4. Dream

14.1K 600 0
                                    

Percayalah tidak ada adegan 18tahun keatas disini ><

Aku terengah-engah dalam penyatuan cinta kami. Ku tekankan semakin dalam kuku-kukuku di punggung kokohnya Aldo. Aldo masih menatapku dengan mata elangnya yang penuh gairah. Keringatnya mengalir dari dahi ke lehernya terus menuju dadanya yang berhimpit dengan dadaku dimana kami sama-sama polos tanpa dibatasi sehelai benang pun.

Aldo mengencangkan gerakannya. Dia menyebut namaku berkali-kali tapi aku tidak bisa mendengarnya dengan jelas. Ketika dia menggeram, yang kudengar malah tangisan bayi. Suara itu kencang dan memekakan telingaku.

Bulir air mataku jatuh begitu saja ketika suara itu semakin keras. Aku berusaha mendorong tubuh Aldo untuk menjauh. Mencoba melepaskan bagian tubuhnya dari tubuhku. Saat dorongan ketiga aku berhasil. Aldo melepasku dan duduk disampingku. Aku bangkit. Merasakan nyeri sangat hebat di perut dan bagian intimku. Aku melihat ke intiku yang ternyata sudah mengeluarkan banyak darah. Dan nyanyian tangis bayi itu semakin kencang.

Aku menutup mukaku dengan kedua telapak tanganku dan mulai menangis. Aku ikut menangis mengingat darah yang keluar dari bagian intimku yang menandakan sesuatu yang buruk. Tubuhku bergetar hebat karena tangisku yang kencang.

"Jeje.." Suara Aldo terdengar jelas menggantikan suara tangis bayi yang tiba-tiba menghilang. Aku membuka mata, melihat kesekelilingku yang berubah menjadi putih semua. Aldo sudah tidak ada disampingku lagi. Dia menghilang.

Kini tiba-tiba seluruh badanku terasa letih. Tapi aku mengusahakan diriku untuk bangkit dari ranjang menuju boks mungil di ujung ruangan yang juga berwarna putih. Dan saat aku sadari aku sudah memakai gaun putih juga.

"Jeje.." Suara Aldo kembali terdengar. Aku mengabaikannya sama sekali. Tujuan utamaku adalah boks bayi itu. Pasti itu adalah boks bayiku. Malaikat kecilku.

Ketika aku sudah berjalan menuju boks itu, tiba-tiba sebuah tangan menggenggam jemariku. Aku berhenti. Kulihat tangan mungil itu yang menggenggamku erat. Gadis cilik yang mungkin berumur satu tahun itu berdiri dengan imutnya dibalik gaun putih permaisurinya. Dia tersenyum padaku. Ketika aku ingin berbalik menggenggam tangannya, dia malah melepaskanku. Berlari menjauh sambil melambaikan tangan.

Aku ingin mengejarnya. Tentu saja. Dia putriku. Wajahnya itu sangat mirip denganku. Dia, cetakanku saat diriku masih kecil.

Belum beberapa langkah mengejar bocah perempuan itu. Sebuah tangan menepuk pundakku. Aku menoleh kebelakang. Mama berdiri disana. Menatapku dengan sedih lalu menarikku dalam pelukannya. Dia berbisik, "bangun sayang."

Tapi suaranya begitu berat. Seperti suara Aldo. Merasa aneh, kujauhkan diriku darinya dan ternyata Aldo lah yang berada didepanku. Dia tersenyum prihatin sambil mengusap pipiku dengan punggung tangannya. Membuatku memejamkan mata menikmati sentuhannya. "Bangunlah," katanya lagi. Dan aku membuka mata.

Wajah Aldo tampak khawatir menatapku. Dia menarikku kepelukannya dengan mengucapkan syukur beberapa kali. Aku sudah kembali ke kamar. Semua barang yang ada disini sangat ku kenal. Dan rasanya aku baru saja bermimpi.

"Kau baik-baik saja?" tanya Aldo ketika dia sudah menjauhkan tubuhnya dariku. Aku mengangguk lalu menggeleng. Aku tidak tahu harus senang atau sedih melihat mimpiku barusan.

"Minum dulu." Aldo menyodorkan segelas air putih yang diambilnya disebelah nakasnya tadi. Dengan bantuannya, aku menenggak minuman itu.

"Kau tadi menangis sendiri. Saat ku bangunkan, kau tampak menolak dan beberapa detik kemudian terdiam. Ku kira kau tertidur lagi, tapi tubuhmu malah bergetar hebat membuatku takut. Ku kira kau kenapa-napa. Syukurlah kau baik-baik saja." Aldo tampaknya berusaha membuatku berbicara. "Apa kau mimpi buruk?"

Waiting BabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang