Pagi yang seharusnya sama seperti pagi sebelumnya, sang wira bersurai pirang berniat menjemput puan pemilik hati, namun hingga waktu menunjukkan sepuluh menit sebelum jam masuk ia tak kunjung datang. Konoha pikir hari ini gadis tersebut memang tak masuk sekolah, namun ketika melihatnya tengah menyantap makan siang di atap sendirian, ia tahu opininya salah.
"Tadi pagi aku menjemputmu, apa kau datang lebih cepat hari ini?" Itu yang Konoha ajukan ketika mendudukan diri di samping [Name].
"Ya, aku memiliki piket," jawab [Name] tanpa menoleh dan sedikit menggeser duduknya.
Dan selama itu Konoha tak curiga akan perubahan sikap [Name] padanya, hingga tiga hari setelahnya gadis tersebut benar-benar membuat jarak dengannya seakan terdapat tembok pembatas antara mereka.
Setiap ada kesempatan gadis tersebut akan menghindar, tak menjawab sapaannya bahkan tak ingin bersitatap. Semua itu membuat Konoha memunculkan banyak spekulasi dan tentu yang paling utama adalah kejadian beberapa hari lalu di taman belakang ketika seorang adik kelas menciumnya.
Ia tak pernah mengira jika [Name] akan melihatnya, karena saat itu ia sama sekali tak merasakan kehadiran orang lain selain dirinya dan adik kelasnya itu. Memikirkan hal tersebut membuat Konoha geram dan menyalahkan diri, bukan kah lebih baik mematahkan hati seseorang dari pada membiarkan perasaannya tumbuh tanpa kemungkinan yang ia semoga kan? Lalu tanpa sadar malah mematahkan hati lain yang seharusnya tak ia patahkan kembali.
Akhir pekan ini dengan alasan mengunjungi sepupu di Miyagi, Konoha berangkat pada senja hari. Niatnya ingin bertemu dengan [Name] atau setidaknya mengetahui kabar meski hanya lewat jendela kamarnya.
Ia ingin, sangat ingin menatap wajahnya.
ʄ
Malam ini [Name] kembali menikmati hujan dan harum petrichor yang sama, berjongkok bersama payung yang melindungi dari basah, di depan kedai ramen yang sudah tutup meninggalkan lampu depan masih menyala sembari menatap genangan air dengan kosong.
Saat hujan turun [Name] tak segan untuk keluar menikmatinya dengan alasan apa pun yang bisa ia berikan pada orang rumah atau pun pergi diam-diam. Hujan membawa pergi bebannya dan menggantinya dengan perasaan lega, meski ia tahu itu tak akan berlangsung selamanya.
Kemudian sebuah tangan terulur menyentuh bahu disusul suara yang seharusnya dapat menghangatkan.
"Menikmati hujan?"
[Name] sedetik pun tak ingin melihat siapa yang mengajak berbicara karena tanpa menoleh pun ia sudah tahu.
"Ya, seperti biasa kau tahu."
Suara tawa renyah terdengar dan sang puan tak bisa berbohong bila ia merindukan suara tersebut.
Amat.
Dan sebuah jaket tersampir menghangatkan sebagian tubuh, "Kena-."
"Ayo kuantar kau pulang, sudah larut dan semakin dingin," tanpa merasa bersalah telah menyela ucapan, si wira berhelai pirang menyematkan jemari diantara jemari dingin sang puan, membawanya dalam genggaman hangat.
Mimpi kita masih sama, dari kau pergi tanpa alasan jelas hingga kembali tanpa rasa bersalah. Meninggalkan sepenggal sensasi pilu yang masih berbekas dan sulit untuk diobati. Kau masih kau yang sama dan aku pun begitu, namun yang berbeda adalah kisah sebelumnya yang masih tertinggal belum usai. Katamu, dunia tak membiarkanmu lupa dengan tawa dan cerita panjang di tepi sungai.
Tapi apa?
Aku sendirian ketika melihat punggungmu kian menjauh tak tergapai, meninggalkan ku atas nama keegoisan. Seakan tak membiarkan ku keluar dari situasi memuakkan ini.
"Konoha-san," panggil [Name] lirih, semoga suaranya terdengar dari efek ribuan air yang turun menghantam bumi.
"Ada apa?" Yang dipanggil menoleh memperhatikan orang di sampingnya yang terus menatap tanah.
"Beri aku alasan untuk melupakanmu."
Hening.
Seorang Akinori menatap sendu lawan bicaranya. Hatinya terasa teriris mendengar kalimat tersebut, seegois apakah dirinya sehingga menjebak seorang gadis dalam perasaannya yang bahkan ia sendiri tak mengerti. Ingin rasanya membawa sang puan dalam dekapan hangat.
"Kenapa kau ingin melupakanku?"
Bodoh.
Sang wira mengutuk diri dalam batin.
"Bukannya kau pantas untuk itu? Ketika diriku ingin berdamai dengan masa lalu, kau hadir di sana membuatku tak berdaya. Aku sudah tak menginginkan kejelasan tentang 'sebenarnya aku ini apa untukmu?' Yang aku inginkan hanya berdamai dengan masa lalu," kini [Name] memberanikan diri menatap wajah Konoha.
"Tapi aku tak bisa, aku tak ingin kau berdamai dengan masa lalu yang di sana terdapat diriku. Aku tak mau," Konoha mengeratkan genggamannya, seakan itu bisa menahan [Name] pergi.
"Lalu jelaskan kenapa aku merasa ditinggal, sedangkan semua tentangmu tak pernah tanggal?"
Untuk kali ini [Name] benar-benar merasa dirinya begitu lemah, dia tak tahu harus bagaimana.
Konoha menghela napas, dirinya bajingan. Selalu terbayang-bayang akan ketakutan tak berdasar yang selama ini menghantui dirinya. Dia merasa sangat bersalah telah membawa [Name] masuk dalam hidupnya yang rumit, yang bahkan ia sendiri terjebak dalam anomali tersebut.
"Kita sudah sampai," ucapnya ketika telah berada di depan sebuah rumah bertuliskan 'Semi'.
"Semoga kau tidur nyenyak, sampai bertemu."
Dan begitulah pengecut yang lari dari masalahnya bahkan tak menjelaskan apa pun, kembali meninggalkan sang puan dengan kehampaan yang nestapa. [Name] membenci posisinya sekarang.
"Aku harus bagaimana, Akinori?"
.
.
.
Anomali /ano·ma·li/ n 1 ketidaknormalan; penyimpangan dari normal; kelainan; 2 Ling penyimpangan atau kelainan, dipandang dari sudut konvensi gramatikal atau semantis suatu bahasa; 3 Tek penyimpangan dari keseragaman sifat fisik, sering menjadi perhatian ekplorasi (misalnya anomali waktu-lintas, anomali magnetik)
To be continued
KAMU SEDANG MEMBACA
We Fall Apart [Konoha Akinori x Reader] - On Going
FanfictionNelangsa datang padamu dan hal yang ingin kulakukan adalah menghapusnya tanpa menyadari bahwa diriku yang menjadi sumber nelangsa. Dan jagat yang menjelma kita pada sandiwara yang ia buat. Atau memang diriku saja yang gentar? Sampul dan cerita milik...