••Pertama

326 37 9
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Maaf aku harus menyudahinya, hubungan ini hanya berjalan satu arah. Maafkan aku yang tidak bisa bertahan sampai akhir," setelah mengucap kalimat tersebut sang wira berlalu tak menyadari efek perih atas keputusan sepihak nya terhadap sang puan.

Dan sang puan bisu, terlalu terkejut dengan apa yang terjadi sehingga tak sempat mengeluarkan sepatah kata. Tubuh sang wira sudah tak tampak mata, sudah terlambat untuk mengejar meminta penjelasan.

"Terima kasih, terima kasih setidaknya kau pernah mengisi hari," ucap lirih si puan kemudian berbalik kearah berlawanan dari sang wira menghilang.

ʄ

Semi [Name] menerawang cakrawala sesaat sebelum kembali fokus dengan kanvas di hadapannya, si cantik menghela napas gusar memperhatikan lukisan yang hampir rampung dibuatnya beberapa minggu terakhir. Tangannya menyapu kuas dengan lembut, mencoba mencurahkan emosi atas cat kelabu yang tertoreh.

Netra legam memantulkan guratan khawatir, lukisannya akan pergi menuju Festival Seni tahunan dan setiap tahun akan ada orang yang sama memperhatikan lukisan miliknya lamat-lamat, seakan mencoba menelisik lebih jauh latar belakang dari torehan tiap warna, berpikir dirinya cenayang yang bisa mengetahui isi hati sang puan lewat guratan yang tertoreh. Ia takut orang itu menangkap makna tersirat yang ia selipkan pada lukisannya, takut disalah artikan lebih tepatnya.

Lalu helaan napas panjang terdengar lembut mengisi sepi ruangan, [Name] berdiri hendak membenahi peralatan lukisnya lalu pergi dari ruangan meninggalkan lukisan rampung yang masih setengah kering untuk ia kemas nanti.

Bukan saat yang tepat untuk memikirkan kerisauan hatinya, yang ia harus lakukan sekarang adalah memikirkan bagaimana ia bisa melewati interogasi kembarannya jika ia pulang nanti. [Name] tak mau kembali mendapat hukuman dari kakak semata wayangnya karena membolos sekolah untuk melukis di rumah dan berakhir semua alat lukis tersita selama seminggu penuh.

"Tadaima."

Deg.

[Name] panik.

Baru saja ia pikirkan dan kakaknya sudah kembali, bahkan ia belum menemukan alasan yang bagus untuk menjawab atau setidaknya mengelak pertanyaan Eita.

"O-okaeri."

Si setter dari Shiratorizawa melirik ke arah adik kembarnya lalu menaikkan sebelah alis, "Biar ku tebak, kau pasti membolos lagi."

"Aih, aku mohon jangan sita alat lukis ku. Aku janji ini yang terakhir, ku mohon," buru-buru [Name] menangkupkan kedua tangan lalu memohon-mohon pada Eita.

"Yang lalu pun kau berkata seperti itu."

"Ku mohon, kali ini saja."

"Tekka maki untuk bento ku kalau begitu," sebuah seringai tertuju pada [Name], terkadang adiknya yang berbeda beberapa menit gemar ia jahili.

Pipi menggembung secara tak sadar, batin menimbang-nimbang ragu apa ia harus menuruti permintaan sang kembaran atau membiarkan alat lukis tersita kembali. Terkadang Eita sungguh menjengkelkan, mencari kesempatan dalam kesempitan.

"Aish, baiklah-baiklah akan kubuat kan. Tapi pegang janji mu," putus [Name] final lalu pergi ke dapur untuk menyiapkan makan malam.

Senyum puas tersungging di wajah Eita. Awalnya dia tidak serius meminta sushi isian tuna favoritnya sebagai imbalan, tapi melihat ekpresi [Name] membuat Eita ingin menjahilinya. Untung baginya, ia tak perlu menyisihkan beberapa peser uang untuk ditukar dengan makanan tersebut lagipula buatan adiknya lebih enak.

ʄ

Bagi [Name] kanvas adalah jurnalnya, tempat ia menuangkan segala emosi dan rasa yang ia pendam. Lalu hujan adalah waktu di mana dia merenung bersama aroma petrichor yang berlomba-lomba memasuki indra penciuman untuk menenangkan sang puan.

Di bawah payung yang menaungi diri dari derasnya tangis langit, [Name] berdiri sembari bersandar pada salah satu mesin penjual minuman otomatis bersama sekantung bahan-bahan membuat tuna roll khusus untuk Eita.

Entah siapa yang sudah menyakiti perasaan langit malam ini sehingga mereka menangis dengan derasnya seolah pilu. [Name] sendiri masih enggan beranjak pulang, ingin menikmati kesedihan langit untuk beberapa lama lagi.

Sekonyong-konyong sebuah perasaan rindu terselip, nostalgia menghampiri selayaknya membuka kembali lembaran manuskrip. Ke mana perginya si hangat ketika memikirkan kenangan ini? Yang ia rasakan kini hanya hampa memuakkan.

Di pertengahan Agustus ini hujan sering mampir seolah membawa limpahan ide lara pada [Name], salah satu penyebab juga lukisannya banyak bermain dengan warna kesedihan. Diri dibuat bimbang atas banyak hal, membuatnya tak mengerti harus bagaimana mengambil keputusan.

Ingin menyalahkan seseorang atau sesuatu atas semua beban yang ia tanggung, tapi ia sadar bila itu hanya keegoisan diri yang ingin lari dari masalah. Ia terjebak dalam masa lalu dan ingin berdamai dengannya, namun tak sanggup.

Si puan masih di sana hingga waktu memaksa kota dan kata meredup, manusia kembali kepada mimpi-mimpi mereka. Sementara gundah pun belum usai terluapkan.

Esok pagi fajar akan kembali dan dirinya masih tetap menyapukan kuas rasa di atas serat kain agar hilang lumpuh hati, kemudian mengulang lagi hari esoknya hingga waktu yang tak pasti.

.

.

.



Wira /wi·ra / 1 n pahlawan; laki-laki; 2 a bersifat jantan (berani); perwira;
(Di sini digunakan sebagai kata ganti laki-laki, pemuda, pria atau cowok.)

Puan /pu·an/ 1 n empuan; perempuan; 2 n nyonya (lawan tuan);
(Di sini digunakan sebagai kata ganti gadis, perempuan, wanita atau cewek.)

Petrichor adalah aroma alami yang dihasilkan saat hujan jatuh di tanah kering.





[A/N]

Semoga chapter pertama ini tidak membosankan, bagaimana menurut kalian?

We Fall Apart [Konoha Akinori x Reader] - On GoingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang