Waktu pencarian bagi regu kami telah dimulai. Segera kupakai semua peralatan yang telah siap. Memang tak secanggih regu sebelah, namun dengan tekad kuat dan perhitungan posisi akurat, kami yakin dapat menemukan kedua jasad. Tambahan tali pengaman dan selang pernafasan Aku ambilkan dari kapal demi menjangkau lebih jauh dan memungkinkan pencarian korban tiada lagi terhambat. Berbekal perkiraan posisi korban yang telah diperhitungkan Anisa, lekas badan kuceburkan.
Segera kuberenang terapung dahulu hingga mencapai posisi korban terdekat yang telah diperkirakan oleh Anisa. Arus muara kurasakan tenang untuk saat ini. Kubenamkan diriku tatkala telah kurasakan sesuai posisi. Aku mulai meraba dasar muara. Semula aku mengira hanya menyentuh sampah sepatu kulit saja. Hingga aku menyadari jika bukan hanya sepatunya yang kusentuh melainkan ia juga terhubung dengan salah satu korban. Kutarik sekuat tenaga bagian tubuh yang terpendam cukup dalam itu dan membuat lumpur semakin memperkeruh muara.
Lekas kubawa jasad yang kondisi lehernya tergorok itu ke permukaan. Jony dengan sigap menjangkau jenazah tersebut memakai pelampung bertali yang semula ia bawa berenang untuk menariknya. Dibantu beberapa anggota tim, mereka bekerja sama berenang membawa jasad yang hampir membusuk dengan leher nyaris putus itu ke daratan.
Lanjut aku menyelam lagi mencoba mencari jasad kedua yang tiada lain adalah bapak dari Hikmah, teman Anisa. Aku tetap meraba dan mengambil apapun yang terasa seperti daging. Walaupun kutahu terkadang itu adalah pampers atau sesuatu lain yang lembek menjijikkan. Tak jarang kutemukan sampah lain yang tenggelam sampai dasar muara.
Dan pada akhirnya, bisa ditebak. Aku menemukan gagang golok yang terhubung dengan dada jasad Mbah Nardi. Tak kusangka kukira ia terpendam dengan posisi berdiri dan dada berada di atas. Namun ternyata aku telah berada di sisi muara yang biasa dilalui kapal dengan tonase di atas dua ratus ton.
Tiba-tiba arus deras muara telah datang. Aku dekap jasad itu hingga tercabut dan mencoba berenang ke permukaan hingga tiba-tiba aku sadar jika tali pengaman yang kupakai terlepas mulai pinggangku akibat arus dan selang bantu pernafasan lepas dari kacamata selam yang kupakai. Aku terseret arus muara yang datang entah dari mana. Tetap kudekap jasad lelaki tua bertubuh kekar itu berusaha kunaikan ke permukaan walaupun kutahu posisiku berada dalam keadaan mengancam nyawa.
***(Anisa) ***
Nampaknya satu jasad telah naik. Bertubuh tegap berbaju serba hitam dengan kondisi leher nyaris putus. Para petugas dengan sigap dan siap menangani jasad itu lekas memasukanya ke mobil jenazah yang masih menunggu jasad dari bapak temanku. Kakak kulihat kembali menyelam hendak menuju posisi selanjutnya. Kulihat jasad itu lalu kutanya Hikmah yang berada di tempatku sejak kakak masuk perairan.
"Dia kah bapakmu Hik? Beda amat ama kamu? " kataku pura-pura tak tahu.
"Bukan. Dialah lelaki iblis penyebab saudara kembarku wafat di sudut kampus kita." jawabnya datar.
"Oh, gitu?"
"Singkat amat reaksimu?"
"Mau bilang apa lagi? Udah jelas kan?"
Ia hanya terdiam. Pandangan salah satu provos jurusanku itu masih kosong. Aku paham arti mata yang ia tampakkan. Hatinya pun masih hampa dan tak percaya akan kabar yang disampaikan kakak kemarin.
Tiba-tiba teriakan salah seorang petugas memecah konsentrasi semua anggota regu pencari.
"Tali putus, selang lepas... Dana dalam bahaya."
Teman kakak masuk ke muara berbekal pelampung bertali. Mereka yang berasal dari regu penolong segera menceburkan perahu karet lekas berusaha menyalakan mesinya. Aku yang terkejut segera berlari hendak menceburkan diri dihentikan oleh beberapa petugas kepolisian.
"Lepaskan Pak, saya mau menyelamatkan kakak.. "
"Maaf mbak, arus muara sedang deras. Kami takut ada hal buruk terjadi sama mbak. Lebih baik tunggu di sini. " cegah Pak Galang, salah satu petugas.
"Gak mau Pak, dia kakak saya. Saya gak mau dia wafat. "
"Pasrahkan sama Allah, doakan dia selamat mbak. Jangan gegabah, kami takut sesuatu yang buruk terjadi pada mbak. Biar regu penyelamat yang bertugas. Mbak tenang saja ya, insyaallah Mas Dana bisa selamat." ucap Bu Rima, petugas lain berusaha menenangkanku.
"Kakaaakkk..." teriakku histeris dan berlutut menangis sejadi-jadinya melihat kejadian ini.
Takut kurasakan kehilangan lelaki penyayang keluarga itu. Keruhnya muara sungai sekeruh ketenanganku akan putusnya tali pengaman yang kakak kenakan. Derasnya kekhawatiran diriku sederas aliran sungai yang melepas selang bantu pernafasan yang kakak gunakan. Besar harapan keselamatan tulang punggung keluarga kedua setelah Abahku tiada,jelas tak dapat kuperkirakan.
Aku duduk ketika kekangan personil Polairud Juwana mulai dilepaskan. Masih tersedu di tempatku kini. Beberapa dari mereka masih berusaha menenangkanku. Tak terkecuali Hikmah lekas merangkulku dari belakang.
"Nisa, yang sabar ya. Kamu kemarin kan bilang..."
"Kemarin kamu menuduhku sok alim, sekarang kamu mau bilang apa?" kataku kesal lantas berlari kembali ke mobil. Sementara aku tinggalkan Hikmah yang berlari mengejarku.
"Nisa, kemana kamu? "tanya Hikmah usai aku sampai mobil.
"Mau balik. Kamu tunggu jasad bapakmu. Aku tak sanggup melihat." kataku segera masuk mobil dan menstart mesin.
"Nah terus aku pulangnya gimana? Tasku kan ada sama kamu. Kamu gak bisa gini dong. Ntar kalau dicari..."
"Aku uruskan izin untukmu. Kamu tunggu kabar mereka. Nih tas kamu. " potongku melempar tasnya lekas menutup kedua kaca mobil. Kulihat Hikmah masih berteriak ingin kubukakan pintu namun lekas kujalankan mobil ini meninggalkan lokasi. Kubuka kaca mobil usai sedikit jauh dari tempat itu.
Sebenarnya niatku ini bukan ke kampus, melainkan ke tempat kost kakak. Ingin aku memberi kabar pada pemilik kontrakan, tukang ojek sekaligus suami penjual kopi pasar Juwana depan pintu satu. Aku masih berdoa dalam tangisku menanti kabar dari kakak bahkan setelah sampai kontrakan hatiku makin tak menentu.
"Nisa, kamu kenapa leh?"tanya Pak Sugeng yang baru mengantar istrinya pulang dari warung melihatku turun mobil masih menangis.
"Masuk dulu nduk, kita bicara di dalam saja." ajak Bu Sati. Aku ikuti ibu Sati masuk ruang tamu.
"Kak Dana Bu, Pak. Katanya hanyut di muara. " isakku masih terbata-bata.
"Yang bener kamu Nis? YaAllah, Pak, Dana... " ucapnya terkejut dan memandang Pak Sugeng. Kulihat perempuan paruh baya itu ikut menitikkan air mata lekas memeluk lelaki pendamping hidupnya. Beberapa lama pula mereka terdiam tak sanggup berkata.
"Kok kalian berdua saya lihat malah ikut nangis parah sih Pak? Kan dia kakak saya." tanyaku masih terisak memecah kesunyian.
"Memang, karena bagi kami Dana sudah di anggap keluarga sendiri Nisa. Ia anak yang baik. Semua fasilitas rumah ini, mulai kamar mandi, hingga listrik ia yang membantu. Pertama ia tiba di sini bapak saja tahu kalau ia adalah anak yang sopan dan menghargai orang lain. Ia selalu membuat kami melupakan kepenatan usai bekerja dengan gaya bicaranya yang membuat kami sering tertawa. Dulu... " ungkap Pak Sugeng terpotong karena tak sanggup melanjutkan kalimatnya.
Laksana kehilangan darah dagingnya,mereka kembali tak mampu berucap apapun. Karena telah menganggap kakak seperti keluarga mereka sendiri. Aku masih duduk belum bisa menghentikan sedu-sedan tangisku menanti kabar kakak. Yang pasti aku berharap ia dapat ditemukan selamat tanpa kehilangan nyawanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bintang Samudra
Tiểu Thuyết ChungKM Bintang Samudra, salah satu kapal baru yang memulai trip pertamanya banyak mengalami cobaan. Bahkan sejak turun docking pun sudah meminta nyawa seorang lelaki tua. Cobaan tersebut dialami oleh tokoh utama seorang motoris ketiga yang juga diberi...