12.

1.8K 118 4
                                    

Sepanjang perjalanan pikiran Ara tidak bisa diam, beberapa kali Dafi mengajaknya mengobrol, Ara hanya menjawabnya dengan anggukan atau gumaman. Karena hal besar yang baru saja didengarnya benar-benar mencengangkan. Yang pertama ; jadi Daddy menyukai mama sudah sejak tujuh tahun yang lalu, kedua, Dante ternyata menyukainya, bukan hanya kenyataan Dante menyukainya tapi Dante sudah menyukainya sejak tujuh tahun yang lalu bersamaan dengan Daddy yang menyukai mama, kabar buruknya, si biang onar dipikiran Ara sedang ada bersama mereka di mobil belakang yang mengawasi mereka.

Bagaimana caranya Ara bisa fokus pada kencannya dengan Dafi sementara Dante ada dibelakang. "Kamu lebih suka pantai atau gunung?." Ara mengernyit, nggak ada petir nggak ada langit terbelah kenapa tiba-tiba nanya gitu? Tapi Ara tersenyum manis.

"Nggak dua-duanya aku lebih suka kamu." Dafi melipat bibir tersipu.

"Kalo disuruh milih, aku lebih suka gunung, karena lewat gunung kita belajar apa itu kesabaran, apa itu pengorbanan, apa itu susah sebelum kita bisa melihat puncak gunung yang luar biasa indahnya."

"Waaahh, kamu pasti seneng naek gunung, aku sih lebih suka ke pantai."

"Kenapa?."

"Gampang dan nggak ribet." Dafi tertawa.

"Kalo kita menikah nanti, sesekali kamu harus ikut aku naek gunung." Ara tersenyum mengiyakan tapi batinnya komat-kamit 'daripada naek gunung gue lebih sudi mijitin om Indra tiga hari tiga malam' "Sate atau otak-otak?." Random banget sih??

"Sate bumbu otak-otak aja biar adil, suka dua-duanya soalnya." Dafi tertawa.

"Kamu lucu ya, Ra." Badut anak TK kali lucu.

Tapi Ara tersenyum. "Iya ngelucu demi kamu nih."

Dafi tersenyum lalu mengacak-acak rambut Ara. "Manis banget sih kamu, gemes deh aku."

Ara hanya nyengir setengah tidak nyaman.

***

Dafi betulan mengajaknya ke Dufan, mobil Honda Jazz cowok itu berhenti di parkiran. Begitu Ara turun dari dalam mobil matahari panas yang membara menyambutnya tanpa ampun. Ara berdecak, seharusnya tadi ia membawa topi pantai, setidaknya topi itu bisa melindunginya terpapar lebih banyak matahari, bukannya Ara takut gosong, hanya saja panasnya benar-benar tidak terkira.

"Panas banget, ya." Ara menoleh melihatnya, tersenyum sedikit lalu mengangguk. "Ayok, masuk." Dafi mengajaknya mengantre membeli tiket. Ara menurut saja sambil menutupi wajahnya dengan tangan di atas kening.

"Nona." Ara menoleh, itu suara Dante. Dante setengah berlari menuju ke tempatnya, dengan pakaian serba hitam serta topi hitamnya yang tidak pernah ketinggalan. Ara menelan ludah susah payah, jantungnya seperti jumpalitan. Mata yang selalu tajam tapi awas itu menyorotnya teduh. "Anda harus memakai ini." Katanya lalu memakaikan Ara topi pantai yang seharusnya ia bawa, bahkan Dante tahu kebutuhannya, bahkan Dante tahu apa yang diinginkannya sebelum dia sempat bicara.

Ara memejamkan mata sebentar ketika tangan besar itu terulur memakaikannya topi. "Anda juga harus memakai ini." Dante memberinya sunblock, Ara tersenyum. "Saya dengar, perempuan selalu memakai ini supaya kulitnya tidak terbakar, barangkali anda lupa membawanya nona."

Ara mengambil sunblock itu. "Gue emang nggak pernah bawa dan nggak pernah pake tapi kali ini gue emang lagi butuh banget ini." Dante tersenyum, yang meski hanya berupa garis lurus tapi itu terlihat manis di mata Ara. "Tumben elo senyum." Celetuk Ara tiba-tiba.

Dante tersenyum sedikit lebar. "Saya senang anda menerima pemberian saya."

"Lagi butuh soalnya."

Daddy KampretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang