Part 12. Aku Kehilanganmu

1.4K 64 0
                                    



Hi guyss... makasih dulu sebelumnya buat temen2 yang udah setia baca dari part 1 ampe sekarang. Tolong bantu dengan vote dan komen yaa... biar aku semangat nih lanjut nulisinnya. Mon maap aga lama2 terus update nya... tp ini story bakalan aku selesein disini.

****

          Pagi yang cerah, namun senyumku kupaksa merekah sebab hidup tak lagi ada lagi gairah. Kuputuskan pagi ini aku berangkat ke kampus naik taksi online saja. Pandanganku serasa berkunang-kunang dan meriang. Sweater tebal kesayangan saat aku masih studi di Aussie dulu yang biasa kupakai ketika winter, kini aku pakai lagi. Pagi ini aku janji untuk memberi tugas tambahan bagi mahasiswa yang nilainya dibawah ambang batas nilai, dan bimbingan skripsi mahasiswa tua. Kasihan bila tak bisa menemuiku, mau sampai kapan mereka akan stay di kampus terus?.
        Turun dari taksi aku langsung menuju ke ruanganku di lantai 4. Setelah kuletakkan tas dan file yang kubawa, mataku tertuju pada kalender diatas mejaku. Tersadar akan sesuatu, sekian waktu telah berlalu. Empat hari lagi jadwal sidang kedua untuk mediasi digelar. Tentu aku akan datang sendiri kesana. Sedari awal aku memang tak ingin pakai jasa lawyer, sebab ada aib yang tetap harus aku jaga sekalipun nanti pernikahan kami telah putus. Padahal sebenarnya mudah saja, banyak teman baikku yang berprofesi sebagai lawyer yang handal menangani perceraian hingga kasus besar.
        Sekilas kutengok layar hp, tak ada pesan masuk dari Mas Dani. Terakhir chat nya dua hari lalu hanya bilang bahwa ia rindu padaku dan akan berjuang untuk menyelamatkan rumah tangga ini. Sayang, hatiku terlanjur beku. Semuanya telah berlalu.
       Segera aku melangkah keluar ruangan dan menyapa mahasiswaku yang telah menunggu di ruang kelas. Ada sekitar 5 mahasiswa tua yang sudah menunggu kedatanganku, juga beberapa mahasiswa yang minta tugas tambahan nilai.
"Bu, bagaimana bila saya pakai teori agenda setting, lalu pakai metode studi kasus dengan mix methode?" Tanya Akbar, mahasiswa semester 9 yang langsung memberondongku dengan pertanyaan dan lembaran skripsinya.
"Terlalu rumit, Bar. Sederhanakan lagi. Saya sudah baca email kamu. Yang penting di Bab 1 itu kamu jelaskan pendahuluan dengan betul. Kasusnya apa, dan latar belakang teorinya seperti apa. Sudah itu dulu. Kalau sudah betul minggu depan balik sini lagi setor ke saya. Baru bahas bab selanjutnya untuk menganalisis dan seterusnya. Ini saja kamu nulis kutipan catatan perut masih belom bener lo. Baca banyak referensi dulu ya!" Perintahku.
"Bbb,.baik,Bu" jawab Akbar cepat.
     Beberapa mahasiwa tua lainnya bergantian meminta koreksi. Namun tiba-tiba kepalaku serasa berdenyut kencang. Kueratkan tanganku dipinggir meja, keringat dingin membasahi keningku. Tiba-tiba pandanganku kabur dan....
Gelap.
"Buuuuuu.... Bu.... Bu Saraaaaaaaaahhhh"

***
      Ponselku bergetar sedari tadi berulang-ulang. Namun meeting penting ini tak bisa kulewatkan, sebab ini menyangkut nyawa pasien yang akan menjalani operasi pengangkatan cancer esok pagi. Getaran ponsel ini cukup mengganggu saku celanaku. Kuputuskan untuk keluar sebentar, kulihat nama 'Erlita' memanggil sebanyak 10x. Baru akan balas kupanggil, Erlita menelponku kembali.
"Halooo... Dokter Daniii...hahhhh" kudengar suara Erlita terengah. Aku merasa ada yang tak beres terjadi.
"Ada apa, Mbak?? Ada apa??? Sarah???"
"Sarah gak sadarkan diri. Sekarang ada di IGD RS Sumber Sehat!"
Klik. Telpon terputus.
     RS Sumber Sehat adalah rumah sakit kedua tempatku praktek, juga di rumah sakit ini aku menjadi salah satu dewan komisarisnya. Harusnya aku kesana sore nanti, tapi mendengar kabar seperti ini, jantungku serasa berhenti mendadak. Segera aku pamit undur diri pada tim dokter, dan meluncur ke RS Sumber Sehat.
      Sepanjang jalan yang sebenarnya hanya berjarak 10km terasa sangat jauh, ditambah lagi macet yang membuatku semakin tak karuan. Ditengah jalan nomor telpon IGD RS Sumber Sehat menelponku mengabari tentang Sarah.
      Hampir 30 menit lamanya aku baru tiba di RS. Setelah kuparkir mobil di parkiran khusus dokter aku segera berlari ke IGD. Para perawat dan satpam yang ada di sekitar IGD menyapaku namun tak sempat aku balas. Mereka tentu paham kegelisahanku.
     Tangisku luruh saat aku mendapati Sarah tergolek tak berdaya. Badannya semakin kurus dan wajahnya pucat pasi. Dia masih tak sadarkan diri, sementara Erlita dengan wajah sedih berada di sebelah Sarah.
"Ya Allah.... Sayaangg... apa yang terjadi. Ada apa ini, Mbak Er??" tanyaku. Erlita menggeleng.
    Oksigen terpasang, monitor detak jantung terus berbunyi menunjukkan garis naik turun. Tak lama kemudian muncul David, dokter koass yang sedang jaga pagi ini. Bulan lalu dia berada di stase bedah dibawah bimbinganku.
"Ada apa ini, Dav? Gimana ceritanya?"
"Ini, Dok. Istri Dokter Dani tadi dibawa kesini sudah nggak sadar. Hipoksia, detak jantung lambat. Untung tadi segera dibawa kesini, kalau nggak, bisa lewat, Dok"
"Maaf, Dok. Apa di rumah sudah ada gejala seperti ini beberapa hari terakhir ini?" Tanya David lagi. Diberi pertanyaan oleh dokter koass rasanya sungguh membuatku turun gengsi dan menohok batinku terlebih karena aku dan Sarah sudah tidak serumah. Tak ada yang tahu kecuali kami dan keluarga dekat. Pertanyaan dari David aku abaikan. Kualihkan dengan menanyai Erlita.
"Jadi gini, Dokter Dani. Tadi itu kok pas kebetulan, saya lagi ke fakultas nya Sarah. Saya ada janji mau ketemu dekan. Nah pas saya melintas di dekat kelas Sarah, itu anak-anak udah rame teriak-teriak panik. Saya penasaran dong tanya ada apa. Anak-anak jawab 'Bu Sarah pingsan, pucat banget, Bu'. Nah, saya liat ternyata Sarah beneran. Akhirnya saya sama anak-anak tadi langsung bawa Sarah ke mobil, trus keinget kan RS terdekat kampus dan tempat Dokter bekerja kan disini, ya saya bawa kesini"
"Tadi pun di IGD, sempat rada alot. Kebanyakan prosedur. Saya bilang ini ibu Sarah, istrinya Dokter Dani. Baru mereka mempercepat gerak" cerocos Erlita sambil melirik David bermaksud menyindir.
"Ya Allah... makasih, Mbak Lita. Untung ada Mbak. Oh ya dimana mahasiswanya Sarah yang nganter?" Tanyaku.
"Itu diluar, Dok. Tadi saya suruh balik kampus, katanya nanti aja, tunggu Bu Sarah ampe ditangani beneran" terang Erlita.
"Dah sekarang Dokter disini aja dulu tungguin istrinya, Dok. Nanti kita kordinasi dengan dokter lain. Nanti siang ada jadwal visite kan, Dok?" Tanya David.
"Ya adalah! Lagian ngapain kamu kok jadi ngurusin jadwal saya??" Tanyaku.
"Hehe..ya maap dok" David berlalu sambil cengar cengir.

****
       Ruangan yang dingin ini sedingin hubunganku dengan Sarah. Erlita pamit pulang sebab harus kembali mengajar. Tinggallah aku berdua dengan Sarah yang baru siuman.
"Kenapa aku disiniii?? Kenapa....Mmaass yang disini?" tanyanya dengan tatapan aneh kepadaku. Sungguh aku telah kehilangan tatapan mata bening penuh cinta yang selalu aku rindukan. Tatap mata penuh rindu yang selalu bersinar saat aku jemput ia dari kampus. Kini tatap mata itu seolah berganti tatapan perlindungan diri terhadap musuh.
"Alhamdulillah, Sayang ... kamu sudah sadar" tak peduli lagi aku peluk istriku. Ia tetap diam tak membalas. Namun hangat tubuhnya, aroma tubuhnya sangat aku rindukan. Saat aku memeluk tubuhnya, rasa hangat juga menjalar di dadaku. Tapi buru-buru kuletakkan punggung tanganku di dahinya.
"Kamu demam, Yang. Sebentar aku ambil termometer dulu" aku bergegas ke meja perawat di sebelah kelambu bed tempat Sarah. Kudekatkan termometer tembak itu ke dahi Sarah.
"39C. Demam...." . Kuperhatikan Sarah memegangi perutnya, lalu mengerang kesakitan.
"Ya Allah.... saaaakkkiiittttt... Aaaaaa.......... sssaaaakkkiitttt" . Kuperhatikan lagi apa yang terjadi pada istriku sambil kupanggil suster hanya dalam satu teriakan. Sarah mengerang, tangannya mencengkram tanganku hingga kukunya menancap. Aku tahu ada yang tak beres padanya. Saat kulihat kebagian bawah tubuhnya, betapa kagetnya aku melihat rok warna krem yang dipakainya telah berlumuran darah.
     Jantungku serasa berhenti berdetak. Duniaku bergerak lambat. Aku menyadari, aku telah kehilangan dia, cinta yang sangat kami tunggu.
****
24 Jam kemudian

       Pukulan berat buatku saat melihat Sarah menangis tersedu tanpa henti, menangisi kepergian calon buah hati kami. Betapa bodohnya aku tak tahu istriku tengah hamil empat bulan, dan justru aku tega menyakitinya hingga akhirnya, anakku harus jadi korbannya.
        Ya Tuhan... aku merasa gagal sebagai seorang suami, sebagai seorang ayah. Anak masih dalam kandungan saja gagal aku jaga. Apakah memang inikah teguranMu, hukumanMu kepadaku atas segala dosa yang pernah kulakukan dimasa lalu?. Tolong..hukum saja aku, jangan dengan anak dan istriku.
"Puas kamu, Mas???! Anak ini jadi korban dosa bapaknya!!! Maaafin ibu, Nak... ibu gak tahu kamu sudah ada di perut ibu.... Ibu gak bisa jaga kamu, ibu terlalu berlarut sedih karena ulah bapakmu, Nak.... huuuu...maafkan ibuuuuu....." Sarah menangis tergugu masih sambil terbaring. Kondisinya sangat lemah.
"Sarah.... maafkan aku, Sarah. Ampuni aku Ya Allah... Ini semua salahku" kataku sambil menggengam erat tangan kanannya yang tak terpasang infus. Airmataku bercucuran, tak sanggup melihat Sarah yang semakin kurus dan penuh derita akibat dosa-dosaku.
"Sudah cukup, Mas! Minta ampunlah pada Allah. Aku hanya manusia biasa yang punya hati. Pergilah dari hidupku, Mas! Mungkin ini yang terbaik buat anak kita dia harus dipanggil lebih dulu daripada sampai besar dia malu menanggung aib bapaknya!!Pergiii!!!" Bentak Sarah. Aku memohon, lalu berlutut disisinya.
"Tolong, Sarah.... izinkan aku menebus semua dosa-dosaku. Sudah cukup aku kehilangan anak kita, aku gak mau kehilangan kamu...."
"Kalau Mas ingin nebus semua dosa-dosamu, tolong lepaskan aku. Jangan halangi sidang kedua dan seterusnya. Lepaskan aku! Aku berhak hidup bahagia tanpa harus kena tumbal kesalahanmu!!"
"Pergilah, Mas!! Pergiiiiiiiiiiiiii!!!!" Teriaknya. Matanya menyalang marah penuh basah, menyiratkan luka yang begitu dalam mengoyak hatinya.
Dan akulah pria jahat yang telah melukainya dan membawanya kedalam kisah kelam hidupku.
      Aku melangkah mundur. Demi kebahagiaan hidupmu, aku akan pergi.

         

Cinta (Tak Pernah) Salah Jalan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang