Surat Wasiat

42 3 0
                                    

"Kami masih sampai Kangean ini Dan. Mungkin dua hari lagi baru sampai Tpi. Kamu juga tahu kan cuaca lagi tak bersahabat. Januri sudah cerita semua sama saya." kata Pak Ahmad, kepala kamar mesin rombongan kami ketika aku ceritakan semua yang terjadi pada hari ini.

"Ya, bagaimana lagi Pak. Maaf saya nggak bisa menjalankan kewajiban saya secara penuh."

"Tanggung Jawabmu sebenarnya kan cuma menjaga dan menyesuaikan kondisi kapal baru kita. Untuk urusan almarhum sudah ada kan yang nanggung ? Jangan khawatir, kamu ikuti dulu yang diminta oleh Kepolisian. Nanti urusan lain kita urus bersama ketika kapal sudah sampai  pelabuhan. Kamu tenang saja. Saya tutup dulu ya, assalamualaikum..." pungkas Pak Ahmad melalui video call memakai handphone Andik, koki rombongan kami.

Aku tutup panggilan video itu usai kujawab salam Pak Ahmad. Masih cemas aku rasakan, kiranya pertanggung jawaban macam apa yang komandan minta. Kusandarkan punggungku di kursi kemudi kapal baru yang masih proses penyempurnaan. Aku harap mayat mereka segera ditemukan mengingat hari sudah mulai petang. Pukul lima tepat ditunjukkan jam dinding ruang anjungan. Jony kulihat cemas tengah berbaring di lantai dekat pintu.  Terlukis rasa khawatir akan apa yang hendak diminta oleh Pak Shiddiq, Komandan Polairud Juwana.

Tiba-tiba kulihat terselip kertas di sela kompas depanku. Nampaknya sudah lama berada di sana. Dan aku terkejut tatkala mendapati penulis surat itu adalah almarhum lelaki tua bertubuh kekar asal Madura yang aku kenal,  Mbah Sunardi Hasim. Berdiri bulu kudukku, seakan beliau hadir di sisiku. Kubuka surat itu, isinya berbahasa Pulau Garam, Madura dan salah satu isinya menyebut nama seseorang yang tak asing.  Lekas aku tunjukkan surat itu agar diterjemahkan oleh Jony yang  kebetulan memiliki darah Madura.

"Untuk Ahmad Wahyudi Ardana. Sejak Mbah pertama melihat kamu naik kapal ini, mbah yakin kamu adalah pemuda yang baik dari segi agama. Walaupun kamu pernah mengikuti pesta minuman setan yang merenggut tiga rekan, tapi saya tetap yakin jika kamu adalah pemuda yang berbudi luhur terlihat dari sopan santunmu pada mbah sekalipun kamu tahu yang kamu hormati adalah badut kapal. Sebenarnya tujuan mbah menulis surat ini tiada lain dan bukan salah satunya ingin menitipkan saudara kembar almarhumah yang  kebetulan saat ini masih kuliah di Politeknik Ilmu Pelayaran Surabaya kelak ketika mbah telah tiada. Bukan urusan biaya mengingat kakak-kakaknya lah yang mengurusnya. Entah cocok atau tidak, mbah akan senang tatkala kamu mau menjadi suaminya usai ia lulus. Mbah tak mau ia mengalami hal serupa adiknya. Kamulah yang memberikan semangat hidup untuk saya usai saya gundah akibat wafatnya Siti, anak terakhir mbah. Yang hampir membuat kehilangan keinginan untuk hidup. Kamulah tiang penegak semangat ketika ia hampir lebur tergerus badai kesedihan yang kian menghantam. Maaf jika suatu saat mbah membalas dendam pada orang yang berbuat keji dengan sang darah daging. Karena bagaimanapun jua mbah takan pernah memaafkan kejahatanya. Dalam diri kita terdapat sebuah kesamaan. Yakni kita takan pernah main-main dengan orang yang berbuat keji dengan orang yang kita sayang.  Itulah tujuan utama selain berharap ia sebagai pendampingmu. Namanya ialah Hikmah Nursita Hasim. Dan untuk nomor yang bisa kamu hubungi ada di balik surat ini. Semoga Sita cocok denganmu.  Wassalamualaikum wr wb.  Dari Sunardi Hasim/Mbah Nardi." ucap Jony menerjemahkan surat itu.

Aku memang tak asing dengan Hikmah Nursita, karena ialah teman sejurusan Anisa, adikku yang kebetulan kuliah juga disana. Bahkan kontak yang beliau berikan memang menuju pada orang yang sama. Dimana pertama aku mengenalnya pun bahkan lebih akrab dari orang pacaran tatkala ia menjenguk Anisa di RSUD Syaiful Anwar bersama teman-temanya. Tak menunggu lama segera aku kirimkan fotoku bersama Mbah Nardi ketika kami berada di Lasowatu Pulau Krayaan dan saat-saat terkakhir kami berada di atas kapal trip Irian tempo bulan. Aku tanyakan apakah mengenal beliau untuk memastikan. Tak kusangka aku mendapat panggilan video darinya.

"Loh ya kenal lah. Itu mah bapak saya. Mas ternyata sekapal ya dengan bapak saya?"

"Iya Memang, mulai saya ikut rombongan."

Bintang SamudraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang