Hanin Rasyid mendorong pintu kamar putrinya, begitu pintu terbuka hal pertama yang ia lihat adalah seluruh kamar gelap, hanya ada putri yang sangat dicintainya yang tengah berbaring malas di atas ranjang yang besar dengan tv besar yang menyala, menampilkan sebuah acara di YouTube. Hanin menghembuskan nafasnya lalu mengambil sebuah remote, seketika ruangan itu jadi terang benderang. Ara menoleh melihatnya lalu berujar. "Eh mama." Sambil memakan sebuah snack dengan berantakan membuat remehan-remehan snack itu jatuh di atas tempat tidurnya. Tapi sedikitpun Ara tidak merasa terganggu, seolah sudah lama Ara bermusuhan dengan rasa jorok.
Hanin Rasyid tidak mengatakan apa-apa tapi dia memunguti remehan-remehan snack yang berserakan. Ara yang melihat sang mama hanya mampu nyengir. "Kalau sampai daddymu melihat ini, mama nggak yakin daddy nggak akan mengomeli kamu sepanjang hari."
Ara memanyunkan bibirnya. "Abisnya Ara bosen. Kuliah lagi libur, nggak ada kerjaan, mama sama daddy sibuk sendiri-sendiri." Katanya sedikit merajuk.
Mama melihatnya lalu tersenyum. "Princess-nya mama kapan si dewasanya."
Ara menjawab tidak terima." Aku udah dua puluh dua ma, ya udah dewasa lah."
Mama tidak menjawab tapi malah mengangkat sprei Ara sambil mengatakan. "Sana, mandi, persiapkan diri kamu. Tiga puluh menit lagi Dafi jemput kamu, kalian bisa jalan-jalan sebagai bentuk perkenalan."
"Hah!." Ara menjerit saking terkejutnya.
Mama mendongak dari melipat sprei itu. "Shtt, jangan keras-keras, Ra."
"Ma!." Ara merengek. Bahunya merosot, dia jatuh terduduk di lantai dengan mengenaskan. "Maaa, aku nggak mau di jodohin."
"Bagun dan persiapkan diri kamu, cantik." Mama menghampirinya lalu membantu Ara berdiri. "Mau mandi sendiri atau di mandiin mama."
"MAMA AKU BUKAN BAYI!." Tawa mama meledak. Mama memang paling suka menggoda anaknya.
"Yaudah mandi sana." Dengan berat hati Ara menurut juga. Mama melihat kepergian putrinya lalu mengukir senyum. "Dari dua puluh tahun yang lalu sampai sekarang, tidak ada yang berubah, kamu masih tetap jadi bayi kecilnya mama yang manja sayang." Lalu membersihkan remehan snack Ara dan membawa bad cover kotor itu kebelakang, sekalipun Hanin Rasyid bisa meminta orang untuk melakukannya tapi dia memilih melakukannya sendiri.
Tapi ketika Hanin Rasyid menuruni tangga bersamaan dengan itu dia berpapasan dengan suaminya. "Apa apaan ini!." Tristan Mikail berjalan marah ketempat sang istri, dirampasnya bad cover berat itu dari tangan sang istri. "INDRA! INDRA!." Teriaknya sangat keras sampai beberapa pelayan berhamburan ketempat majikan mereka. Indra terbirit-birit mendatangai Tristan dengan wajah cemas sejadi-jadinya.
"Iya, tuan?."
"Apa apaan ini, elo biarin bini gue ngangkat berat-berat kayak gini. Mau MATI elo, hah!." Desisnya tepat di depan wajah Indra. Indra hanya mampu menunduk, tidak berani mengangkat kepala.
Hanin Rasyid menghembuskan nafas lalu meraih lengan suaminya, diusapnya punggung dan lengan suaminya dengan lembut, seolah menyalurkan ketenangan. "Dad." Bisik Hanin di telinga suaminya, seketika kemarahan Tristan menguap berganti eskpresi kelembutan.
"Apa, ma?."
Hanin berjinjit untuk mencium pipi suaminya. "Sementara Ara pergi dengan Dafi, kita bisa baca buku, kita belum selesai diskusi buku yang kemarin, dad."
Tristan Mikail tersenyum lembut, dia mengecup kening istrinya. "Apa sih yang enggak buat kamu, ma."
Hanin Rasyid tersenyum lalu menggandeng lengan suaminya turun, ketika melewati Indra, Hanin mengedipkan sebelah mata. Indra menunduk dengan senyum sedikit sebagai ucapan terimakasih. Seolah teringat sesuatu Tristan berbalik, tatapannya menghunus tajam Indra di atas sana. "Urusan kita belum kelar." Bukan hanya Hanin Rasyid yang menghembuskan nafas lelah, Indra juga melakukan hal yang sama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Daddy Kampret
Lãng mạn"Daddy nggak akan punya anak lagi sebelum kamu menikah!." ~ Daddy, ayah tiri yang umurnya hanya berjarak lima tahun lebih tua dari Ara. Ara menyemburkan kopi yang diseduhnya lalu menjerit nyaris berteriak. Ia tahu Daddynya masih trauma, tapi ini ber...