Mengantar Hikmah

26 1 0
                                    

Kulajukan bertahap kecepatan mobil hingga sampai posisi speed enam puluh kala telah sampai di jalur Pantura. Posisi duduk Hikmah berada di sisiku yang memegang kemudi sementara Anisa berada di belakang. Ya, menurut Anisa sih agar Hikmah bisa lebih mengenalku. Karena kulihat ia masih belum stabil kondisi emosi maka sedikit demi sedikit aku coba untuk membuka obrolan denganya.

"Bapakmu itu orangnya sangat baik. Ia bahkan hampir tak pernah marah ketika ada di kapal. Begitu murah senyum. Beliau memiliki semangat anak muda walaupun secara usia telah lansia. Ialah pembangkit semangat crew kapal ketika kami tengah loyo. Pokoknya jiwa muda banget lah. "

"Iya? Masak sih mas? Berarti bapak saya peranya besar dong? " tanya ia penasaran. Kurasakan pun semangat hidup provos itu mulai hendak bangkit.

"Hem, pastinya. Dia adalah pelecut semangat kedua setelah nahkoda. Semoga saja bapakmu diterima amal ibadahnya. Pun ditempatkan paling mulia di sisi Allah. Oh iya, kamu makan dulu dong ikanya. Biar kondisimu bisa berangsur pulih. "

"Iya mas, Amiiiinnn... " ucapnya penuh harap seraya memakan asam-asam tengiri buatan Bu Sati. Aku merasa sedikit lega gadis itu mulai sedikit demi sedikit melepas kesedihanya.

Masih melekat baju dinas lengkap tanda jabatan di tubuhnya sedari Sabtu. Ya karena tadi aku minta mandi pun ia tak mau.

"Oh iya, sebenarnya nama panggilanmu siapa sih? "

"Sita mas. Namun sejak saudari kembarku meninggal aku minta dipanggil Hikmah. Karena nama itu selalu mengingatkanku pada ia yang dulunya punya jabatan sama. Dan sejak ia meninggal, jabatanya diambil temanku yang dulu pernah saya tunjukkan sama mas."

"Oh, yang katamu berkali-kali masuk klinik dihajar senior itukah? "

"Ya emang itu orangnya." jawabnya.

"Kira-kira kejadian itu kapan kah? Apa benar yang diucapkan bapakmu baru seminggu berangkat ia sudah wafat?"

"Iya mas, saya terus terang ingin sekali membunuh lelaki itu dengan tangan sendiri. Adik saya itu sudah mengandung dua bulan mas. Maka dari itu bapak pun tidak tahu. Yang tahu hanya aku dan ibu."

"Udahlah, yang lalu biarlah berlalu. Kita sebaiknya belajar dari masa lalu, karena kita hidup untuk masa kini dan mestinya punya harapan untuk masa depan. Kalau saya ada saran sih, jangan berlarut-larut dalam kesedihan. Coba sekarang kamu fokuskan dulu untuk kuliah. Jangan sampai kesedihanmu ini malah menjadi mudharat bagimu. Kasihan kan bapak dan saudarimu kalau kamu ratapi terus? Yang  dibutuhkan mereka sekarang hanya doa yang tulus dari orang yang disayangi dan menyayanginya. Dan bagaimanapun juga semua ini sudah takdir. Tak bisa kita rubah kembali. Mungkin dalam kepedihan yang  Allah hadirkan selalu ada hikmah yang  bisa kita ambil. Entah itu untuk menguatkan jiwa kita ataupun untuk membuat kita sadar bahwa kita hanyalah mahluk ciptaanya yang tiada daya dan upaya. Satu yang mestinya kita tahu. Allah itu Maha baik, maka mustahil jika Allah berbuat jahat. Kita hendaknya juga bisa mengikhlaskan dan bersabar, karena Pertolongan Allah selalu datang ketika hambanya mau ikhlas dan bersabar." kataku panjang lebar.

"Iya mas, saya akan berusaha mengikhlaskan kepergian mereka. Juga mendoakan tiap usai shalat. Lagipula, bukankah itu yang diucapkan Anisa kemarin?"

"Iya juga... Oh iya, kamu habiskan dulu asam-asamnya. Kasihan kamu udah berapa hari tidak makan." pungkasku.

Mobil mulai kunaikan kecepatanya kala menyalip kendaraan lain di depanku. Arlojiku menunjukkan pukul setengah lima sore. Maka aku naikan kecepatan secara bertahap agar segera sampai tujuan juga menghindari resiko kemacetan. Sesekali aku ajak ia bergurau agar ia mau melepas seluruh beban kesedihan. Ya, tentunya harus kesana kemari agar kesedihanya bisa usai. 

Bintang SamudraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang