11. Choice

12.8K 577 2
                                    

Aku mencium bau coklat panas menguar di sekelilingku. Itu membuat perutku berbunyi pelan sehingga aku mengernyit. Pagi-pagi siapa yang buatin coklat panas?

Aku mengerjap-ngerjapkan mataku berusaha bangun. Dan yang pertama kali ku temukan adalah Aldo yang sudah rapi dengan sweater lengan panjang dan celana panjang khaki duduk di sofa menghadap padaku.

"Pagi," sapaku dengan menyunggingkan seulas senyumku padanya. "Sedang apa?"

"Menonton kau yang sedang tidur," jawabnya setelah membungkukkan badannya kearahku. "Curang!" responku.

Aku bangkit dari tidur tengkurapku dan menyadari bajuku sudah tertukar semalam. Pasti Aldo yang menukarkannya. Aku mencondongkan wajah kepadanya dan dia menyambutku dengan kecupan ringan dibibirku. Aku menjilati bibirku yang habis dikecupnya. Hm, coklat!

"Coklat panas ya? Mau dong!"

"Mau coklatnya sekarang atau mandi dulu sama air hangat? Udah aku siapin," katanya sambil berpindah ke tepi ranjang tempatku tidur.

"Keduanya boleh? Berendam sambil minum coklat?"

Aldo terlihat berfikir sebentar. "Yaudah. Nanti ku antarkan coklatnya ke kamar mandi. Pergi sana."

Aku berseru senang lalu memeluknya sekilas dan akhirnya bangkit untuk kekamar mandi.

***

"Serius, aku sudah memikirkan ini dari kemaren-kemaren," kata Aldo meyakinkanku. Kami tengah duduk dibalkon hotel menghadap ke pemandangan didepan kami. Sedangkan aku masih duduk disini dengan selimut putih yang menyelimuti kakiku.

"Jangan asal Al. Pikiranmu itu sudah direcokin mom kan?"

"Serius Jeje. Mungkin kita bisa coba ini kan?" jawabnya masih keukeh dengan pendiriannya.

Aku menggeleng. "Kita coba cara biasa."

"Dulu saja, bukannya kau yang ingin mencobanya."

"Dulu. Sebelum aku benar-benar memahami tentang kita. Sekarang aku juga tidak peduli Tuhan mau menitipkan anak pada kita atau tidak."

"Sst, ngomong apa sih Je. Kita harus coba dulu," katanya meyakinkan lagi. Kini dia berpindah dari kursinya ke kursi malasku ikut bergabung dibawah selimutku.

"Tapi aku takut Al," kataku menyerah akhirnya. Kusandarkan kepalaku ke dada bidangnya. Aldo langsung merespon dengan usapan halus di kepalaku.

"Takut kenapa hm?"

"Takut kalau kita gagal lagi. Takut aku keguguran lagi. Dan lebih takutnya aku terlalu berharap pada kehamilan itu. Aku terlalu terobsesi hingga meninggalkanmu."

Aldo menggeleng. Tangannya turun ke pipiku dan mengelusnya perlahan. "Jangan takut selama aku bersamamu. Aku berjanji akan menjagamu melebihi apapun Je. Dan jangan, jangan berhenti berharap. Karena dari mimpilah semuanya terkabul. Tapi jangan terlalu obsesi juga, karena bagaimana pun yang terjadi pada kita itu kehendak Tuhan."

Aku terdiam mencerna kata-katanya. Jujur saja, aku tidak pernah meragukannya. Yang aku ragukan adalah diriku sendiri.

"Bagaimana?" tanyanya lagi meminta kepastianku.

Aku menghembuskan nafas pelan. "Baiklah, dirumah sakit mana kita akan melakukan bayi tabung?"

***

"Mrs. Hummle!" panggil seorang perawat. Aku menegakkan punggungku dari kursi ruang tunggu dan meng-lock ponselku yang aku sendiri sedang sibuk berchatingan lewat bm dengan Viena. "Yes I'm!"

Aku bangkit dan berjalan ke perawat itu. Dia menungguku dengan wajah betenya. Apa yang dilakukan suamiku padanya memangnya?

"Mam, your husband called you. He need you now," katanya dengan logat China yang masih kental. Dan sepertinya perawat ini tidak terlalu fasih dalam berbahasa inggris.

Waiting BabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang