Menjeguk Sebagai Mediator

17 1 0
                                    

Baju dinas lengkap tanda jabatan masih menempel pada tubuhnya. Provos taruni itu duduk dengan wajah hampa kulihat dari luar ruang karantina rumah sakit jiwa di Surabaya. Kesedihan serta pandangan kosong masih terlukis jelas di wajahnya. Aku semula sempat bertanya ada apa terjadi pada dia. Penyakit macam apa lekas membuat Hikmah dikarantina dan kini tahu sebabnya.

"Tanpa Nisa kasih tahu kakak pasti sudah melihat yang terjadi pada Hikmah kan?"

"Ini bukan hanya raganya yang bimbang, namun jiwanya juga terguncang." jawabku pada pertanyaan Anisa.

"Sudah sebulan ia berada di sana. Tanpa mau mengganti baju dinasnya. Baru masuk kampus belum ada seminggu ia sering menangis dan tertawa sendiri di asrama waktu malam hari kak. Ketika kutanya penyebab perubahan perasaan dia pun jawaban yang kuterima selalu tak masuk akal. Puncak gangguan itu kala apel sore hendak pulang. Keluarganya pun sudah tiga minggu tak menjenguk Hikmah yang malang. Bahkan ibu kandung dan kakaknya yang dulu berkelahi denganmu tak lagi menganggap ia sebagai anggota keluarga karena penyakit mental yang menyerangnya. Parahnya lagi ibunya lah yang selalu mengatakan bahwa ia  penyebab kematian si lelaki tua."

Pandanganku masih belum kulepaskan dari sahabat adikku. "Mengenaskan sekali nasib taruni itu." pikirku. Jangankan jalan fikiranya, tempat tidur yang ia gunakan pun jauh dari kata layak.

"Kau bisa membaca yang ada dalam fikiranya?"

"Tentu bapaknya kak. Ia masih belum bisa mengikhlaskan kepergian beliau. Bahkan sebenarnya hanya bapaknya yang bisa mengobati. Ketika aku masuk, pasti yang selalu dia tanya adalah 'Mana bapak?' . Jika ada yang menjawab 'Bapakmu sudah wafat', ia akan menangis sejadi-jadinya hingga ketika aku menjawab 'Sabar, bapakmu masih belum pulang' dan Hikmah akan tersenyum seraya berkata ' Aku ingin ia pulang dan memelukku. Aku sangat rindu dengan bapak kala kuberada dalam dekapanya'." jelas Anisa.

"Tapi bapaknya kan sudah tiada Nisa. Bagaimana caranya? Panggil jin qori' nya lagi?"

"Ia berada di lengan kanan Nisa." pungkas gadis itu singkat.

Aku lekas memandang Anisa. Pandanganku masih tak percaya sekaligus agak kecewa akan hal berbahaya yang dilakukanya.

"Apa kau sudah gila? Biarlah ia tenang di sana, jangan kau panggil lagi! Oh iya, apa hubunganya, atas perkataanmu jika hanya kakak yang bisa menolongnya?"

"Pertama, Hikmah sangat dekat dengan bapaknya. Kedua, Hikmah pada ibunya itu seperti kakak dengan Abah, bahkan jauh lebih parah. Lebih sering bertengkar. Maka dari itulah, tiap bapaknya berangkat melaut ia pasti menangis. Karena ibu kandungnya pun tidak suka denganya. Ibu Hikmah, jauh lebih sayang dengan adik kembarnya daripada dia. Usai kematian Siti, yang ada dalam hidupnya hanya bertengkar dengan sang ibu hingga bapaknya datang. Ketiga, tidak ada tubuh yang cocok bagi jin qori bapaknya Hikmah untuk dijadikan mediator. Aku sudah mencoba semua teman lelaki sejurusanku tapi nyatanya tak ada yang cocok baginya. Ia hanya mau... "

"Masuk tubuh kakak saja?" tanyaku memotong kalimatnya.

"Tepat. Karena dalam tubuh kakak mengalir darah dari Hikmah. Belum lagi, Mbah Nardi memandang kakak sebagai lelaki yang pantas untuk menggantikan posisinya."

"Omong kosong macam apa ini? Sudahlah jangan main-main dengan barang ghaib. Aku tak mau lagi merasakan kepedihan Mbah Nardi. Kembalikan ia ke alamnya dan jangan paksa kakak!" tegasku padanya.

"Ayolah kak, ini satu-satunya jalan. Lagipula, ia telah berjasa besar pada hidup kakak. Jika ia dulu tak mau memberikan darahnya, apa kakak akan hidup sampai sekarang?" ucapnya.

"Nisa, kau kira kakak kemarin tidak tersiksa apa? Kau fikir merasakan kepedihan orang yang meninggal bunuh diri tidak berat kah? Tidak menyiksa batin kah?"

Bintang SamudraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang