Daddy melingkarkan lengannya dipundak Ara, disamping Daddy ada Dante, tangan kanan sekaligus orang kepercayaan Daddy di perusahaan. Orang yang biasa mengambil keputusan sampai memimpin perusahaan disaat Daddy tidak ada. Dante ini masih muda, ya meskipun setahun lebih tua dari Daddy. Dia bule keturunan Jerman, badannya bagus dengan otot yang tercetak nyaris sempurna. Dia punya tinggi badan di atas seratus delapan puluh. Tinggi badan khas bule. Ara tidak buta untuk tahu bahwa rata-rata semua karyawan perempuan di perusahaan ini menyukai Dante. Dante itu, dingin tapi menarik.
Ara sering menggodanya, karena sepertinya sampai sekarang si cowok dingin itu masih sangat setia dengan Daddynya, Dante tidak pernah terlihat sekalipun bersama perempuan. Kadang Ara sempat berfikir, apa Dante gay? Tapi kata Daddy, Dante hanya terlalu fokus bekerja.
Mereka sedang berjalan di lobi perusahaan, setelah turun dari mobil, untuk sampai di satu-satunya lift yang langsung terhubung keruangan Daddy. Jadi, setiap kali Ara pulang kuliah, dia akan selalu mampir dulu ke kantor Daddy. Tidak langsung pulang, karena di rumah tidak ada mama. Mama akan pulang mengajar pada pukul dua, otomatis Ara harus bertahan dengan Daddy sampai mama pulang. Mama dan Daddy tidak pernah mempercayai siapapun disini termasuk orang rumah dan beberapa pengawal, bahkan yang paling setia sekalipun untuk menjaga Ara.
"Baik. Saya akan pergi dulu, pak." Dante pamit mengundurkan diri.
Ara melihat Dante, lalu tersenyum licik mendapati beberapa karyawan perempuan melirik Dante tertarik. "Kemana Dante? Kamu mau pergi?." Katanya lantang, percaya diri seperti biasa.
Dante langsung berhenti melangkah, dia menoleh melihat Ara. Ara memberinya senyum menenangkan yang memesona. Daddy langsung memberikan tatapan peringatan yang tidak main-main.
"Maaf nona?." Dante berujar tidak mengerti.
Ara semakin melebarkan senyum. "Nggak papa. Aku cuman mau bilang rambut baru kamu bagus." Beberapa gerombolan karyawan perempuan yang melintas di lobi terkesiap. Beberapa lagi yang sengaja pura-pura melintas di lobi hanya untuk melihat Dante juga menampilkan keterkejutan yang sama. Dante tidak menampilkan ekspresi apa-apa lalu mengangguk dan pergi dari situ. Ara cekikikan melihat kepergian Dante sambil melirik beberapa pegawai wanita yang baru saja patah hati. Ck ck ck, Ara berdecak, lalu menyilakan rambutnya kebelakang dengan puas. Lumayan hiburan.
"Ayo Dad." Ara melihat Daddy lalu seketika juga dia merasa takut. Apa yang baru saja ia lakukan merupakan kesalahan besar? Daddy terlihat seperti macan tertidur yang baru saja dibangunkan. Ini malapetaka!
"Ara! Apa yang baru saja kamu lakukan?!." Daddy terlihat betulan marah.
Ara tersenyum meringis. "Becanda, Dad."
Daddy malah terlihat semakin berang. "Apa becanda kayak gitu?!." Tidak peduli puluhan karyawan menontonnya.
"Daddy aja yang lebay. Itu sebagai bentuk aku menghormati Dante, karena dia udah mengabdi luar biasa sama Daddy."
"Apa cara menghormati kayak gitu, kamu bisa melakukannya dengan lebih sopan."
"Alah lama kalo sopan-sopanan. Yang tadi aja udah sopan banget."
Daddy terlihat menghembuskan nafasnya keras. Mereka berdebat lagi. Rutinitas sehari-hari. Ara memutar bola mata. Sudah biasa. "Ara, apa yang kamu inginkan. Bisa nggak sih, sehari aja kamu nggak menentang Daddy."
"Daddy, bisa enggak sih sehari aja Daddy nggak lebay."
"Apa itu sopan, Ara?."
"Apa itu sopan Daddy aku dimarahin ditempat umum?."
"Apa itu sopan kamu bukannya menjawab malah balik bertanya?."
"Yaelah! Gitu aja baper. Daddy itu baperan. Nggak asik."
KAMU SEDANG MEMBACA
Daddy Kampret
Romance"Daddy nggak akan punya anak lagi sebelum kamu menikah!." ~ Daddy, ayah tiri yang umurnya hanya berjarak lima tahun lebih tua dari Ara. Ara menyemburkan kopi yang diseduhnya lalu menjerit nyaris berteriak. Ia tahu Daddynya masih trauma, tapi ini ber...