Bab 9 : Mengapa kita berbeda

13 2 0
                                    

"Mungkin tangisan adalah suatu bentuk seseorang untuk mengungkapkan kesedihan yang dia rasakan."

"Mik, udah sampai." Kala menoleh ke arah Mika yang duduk di bangku belakang.

Setelah Kakak beradik tersebut berhasil memaksa untuk mangantar Mika pulang, akhirnya mereka sudah sampai di kediaman Mika. Dengan bermodalkan alamat yang diberikan oleh Mika, Galan yang dibantu oleh Kala akhirnya menemukan rumah Mika.

"Terima kasih Kala dan Kak Galan, mampir dulu, yuk!"ajak Mika.

Kala baru saja akan mengiyakan ajakan Mika, tapi Galan dengan cepat mendahului.

"Lain kali aja ya, Mika. Udah sore, nih. Next time mungkin kita bisa mampir ke rumahmu,"balas Galan.

Kala yang mendengar ucapan Galan mendengkus kesal. Padahal dia ingin sekali bermain di rumah sang pujaan hati. Hitung-hitung bisa menghabiskan lebih banyak waktu bersama Mika.

"Oke, deh. Mika tunggu ya Kak Galan,"ucap Mika.

"Oh iya! Kala kalo mau main bisa langsung ke sini aja. Rumah Mika sangat terbuka untuk Kala. Mama katanya juga mau ketemu sama Kala,"tambahnya.

Kala tersenyum dan mengangguk meskipun Mika tidak mengetahuinya.

"Oke, deh. Tolong kasih tahu Mama lo gue usahakan lain kali bisa mampir ke sini dan ketemu Mama lo, ya,"ucap Kala.

Mika keluar dari mobil dibantu oleh Kala. Sebeneranya Kala masih enggan berpisah dari Mika. Entah kenapa, bersama dengan Mika menciptakan suasana yang tidak bisa Kala jelaskan dengan kata-kata. Sikap tulus dan tenang yang selalu Mika hadirkan mampu memberi rasa nyaman bagi Kala.

"Masuk, Dek."

Suara Galan membuat Kala yang tengah sibuk memperhatikan Mika yang sudah menghilang di pintu rumah mendengkus kesal.

Dengan cepat Kala masuk ke dalam mobil bersama bantingan pintu. Tanpa bertanya Galan tahu bahwa sang adek tengah kesal dan dia menjadi alasan kekesalan sang adek.

"Lo marah sama gue?"tanya Galan.

"Udah tahu pake tanya,"sewot Kala tanpa menoleh ke arah Galan.

Galan menghela napas pasrah. Menghadapi Kala harus ekstra sabar.

"Gue kan lakuin itu Demi kebaikan lo, Dek. Lo belum minum obat lo sekarang dan gue takut lo kembali collabs,"jelas Galan.

"Telat minum obat gak akan buat gue langsung mati, Kak,"

Galan memukul stir mobil dengan kencang. Kalimat yang baru saja diungkapkan Kala seolah mengatakan bahwa tidak ada harapan lagi untuk kesembuhan sang adek.

"Bisa gak, sih sehari aja gak ngomongin mati?"kesal Galan menatap sang adek.

Kala mengalihkan atensinya kemanapun asal tidak berhadapan dengan mata tajam penuh kesenduan Galan.

"Setiap manusia itu akan mati, Kak. Kenapa gue gak boleh ngomong masalah kematian kalo nyatanya hidup gue ini sangat dekat dengan kematian?"

Tanpa terasa Kala meneteskan air matanya. Sakit. Bukan hanya jantungnya, tapi hatinya sakit sekali. Dia bahkan masih terlalu muda untuk mengemban beban seberat ini. Dia ingin bahagia. Dia ingin menikamati masa mudanya bersama orang-orang yang dia cintai lebih lama. Sesulit ini kah?

"D-dek--"ucapan Galan tercekat di tenggorokan. Bibirnya seakan kelu hanya untuk berucap. Yang bisa Galan lakukan hanya mengepalkan kedua tangannya erat-erat, berusaha menguatkan meski dirinya ikut rapuh melihat sang adek menangis.

"Gue bahkan belum pernah ketemu Mama dan Papa, Kak. Tapi kenapa Tuhan seakan menjauhkanku dari bahagia?"

"Salah gue sebenarnya apa? Kenapa gue terlahir tidak sesempura lo yang bisa melakukan semuanya, Kak?  Mengapa kita berbeda?"

***

See you next time


Surabaya, 18 Januari 2021

GoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang