Ara turun dari ranjang Queen size-nya, pagi ini seperti biasa Ara akan mencuci muka lalu turun ke bawah sebentar untuk menemani mama memasak. Ketika akan mencuci muka, di depan cermin wastafel yang besar Ara tiba-tiba saja teringat perbuatannya semalam dengan Dante. Astaga! Apa-apaan itu! Perbuatannya! Memangnya Ara semalam ngapain? Ara bergidik membayangkan kedekatan mereka semalam. Bisa-bisanya Ara santai saja membiarkan Dante tertidur di pahanya. Oh astaga. Bahkan tidak ada laki-laki manapun yang pernah sedekat itu dengannya. Ayolah! Barangkali semalam Ara setengah tersadar. Seseorang tolong katakan jika semalam itu mimpi. Tuhanku yang maha baik, Ara pasti sungguhan gila sekarang.
Ara menepuk-nepuk pipinya beberapa kali, dia betulan geram sendiri. Bagaimana kalau nanti Ara bertemu Dante? Apa yang harus dia lakukan? Apa yang sebenarnya di pikirkan Dante melihatnya semalam? Apa Dante akan berfikir jika Ara sengaja mendekatinya? Bagaimana kalau Dante berfikir Ara tertarik dengannya? Astaga!!!! Ara merutuki dirinya sendiri. Dia menjambak rambutnya frustasi lalu menghentak-hentakkan kaki dengan kesal setengah cemas.
Dengan lemas Ara keluar kamar, rambutnya berantakan. Ara tadi sudah bercermin dan dengan segala kesadarannya Ara mengakui bahwa kini dia mirip singa. Rambut berantakan iniiii, sudahlah Ara malas menata rambutnya. Ara keluar kamar dengan loyo seperti badai topan baru saja menyerangnya.
Lalu terlonjak, sangat kaget, saking kagetnya Ara sampai nyaris terpelesat dan jatuh tapi sosok itu yang berjasa membuat Ara shock malah dengan tanpa dosanya cepat-cepat menahan tubuh Ara. Tangannya yang besar melingkari pinggang Ara, mereka berakhir dalam kedekatan yang biadab. Buru-buru Ara memisahkan diri, dia menelan ludah lalu dengan sangat canggung Ara berdehem, apa saja, melakukan apa saja asal tidak kelihatan canggung.
Bukannya meminta maaf atau apa Dante malah lancang tau-tau masuk ke kamarnya. Ara tercengang sebentar melihat kelakuan tangan kanan daddy yang seolah tidak ada hormat-hormatnya dengannya.
Saat Dante keluar, dia membawa sandal rumah Ara. Ara mengernyit tidak mengerti. Tanpa mengatakan apa-apa Dante berjongkok di depan Ara, dia meletakkan sandal itu di depan kaki Ara. Lalu mendongak, mata birunya itu menatap Ara sangat intens, dilihat seperti itu Ara menelan ludah, dia mengerjap merasa luar biasa salah tingkah. Dante berdiri, seperti mengerti segala keheranan Ara, dia menjelaskan. "Di luar hujan, hawanya sedang dingin, saya pikir, sebaiknya nona memakai sandal." Setelah mengatakan itu dia mengangguk sebentar, lalu pergi begitu saja seperti tidak berdosa. Ara menyentuh jantungnya, apa Ara bisa terkena serangan jantung jika jantungnya terus berdetak dengan tidak normal begini?
***
"Anak daddy yang paling cantik." Daddy melihat Ara dengan tatapan penuh penilaian. "Kamu kok kayak baru keluar dari hutan gitu?."
Ara berjalan lurus saja lalu duduk di kursi bar, menonton mama yang memasak di pantry sana. Jangan pedulikan mulut lemes daddy, karena hari ini Ara betulan malas berdebat. "Daddy nggak liat aku udah lemes gini kayak ibu-ibu baru lahiran."
Daddy malah bertanya seperti orang bodoh. "Memangnya kamu abis lahiran?."
"Emang semesta itu adil ya, orang bilang daddy itu sempurna, padahal mah beuh, nenek-nenek pakek behel juga tau kalo daddy itu aslinya Nikita Mirzani versi cowok." Tawa daddy menggema.
"Sayang, daddy tersanjung atas pujian kamu."
"Aku bakal terharu kalo daddy mau diem sehariiiiiii ini aja."
Daddy tersenyum merendahkan. "Daddy sangat senang kamu begitu menyayangi daddy."
Dengan geram Ara menyatukan tangan di depan dada, berdo'a. "Ya Allah yang maha baik, tolong bikin daddy diam aja. Tolong kunci aja mulutnya daddy biar nggak bisa lagi ngomong ya Allah." Daddy tersenyum saja melihat anaknya berdo'a begitu.
Diketuknya kepala Ara seperti kepala Ara ini pintu. "Ara sehat?."
Bukannya menjawab Ara malah meluncur turun dari kursi pantry, dia mendumel dengan kesal. "Ara mau bantuin mama aja, nggak mau dengerin daddy nyinyir." Tapi daddy yang hobi-nya memancing kekesalan Ara tentu saja tidak akan tinggal diam. Daddy ikut turun dari kursi pantry lalu bergabung dengan anak dan istrinya. Daddy tau-tau memeluk mama dari belakang, mama yang sedang mengiris tomat tentu saja berseru protes, tapi seolah tidak peduli daddy tetap saja tidak melepas pelukannya.
"Dad, bisa tunggu aja di pantry sana." Tolak mama yang merasa risih daddy mengganggunya.
Daddy mencium pipi mama sebelum berkata. "Aku bisa bantuin kamu masak sayang."
"Kamu bisa bantuin dengan duduk aja." Daddy cemberut tapi masih tidak melepas pelukannya. Tawa Ara meledak.
Ara susah payah menguasai diri. Dia menyeka sudut matanya yang berair. Puas sekali menertawakan daddy. "Daddy bisa duduk aja, mama nggak mau diganggu tuh." Lalu tertawa lagi dengan lebih keras. "Aduuh, aku turut berduka daddy di tolak mama."
Daddy membuat ekspresi pura-pura takut. "Sayang, kamu denger, ada suara tapi nggak ada wujudnya."
Mama menoleh melihat daddy dengan wajah lelahnya, interaksi anak dan suaminya memang selalu berhasil membuatnya darah tinggi. "Dadd, jangan ganggu anaknya lagi. Masih pagi ini."
Daddy malah melihat sekeliling dengan tatapan mencari-cari. "Ara, ara ... anak daddy yang paling cantik. Loh? Tadi dia di sini sekarang kok nggak ada." Daddy melihat mama. "Sayang, kamu tahu di mana Ara?."
Mama menarik nafas panjang, melihat daddy lalu geleng-geleng kepala. Tristan Mikail kalau sudah berurusan dengan anaknya memang keduanya bisa jadi sangat menyebalkan. Mama memilih tidak menjawab apa-apa dan memasukkan seluruh bumbu yang akan ia tumis. Selama itu pula daddy masih saja sangat lengket dengan mama. Ara mendengus. Huh! Dasar daddy, mau menyombongkan diri kalau bisa begitu mesranya dengan mama. Dia pikir Ara tidak bisa apa! Lihat saja nanti kalau Ara sudah nikah. Akan Ara tunjukkan di depan muka daddy.
Saking hikmad-nya melamun Ara sampai tidak sadar penggorengannya sudah diisi minyak oleh mama, minyak-minyak itu memuncrat dan mengenai tangan Ara. "Awww!." Ara memekik terkejut, bersamaan dengan itu sosok Dante di depan sana akan memasuki pantry, begitu melihat Ara Dante langsung cepat-cepat berlari dan menjangkau tubuh Ara. Reflek Dante masih lebih cepat ketimbang daddy, daddy saking cemasnya sampai hanya mampu membatu, melihat anaknya di tangani Dante.
Dante meniup-niup ujung jari Ara yang terkena minyak. Dia membawa Ara mencuci tangannya di wastafel, bukan perkara jari-jari Ara yang terkena minyak yang ia khawatirkan tapi masalah kenapa juga harus Dante yang menolongnya, kenapa juga Dante terlihat sangat khawatir begini? Apa Ara ini sangat penting di matanya? Ara menggeleng kuat-kuat, mengusir pertanyaan itu dari kepalanya. Aduuuuh, apa sih yang Ara pikirkan ini.
Ngomong-ngomong, dari jarak sedekat ini Ara bisa mencium aroma maskulin dari tubuh Dante, aroma khas cowok yang sangat Ara sukai. Ihiiii. Harum aroma Dante, duh! Kenapa sih Ara harus sangat menyukainya. Dante berjalan sedikit cepat, dia mengambil es dari dalam kulkas, lalu meminta pelayan memberinya kain untuk membalut es itu. Setelah selesai Dante memberikannya pada Ara. Ara menerimanya dengan salah tingkah. Tapi begitu melihat tatapan daddy yang seperti mencurigai sesuatu, Ara buru-buru menguasai diri. Harap tenang. Jangan terlihat seperti kamu sedang gugup, Ara. Jangan sampai daddy tahu, dia pasti akan membully Ara habis-habisan nanti.
"Nona, bisa lepaskan tangan saya." Ara seketika mengerjap, dia tergagap melihat daddy dan mama menertawakannya lalu Dante yang masih setia dengan wajah datarnya. Ara masih bingung ketika Dante menunjuk dengan matanya tangan Ara yang masih memegang tangan Dante. Ara cepat-cepat melepas tangan Dante dengan ketenangan yang sudah berhasil dikuasai. Ara melihat mama dan daddy dengan tampang tanpa dosa, seolah mempertanyakan apa yang mereka tertawakan. Lalu memilih pergi dari situ dan duduk di kursi bar, menunggu mama masak saja seperti tadi sambil mengompres tangannya dengan es pemberian Dante sambil dalam hati berkali-kali menyakinkan diri, semoga saja mama dan daddy tidak menyadari keanehan tingkah Ara. Semoga. Ara berharap sambil meyakinkan diri berkali-kali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Daddy Kampret
Lãng mạn"Daddy nggak akan punya anak lagi sebelum kamu menikah!." ~ Daddy, ayah tiri yang umurnya hanya berjarak lima tahun lebih tua dari Ara. Ara menyemburkan kopi yang diseduhnya lalu menjerit nyaris berteriak. Ia tahu Daddynya masih trauma, tapi ini ber...