Mengetahui Kenyataan

13 1 0
                                    

Aku sempat bersyukur karena tidak sampai menjadi jus merah dan adonan segumpal daging. Walaupun sempat hampir tenggelam setidaknya itu tidak sampai membawaku terlalu dalam. Semuanya terbantu oleh kesigapan para kru yang lekas menyelamatkanku ketika "entah mengapa" propeler tiba-tiba berputar.

"Beruntung kemarin kamu nggak sampai jadi bubur Dan. Kalau terjadi, haduh, bisa gila itu Basir." begitu perkataan Pak Ahmad seraya menyeruput kopi yang biasa tersaji di tempat sendiri.

"Kemarin juga kalau nggak ada kesigapan bapak juga crew yang bertindak ya udah pasti jus merah itu langsung jadi Pak."

"Salah kalau kamu bilang begitu. Yang benar itu atas kuasa Allah yang masih ingin kamu hidup. "

"Iya juga Pak. Soalnya tanpa kuasa Nya saya nggak bakalan makan roti sama minum kopi bareng kek gini."

Dari luar kamar mesin kapten mengisyaratkan kami untuk keluar menemuinya. Entah untuk urusan apa kami kembali dipanggilnya. Semoga saja bukan diajak curhat lagi masalah Bos Wantono  yang pelitnya minta ampun masalah uang untuk jaring dan onderdil kapal. Iya, tentunya ketika kehilangan hampir tiga pieces jaring kami terpaksa menukarkan seluruh ikan tangkapan pertama dengan lima pieces jaring dari kapal lain yang kebetulan satu lokasi.

"Palkah nomer berapa yang masih belum ada ikannya Dan?"

"Palkah nomer 3 kanan, 9 kiri, 5kiri kanan,7 kiri dan gerobok freezer."

"Bentar, bukannya 3kanan itu isinya perbekalan, 9 kiri air tawar kita, 5 kiri kanan itu solar kita dan 7kiri solar titipan milik kapalnya Jamal?"

"Kan kapten tadi tanya yang belum ada ikannya."

"Nah berarti kan tinggal grobok saja yang nggak ada ikannya."

"Nah yang saya sebutkan tadi toh capt yang nggak ada ikannya. Nggak cuma grobok linggi saja." jawabku masih ngeyel.

"Halah wes, angelmen omongan ro kowe leh. Bocah dikandani ngeyel. Bar iki sol jangkar wae ndang dirampit kunu gancone. Krungu-krungu bar iki arep ono badai.(Halah dah, sulitnya bicara sama kamu. Bocah dibilangin ngeyel. Setelah ini sol jangkar saja sekalian dilipat sana ganconya. Dengar-dengar setelah ini mau ada badai)." tutup kapten dengan nada agak sedikit kesal. Di lain pihak Pak Ahmad hanya tertawa kecil mendengar kecerewetanku ngeyel dengan kapten.

Mesin lekas kami nyalakan sekalian angkat jangkar sementara Kapten memprogram kapal menuju Pulau Dobo wilayah Kabupaten Kepulauan Aru. Beberapa ganco dan alat bantu penangkapan dilipat sebagian pula. Kondisi kapal yang bermuatan hampir penuh mengajak kami untuk segera mengirimkan hasil tangkapan sekalipun belum waktunya. Ya, bagi kami ini merupakan anugerah terindah yang dikaruniakan Sang Pencipta. Sehingga kami memiliki waktu lebih awal menyelamatkan diri dari badai yang hendak menerpa walaupun masih jauh masa.

Empat jam sudah kami sampai muara pulau yang menjadi pusat perekonomian di Maluku tenggara. Kapal lekas diposisikan di area parkir khusus kapal perikanan dekat KM. Toba, cargo river yang sudah kami gaet untuk mengambil ikan tangkapan kami. Beberapa pejabat kapal lekas turun tatkala jangkar telah menancap sempurna, menuju pelabuhan dengan speed boat yang sudah disewa sejak mula sampai kapal keluar.

Beberapa berkas laporan dan dokumen kapal dibawa. Sementara motoris bertugas menjaga kapal. Untuk Abk yang lain? Entah kemana mereka turun tak lama usai kapten beserta wakil-wakilnya turun kecuali koki yang harus stand by di kapal juga. Memasak makanan dan minuman untuk yang masih berada di kapal. Maklum, uang saku dari kapten juga belum turun.

Beberapa jam kapten sudah balik ke kapal dengan membawa berkas laporan beserta beberapa gepok uang yang akan digunakan untuk saku kami. Seperti biasa ia mengomel tak jelas. Penyebabnya sudah tentu banyak ABK turun kapal sementara besok harus bersiap memindah muatan. Menjadi hal yang lazim dan biasa mengingat kapten juga khawatir jika ada hal buruk terjadi pada anak buahnya. Entah itu tidak bisa balik lagi karena kurang ongkos atau lupa kalau waktu pengiriman ikan adalah esok hari. Seperti biasa pula, ketika waktu telah menunjukkan pukul sepuluh malam pasti aku lagi yang diperintahkan untuk mencari mereka.

"Dan, yang belum naik masih lebih sepuluh orang. Tolong kamu cari mereka. Mungkin mereka masih royal di Kampung Jawa." perintah kapten usai menghitung yang belum pulang masih lima belas orang dari empat puluh lima crew.

"Siap pak. Seperti biasanya toh?" lekas aku turun menggunakan speed boat yang sudah disewa.

Naik ke dermaga, segera aku dijemput Bang Avik, sopir angkot langganan kapal yang biasa disewa untuk mengambil dan membawa perbekalan yang biasa dibeli dari pulau. Untuk malam ini ia membawa motor bututnya untuk mengantarku menjemput beberapa orang yang masih berada di sana.

Satu persatu mereka mulai kembali tatkala aku ingatkan jika kapten mencari. Tinggal delapan orang setelah aku hitung kembali. Tentu saja aku sudah hafal kemana mereka pergi. Bang Avik memutuskan mengantarkan aku tanpa basa-basi. Karena sudah pasti tahu kemana biasanya orang kapal itu pergi.

Tiba aku di depan sebuah gapura bertuliskan Kampung Jawa. Sebuah tempat prostitusi berkedok wisata. Tempat wanita tuna susila dari berbagai daerah di Jawa berada. Ya, walaupun tidak sepenuhnya berasal dari Jawa. Tapi nama kampung jawa sedikit banyak mengisyaratkan bahwa sebagian besar yang bekerja adalah orang Jawa. Tak pelak menjadi tamparan keras bagi orang Jawa sendiri.

Suara musik karaoke diiringi ucapan-ucapan rayuan senantiasa terdengar dari para tuna susila menawarkan diri mereka padaku yang sedang lewat. Mulai ucapan "Mampir mas, silahkan." , hingga bagi mereka yang telah menginjak usia tante biasa mengucapkan "Adek manis, sini sama tante, tenang sama tante nggak akan nangis kok dompet kamu." . Sementara aku sendiri tetap menuju tempat langganan sambil bergidik ngeri. Namanya juga manusia normal, akupun malah sempat mencuri pandang melihat pakaian super sexy yang dikenakan mereka. Ya, namanya jual harga, penampilan pasti jadi hal utama.

Tak perlu waktu lama aku menemukan mereka semua. Sudah pasti keadaan teler seusai berpesta pora entah dengan uang darimana. Kecuali mas Budi, yang terbiasa dengan Alkohol dosis tinggi. Sampai aku menemukan dompet yang sangat tidak asing. Pemiliknya pun juga aku kenal akrab. Dan benar saja, pemilik dompet itu sedang asyik bermain bersama perempuan yang lagi-lagi tidak asing bagiku. Anif Rahma Santi. Keponakan Pak Sugeng.

Bintang SamudraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang