••Kedua

174 24 4
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Lalu binar fajar tiba, membelai lembut wajah seorang gadis yang bergerak mengikuti ribuan insan menuju stasiun. Satu jam perjalanan menuju sekolahnya dan selama itu pula [Name] tak henti-hentinya menilik kanvas yang berada di dalam tas jinjing dengan senyum simpul manis tersungging.

Tibalah ia di tujuan, Ibu Kota Timur nama tempat di mana ia menimba ilmu. Melangkahkan kaki turun dari peron kemudian keluar dari stasiun dengan sumringahnya, bahkan angkasa pun tampak ikut merasakan perasaan sang puan jelita.

Hingga.

"Selamat pagi."

Sapaan yang sama kembali terucap.

"Sudah kuduga kau akan tiba di jam yang sama seperti biasanya."

Dia di sana sama seperti waktu yang telah lalu, namun rasa yang hinggap di hati tidak sama.

"Aku datang menjemput mu."

[Name] tampak tak mempercayai apa yang ia lihat. Pemuda yang beberapa bulan lalu mangkir dari hidupnya kembali seolah tanpa sesal, seakan ucapan perih yang pernah ia sampaikan tepat di depan stasiun ini juga hanyalah angin lalu.

Jemari yang lebih besar dan kasar terselip saling bertaut dengan miliknya. Astaga, sudah berapa lama ia merindukan ini? Telapak kasar akibat terlalu banyak memukul bola voli dan rasa hangat yang tersalur.

Ia tak ingin membohongi apalagi membodohi diri, nyatanya [Name] memang merindukan presensi seorang Konoha Akinori di sampingnya, tapi nyeri di dalam lubuk sana masih membekas. Yang telah pemuda surai pirang ini lakukan padanya memang hal yang kekanakan, meski begitu ia ingin mengerti alasan di balik itu semua.

"Lukisan untuk Festival Seni?" Tanya sosok yang lebih tinggi.

Dan si puan mengangguk, "Ya, apa kau akan datang kali ini? Ini tahun terakhir aku mengikuti Festival."

"Entahlah, aku tidak tahu," Konoha memalingkan wajah dengan tangan mengusap tengkuk.

[Name] tak kecewa dengan jawaban yang diajukan, ia tahu sang wira hanya berbohong karena pasti dia akan berada di sana. Mengamati tiap warna dan guratan yang tertoreh di atas kanvasnya. Entah apa dasar dustanya, [Name] tak mau terlalu memusingkan untuk kali ini.

Dan Konoha diam-diam melirik lewat ujung mata, mengamati rupa jelita sang gadis dalam diam. Sudah tiga bulan lebih mereka tak saling bertukar sapa semenjak hari itu, kendati demikian tak ada canggung yang timbul setelahnya. Mereka berdua berlagak seakan masih memiliki satu sama lain.

Si sesal pun singgah, membuat diri ingin tenggelam dalam lara. Ia ingin sedikit merasa sendu dengan semua cerita lama. Semua cerita yang disimpan jauh dari mata dunia. Semua cerita yang tak pernah terdengar jeritan deritanya.

Ia hanya takut.

Apa yang ia perbuat sebelumnya menyebabkan lacuna dalam raga. Tak pernah menyangka eksistensi puan berhelai pirau itu bisa sangat berarti, bahkan tertawan oleh semua hal tentang sira. Meski dunia berjalan dengan semestinya, namun selalu ada bayang yang mengikuti dari arah belakang sana.

ʄ

"Judulnya 'Griseo Post Blue'."

"Kau mengambilnya dari bahasa latin?"

"Iya sensei, apa itu tidak masalah?"

"Tidak masalah sama sekali, baiklah kau boleh beristirahat. Terima kasih atas kerja kerasnya."

Dan [Name] meninggalkan ruangan setelah membungkuk sopan pada guru pembimbingnya. Ia tak sabar pergi ke Festival Seni nanti bersama beberapa adik kelas yang ikut serta.

Si jelita tertawa geli mengingat judul yang ia sematkan untuk lukisannya, agak terdengar konyol, tapi entah kenapa ia tetap menyukainya. Di sisi lain ia masih berharap semoga pesan yang diselipkan pada lukisan 'Griseo Post Blue' tak sampai pada orang yang menjadi dasar inspirasi itu. Ya, hanya orang itu saja yang tak boleh tahu.

Biarlah perasaannya tak sampai kali ini, dia sudah terlalu sering menyampaikannya dahulu. Biar kini ia pendam dan simpan di sudut sepi bersama kenangan lama. Tak menyadari sudah terlalu banyak yang terpendam sampai rasa kelu kian menguasai.

Dirinya masih berharap hari di mana sang wira akan datang dengan segala gundah yang tersampaikan padanya, entah bersama tangis pun tak apa. Ia masih akan di sini, menunggu sedikit lebih lama lagi hingga hari itu tiba.

Barangkali bukan menunggu yang dibenci, tapi ketidakpastian tentang seberapa lama harus menunggu. Bisa saja mengakali menunggu dengan kesibukan-kesibukan yang tiada henti. Menjadikan diri lupa bahwa sebenarnya sedang menunggu sesuatu atau pun seseorang. Menjadikan waktu terasa sangat laju. Tapi yang kini menjadi pertanyaan adalah, sampai kapan? Bukankah ketidakpastian yang membunuh kita perlahan-lahan bukan menunggu?

.

.

.



Ibu Kota Timur nama lain dari Tokyo.

Pirau /pi·rau/ 1 v berwarna abu-abu; 2 a kabur (tentang penglihatan);

Lacuna dalam Bahasa Indonesia artinya adalah kekosongan, celah atau lubang.



[A/N]

Maaf kalau alurnya terasa lambat, tapi memang begini adanya. Oh iya, Mayu bingung dengan warna rambut Eita, apa memang Eita rambutnya berwarna abu-abu atau dia warnai? Tolong bantu jawab.

We Fall Apart [Konoha Akinori x Reader] - On GoingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang