Hanin Rasyid baru saja turun dari gojek yang ditumpanginya. Dia tersenyum simpul yang anggun pada abang gojek itu sembari mengembalikan helm yang ia pakai. Seketika semilir angin yang menerpa membuat rambutnya berterbangan. Dengan jemarinya yang panjang dan lentik Hanin membenarkan rambutnya yang terkana angin. Dress dengan panjang di bawah lutut berwarna nude yang berbahan jatuhnya ikut diterpa angin. Tapi seolah tidak peduli sekalipun badai katrina menyerangnya Hanin mengeluarkan dompet untuk membayar gojek itu. Lalu kakinya yang panjang dan sangat indah yang dibalut sepatu cast berwarna putih melangkah menunju lobi besar sebuah perusahaan milik yang suami yang sangat dicintainya.
Seorang satpam langsung menghampirinya begitu ia akan masuk. "Selamat siang, mbak. Ada yang bisa saya bantu?."
Hanin tersenyum simpul. "Saya akan menemui seseorang."
Satpam itu melongo beberapa detik saking terkesiapnya oleh kecantikan sosok perempuan muda didepannya. Lalu dia menelan ludah ketika tersadar dan ikutan tersenyum simpul. Aura dan pembawaan perempuan ini seperti sanggup mengintimidasinya. Rasanya perempuan ini adalah perempuan tercantik dan ter-anggun yang pernah satpam itu temui.
"Sudah membuat janji temu?."
Perempuan itu tersenyum simpul lalu mengangguk. "Saya akan langsung ke atas." Katanya dengan suara tegas yang masih terdengar lembut. Dengan bibir terbuka satpam itu masih memperhatikan kepergian Hanin, saat perempuan itu merogoh tasnya untuk mengambil sesuatu di dalam sana yang berakhir dengan sosok itu bertabrakan dengan segerombolan pegawai wanita yang punya dandanan seperti akan pergi clubbing. Kopi salah satu dari gerombolan itu tumpah dan jatuh kelantai.
"Holy shit! Kopi gue tumpah!." Si pemilik kopi berseru histeris. Teman-temannya meneliti penampilan Hanin lalu mengumpat.
Hanin melihat kopi itu yang terjatuh dan menciprati sepatunya. Dia menghembuskan nafas lalu melihat segerombolan perempuan itu. Salah satu dari mereka yang punya dandanan paling mencolok melihat Hanin dengan tampang permusuhan yang kental. "Eh ibu lurah! Punya mata kagak elo! Bisa-bisanya maen tabrak-tabrak aja!."
Hanin tidak mengatakan apa-apa tapi mengeluarkan uang dari balik dompetnya. Memberikan selembar seratus ribu itu kepala pemilik kopi yang tumpah. "Saya akan mengganti."
Perempuan yang punya rambut blonde menepis uang itu. "Ganti aja nggak cukup. Elo pikir belinya kagak jalan kaki!."
Hanin melihat perempuan itu lalu berujar tenang. Sangat tenang nyaris tanpa kemarahan. "Saya akan gantikan dengan yang baru."
Tapi si rambut blonde masih saja tidak puas. "Jam istirahat kita akan berakhir dalam tiga menit, elo pikir, elo bisa ganti dalam tiga menit."
"Saya sudah ditunggu. Tolong jangan mempersulit." Katanya betulan tegas. Keempat perempuan itu terkesiap sebentar oleh ketegasan Hanin tapi sedetik kemudian mereka serempak tertawa meremehkan.
"Masih mau interview aja belagu elo! Gue peringatin ya, gue bisa bikin elo nggak diterima di sini!."
Tapi seolah tidak peduli oleh ancaman itu Hanin malah menelfon seseorang. "Tolong pesankan kopi di starbucks dekat kantor, secepatnya. Kalo bisa tiba dalam tiga menit."
"Oh jadi elo anaknya orang kaya! Pantes kelakuannya belagu."
Salah seorang dari mereka yang berambut pendek mendorong dada Hanin dengan telunjuknya. "Jangan belagu! Yang kaya bokap elo! Elo belum jadi apa-apa." Hanin menghembuskan nafas lalu tanpa berkata apa-apa dia memilih pergi dari situ. Tidak peduli segerombolan itu mengejarnya tidak terima. Kemudian terkesiap dan langsung berhenti di tempat, tidak berani mendekat ketika Hanin tau-tau berhenti di depan lift khusus CEO dan mengeluarkan kartu untuk mengakses lift tersebut. Keempat gerombolan itu tercekat bersama beberapa orang termasuk satpam tadi dan resepsionis yang sama terkesiapnya. Bisa jadi sosok itu punya hubungan yang tidak biasa dengan CEO mereka. Tidak ada siapapun manusia di kantor ini yang punya akses untuk menggunakan lift khusus CEO, hanya pak Tristan Mikail sang CEO sendirilah yang punya, tidak termasuk anak tirinya yang biasa ia bawa itu, Almera Jenar Bachtiar. Tapi perempuan itu memilikinya, dia jelas bukan sosok sembarangan. Dan tentu saja mereka dalam masalah.
***
Hanin keluar dari lift itu, dan langsung dihadapkan pada lantai khusus CEO. Dia tersenyum sebentar membayangkan suaminya yang sangat tampan. Laki-laki itu pasti sedang menunggu di dalam bersama putrinya yang centil. Kadang Hanin itu heran dengan Ara, anak gadisnya yang mulai beranjak dewasa itu masih saja bersikap cerewet dan kekanak-kanakan. Padahal Ara sudah dua puluh satu dan sebentar lagi mereka akan menjodohkannya. Meskipun perjodohan ini terdengar sedikit gila tapi percayalah hanya itu satu-satunya cara agar Ara belajar bersikap dewasa. Diam-diam Hanin mengulum senyuman geli, tentu saja perjodohan ini bukan perjodohan sungguhan. Ia masih tidak rela jika putri semata wayangnya harus dimiliki orang lain, selain dirinya.
Seorang sekretaris muda menyambutnya dengan sopan dan senyuman ramah. Hanin memberinya senyuman simpul. Lalu sekretaris itu berkata. "Ada yang bisa saya bantu?." Hanin menggeleng sambil menyembunyikan senyuman geli, oh jadi ini sekretaris yang dibicarakan Ara selama ini. Sekretaris daddy yang masih mudah dan sangat seksi. Mengapa sang anak lebih mengkhawatirkan daddnya selingkuh ketimbang ia sendiri. Entahlah. Rasanya memikirkan kemungkinan Tristan berselingkuh di belakangnya rasanya mustahil. Laki-laki itu begitu mencintainya dan Hanin tahu yang ada di hati Tristan hanya dirinya.
"Nggak ada, mbak." Hanin menggeleng kecil. "Saya akan langsung masuk aja." Dengan anggun seperti biasa, Hanin mendorong pintu besar itu. Sekretaris baru yang belum berpengalaman itu terbirit-birit memutari meja besarnya untuk kemudian susah payah mencegah Hanin memasuki ruangan sang CEO tapi terlambat. Hanin sudah masuk keruangan keramat itu. Sheva berdiri sangat takut dan bingung didepan pintu besar sang bos. Ia ragu apa harus mengejar atau tetap berdiri menunggu di sini. Lagian bisa-bisanya perempuan yang seperti artis itu tau-tau masuk tanpa permisi. Meskipun dia sangat cantik dan anggun sekali tapi tidakkah dia tahu bahwa tidak semua orang bebas keluar masuk ruangan CEO. Dia pikir ini perusahaan nenek moyangnya apa.
Lalu setelah bergelut dengan pemikirannya Sheva memilih masuk kedalam, ia harus meminta maaf pada sang bos dan menyeret wanita itu keluar tapi pemandangan yang ia temui malah membuatnya berkali-kali lipat tercengang. Si perempuan itu duduk di sebelah sang bos, Sheva melirik tangan keduanya yang bergandengan dengan sangat mesra seolah ada lem tak nampak yang mengikat tangan keduanya. Sedang nona Ara duduk di sebelah perempuan itu dengan kepala yang bersandar di malas di bahu perempuan itu dan jangan lupakan tadi nona Ara memanggil perempuan itu dengan sebutan 'ma.' Jangan bilang asumsi Sheva benar! Perempuan ini adalah istrinya pak bos yang sangat tampan dan ibunya nona Ara. Sepertinya Sheva salah memahami situasi ini dan ia betulan malu sekarang.
"Kenapa, Sheva?." Tanya pak Tristan yang membuat Sheva kikuk setengah mati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Daddy Kampret
Romance"Daddy nggak akan punya anak lagi sebelum kamu menikah!." ~ Daddy, ayah tiri yang umurnya hanya berjarak lima tahun lebih tua dari Ara. Ara menyemburkan kopi yang diseduhnya lalu menjerit nyaris berteriak. Ia tahu Daddynya masih trauma, tapi ini ber...