9.

2.1K 163 4
                                    

Ara sedang mengerjakan tugas kampus ketika ketukan di pintu kamarnya terdengar. Setengah malas Ara membuka pintu kamarnya dan yang didapatinya adalah wajah segar om Indra --om Indra adalah orang yang bertanggung jawab sepenuhnya dengan rumah ini, dia semacam kepala para pegawai di sini-- di sore yang yang cerah ini.

"Kenapa om?."

"Nona, sepedanya sudah datang di depan." Ara mengernyit lalu sedetik kemudian ketika tersadar dia mengangguk malas.

"Oh."

"Anda tidak ingin mencobanya?."

"Maksud elo gue suruh sepedaan di depan tv gitu? Nggak makasih." Ara menutup pintu dan kembali mengerjakan tugas dengan loyo. Dasar daddy tau gitu nggak usah dibeliin. Memangnya Ara ini anak kemarin sore yang tidak bisa bersepeda apa! Hellow. Yang benar saja.

"Nona." Ketukannya kembali terdengar. Ara mengeram dalam hati! Apa lagi sih? Setengah kesal Ara mengangkat kakinya menggapai pintu. Dilihatnya wajah om Indra yang masih sama. Urusan mereka ternyata belum kelar juga.

"Kenapa lagi om?."

"Kalo yang nona maksud sepeda virtual nona salah--."

"Oh jadi maksud om aku dibeliin sepeda balap."

Om Indra mengerjab kemudian menggeleng. "B-bukan. Sepeda seperti biasa yang bisa digunakan jalan-jalan sore."

"Oh sepeda anak balita yang roda tiga." Ara menggeleng. "Nggak ah om, makasih."

Om Indra berusaha sabar, meski rasanya ingin sekali menyeret nona Ara biar urusan mereka cepat kelar. "Nona bisa melihat dulu."

"Nggak perlu, gue musti ngerjain tugas."

"Sebentar saja nona."

"Kok elo jadi yang maksa sih?."

"Karena saya yakin nona akan menyukainya."

Ara mengernyit. "Dari mana elo tau?."

Om Indra tersenyum geli. "Orang-orang membicarakan anda yang merengek meminta dibelikan sepeda di kantor tadi siang."

Ekspresi Ara hanya berupa wajah datar sambil mengatakan. "Oh."

Om Indra mengulurkan tangannya dengan sopan membimbing Ara. "Mari nona." Setengah tidak rela Ara mengikutinya. Lalu menutup mulut saking terkejutnya, mendapati bukan sepeda virtual yang dimaksud om Indra tapi ini sepeda asli. Sepeda sungguhan seperti yang Ara minta. Waaaaahh~~ daddy rupanya tidak sungguh-sungguh melarangnya bersepeda. Bola mata Ara melebar kegirangan. Dia menghampiri sepeda barunya itu dengan antusias.

"Waaaahhh~~ keren bangeeeett."

"Nona suka?."

"Suka banget dong!." Ara mendongak  melihat om Indra. "Boleh di pakek sekarang?." Om Indra mengangguk.

"Silahkan, sepeda itu milik anda."

"Yessss!." Desisnya kesenangan, persis seperti anak kecil ketika keinginannya dituruti.

Ara memakai sepeda itu, dengan siaga om Indra berdiri di sampingnya, berjaga-jaga kalau-kalau nona Ara terjatuh om Indra bisa menangkapnya lebih cepat ternyata di luar dugaan, nona Ara berhasil. Dia mengayuh sepeda itu dengan sempurna. Betapa om Indra turut bangga, maklum nona Ara itu princess dan bayi besarnya tuan  Tristan Mikail, princess tentu saja tidak boleh dong mengendarai sepeda, bukannya apa, kalau sesuatu yang buruk terjadi pada nona Ara, nyonya Hanin akan jadi orang pertama yang sangat bersedih dan kesedihan nyonya Hanin adalah hal terakhir yang ingin tuan Mikail lihat.

"Liat om Indra aku bisa!." Seru Ara histeris, setengah tidak percaya dirinya bisa.

Om Indra dibelakangnya berseru sedikit keras. "Saya percaya nona."

Daddy KampretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang