juga ada lagi, adiknya Danisa" kulempar kode sambil mengerling kearahnya. Jujur, aku bingung bagaimana mengembalikan senyum istriku. Aku tahu ia tentu kehilangan papa, tapi aku harus berbuat apa?.
"Jangan macem-macem deh! Lagi sedih gini kok Mas kode terus sih!" Sarah menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya.
"Yah salah lagi kan gue... istri selalu benar dan suami selalu salah"
"Hmmm... jalan jalan aja yuk. Nonton?" Tanyaku.
"Ogaaaaah. Gak mood"
"Jajan eskrim yuk"
"Ogaaaaaah. Emangnya aku anak kecil apa. Mas tuh kayak momong Savanna aja deh ditawarin es krim segala!" Istriku sewot.
"Laaah kan salah lagi. Trus apa dong, Sayang... " kataku membujuk.
"Mau order makanan? Kopi?"
"Engaaaak usah"
"Lha trus? Mau shopping? Nih, pake ATMku, pin ATMnya gak berubah kok dari dulu, tanggal nikah kita dulu"
"Kamu kenapa sih, Sayang. Jangan-jangan kamu hamil? Mens kan udah selesai juga" kataku.
"Hamil ama kebo apa??! Jelas-jelas dicoblos aja belum, pake hamil darimana???!" . Laaah istriku kok makin sewot.
"Mas kok gak ngerti-ngerti sih!! Aku tuh gak mood. Jangan gangguin aku!! I feel not good in my way, please go away, let me alone" suruh istriku. Akupun mengangguk. Aku keluar kamar, bergeser ke living room sambil nonton serial Netflix dan memesan makanan. Sarah lagi gak mood begini, jelas dia nggak mau masak. Entah aku bingung memahami mahluk unik bernama istri, ditanya apa serba tak jelas. Kalo tak diperhatikan suami yang salah. Duhhh...

Cinta (Tak Pernah) Salah Jalan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang