Pertanggungjawaban dan Datangnya Anisa

39 0 0
                                    

"Jasad kedua korban masih belum ketemu, jadi saya harap bantuan kalian ikut operasi pencarian ini untuk pertanggungjawaban kalian atas kejadian siang tadi. Pencarian akan dimulai malam ini menurut situasi dan kondisi arus muara. Kalau kalian tidak siap, akan saya carikan hal lain kiranya sesuai kemampuan kalian. " jelas sang Komandan.

"Kalau saya sih siap saja Pak. Sebagai bentuk pertanggungjawaban saya atas crew kapal. " jawabku.

"Bapak Komandan tadi sudah cerita dengan saya. Dan saya sebagai kepala Security pabrik es Bajomulyo sangat berterima kasih kiranya jasad anak buah saya kalian temukan. Karena berdasarkan informasi yang saya terima, regu penyelamat masih belum bisa menemukan jasad kedua korban. Bukankah begitu Pak Komandan Shiddiq?" lanjut kepala security pabrik es.

"Yap betul sekali. Dan saya juga memerlukan bantuan seseorang relawan yang memiliki kemampuan menyelam seperti kalian. Jika kedua korban belum juga ditemukan, maka pencarian akan kami akhiri hari minggu pukul lima sore. Bisa dipahami kalimat saya?"

"Siap, bisa pak!" tegasku pada beliau.

"Baik, mari kita berangkat."

Jony hanya diam saja sejak mula. Entahlah apa yang ia fikirkan. Ah sudahlah, yang penting aku harus menunaikan tugasnya. Bukan untuk mendapatkan simpati Hikmah, karena aku sendiri sudah tidak mengharap provos taruni itu. Melainkan sebagai bentuk tanggung jawabku sebagai orang berkedudukan di atas kapal, karena percuma jika aku hanya mengharap uang banyak tanpa menunaikan tanggung jawabku sama sekali. Sama halnya memakan gaji buta, tiada guna dan faedahnya.

"Jon, sakit gigi loe? Dari tadi diam mulu."

"Kagak, tapi gue ragu tugas ini bisa kita tuntaskan. Loe jangan pernah meremehkan. Nih sungai walaupun tenang tapi menghanyutkan. Maaf, gue mungkin kagak ikut nyelam. Gue gak mau main-main sama alam. Mending nyari dari atas rubber boat."

"Oke, gue paham. Doain gue ya."

"Fainsyaallah loe pasti berhasil. "

"Makasih jon... "

Pencarian pun di mulai. Arus muara pada saat ini masih terpantau tenang,namun aku takan meremehkan. Seperti kata Jony sungai ini walau tenang menghanyutkan.

Aku lekas memakai peralatan selam yang kuambil dari kapal. Tali pengaman ku ikatkan pada pinggangku lekas kupakai kacamata selam yang terhubung dengan selang pada kompresor. Aku nyalakan lampu sorot yang menempel di kepalaku usai kusampai dasar muara yang berlumpur. Aku menyelam mencari hingga batas tali pengaman. Melintang membujur muara, namun tak kutemukan apapun jua. Hingga masa pencarian usai, semua hasil divisi pencari tim kami masih tiada. Karena kondisi arus muara, pencarian hanya cukup sampai di sini saja.

Aku rebahkan tubuhku di kursi kontrakan usai mandi dan berganti baju berbincang dengan ibu kostku. Peralatan selam kutaruh di sisi ranjangku agar memudahkan saat hendak berangkat esok hari. Ibu kostku entah bicara apa jarang kudengar. Mengingat lelah yang aku rasakan. Baru bisa masuk kamar tidur tatkala bapak kost mengingatkan pasangan hidupnya berhenti mengoceh dan membiarkanku istirahatkan badan.

Hari kedua masih juga belum menemukan hasil. Hal ini memaksaku berfikir keras. Apakah mereka telah hanyut ke Samudra? Mengingat arus muara saat itu memiliki nilai arus deras cukup tinggi. Namun ada hal lain yang membuatku bertanya. Apakah mereka terpendam lumpur muara? Mengingat bersamaan dengan kejadian tersebut ada kapal milik Haji Umar yang bermuatan 175 ton tengah melintas ditarik oleh satu kapal penarik seperti kapal Jony. Bisa saja mereka tergilas dua kapal tersebut dan terpendam lumpur. Namun tempo hari, berkali-kali aku mengorek lumpur muara tak kutemukan apapun.

Hari terakhir pencarian. Pagi ini masih menunjukkan pukul enam. Semua persiapan pencarian pagi ini sudah kami berdua sediakan. Terkejut diri mendapati tiba-tiba Anisa adikku mengejutkan dari belakang.

"Ya Allah Nisa, kapan kamu sampai Juwana? Ibu gimana di rumah? Naik apa kamu ke Juwana, kok bisa tau kakak di Muara? Kamu sama ibu pamit apa?"

"Kebiasaan nih kakak kalau nanya langsung sepaket." protes Anisa menyalami dan mencium tanganku.

"Iya Nis. Sekarang jawab dong." pintaku tersenyum.

"Saya baru aja nyampek. Ibu alhamdulillah sehat aja di Rumah. Tahu dari ibu kost kakak, Bu Sati yang jual kopi di pasar. Pamit ada kegiatan kampus sama Ibu, saya bawa mobil kakak langsung tancap ke Juwana belum sampai pulang. Mobil kakak Nisa parkir di dekat KM Soyo Asih di akhir aspal jalan yang aksesnya ke sini. Saya tahu kok apa yang kakak hendak lakukan. Bisa bantu kan?"

"Kamu harusnya gak boleh bohong sama ibu. Nanti kalau ada apa-apa, ibu pasti kambuh lagi penyakitnya. Kakak gak mau kamu ulangi lagi. Inget lho Nis! Kalau urusan ini, biar kakak yang menjalani. Kamu mending di sini, doakan kakak berhasil menjalani misi ini. Lalu mobil kakak apa tak dipakai Grab sama Hery? Kok kamu pakai kesini?"

"Iya kak, Nisa gak akan ngulangin lagi. Kak Hery juga masih baru sehat, masih butuh banyak rehat kak. Maklum sebulan kemarin full dapat orderan. Oh iya, Kakak tahu pasti dimana kiranya lokasi mereka terpendam? Soalnya setahu saya, namanya muara sungai arusnya bisa saja berubah. Belum lagi kalau ada kapal lewat, mungkin mereka tergilas dan terpendam beberapa meter sebelum ujung muara searah gilasan kapal itu. Kayanya saya bisa bantu memperkirakan posisinya."

"Boleh juga tuh. Adek loe cerdas juga ya Bro. Udah gitu cantik pula. Kita pake teori dia dulu. Kali aja bener." ujar Jony.

"Jeh, dasar loe Joni, kalau ada cewek cantik mata loe mendelik. Tapi oke, sambil nunggu dulu regu penyelamat yang satu tim kita datang. Mereka pasti lelah dan tengah beristirahat. Ini kan masih tim lain. Kita tunggu saja jika mereka yang bawa orang berakik penuh itu berhasil maka kita tak usah masuk. Baik Nis, sekarang bagaimana perkiraan kamu?" raguku untuk pernyataanya.

Anisa lekas berlari mengambil kertas dan alat tulis lengkap dengan meja dada dari dalam mobil. Entah aku tak tahu ia berbicara dengan siapa. Tiada kufikirkan, karena aku lebih penasaran akan perhitunganya daripada orang yang ia ajak ikut serta. Ia kembali ke tempat kami sambil menggambarkan sesuatu dari ponselnya.

"Jadi begini kan kak bentuk dan arah muara Sungai ini? Yang kuberi warna gelap adalah beberapa bagian yang biasa digunakan sebagai jalan kapal menuju laut berdasarkan pantauan satelit yang ditunjukkan ponselku. Arah panah yang menuju timur laut adalah arus pada saat kejadian nahas itu dimulai. Nah bisa saja ketika kedua korban jatuh di posisi A, mereka semula terseret arus hingga di posisi B. Kan kakak tadi juga bilang ada kapal keluar muara dengan arah sesuai peta ini kan? Yang namanya mereka jatuh bersama kita lihat, yang jatuh dahulu pasti terseret arus lebih awal. Walaupun berdekap pasti ketika di dalam air mereka terpisah karena tubuh mereka tergilas lunas. Ada yang terpendam di titik B, dan ada yang di titik C, kemungkinan agak jauh sedikit dari titik B namun masih searah, karena mereka tergilas lunas yang sama. Perkiraan tidak sampai di jalur terdalam bagi kapal yang lebih besar kecuali arus waktu itu amat deras. Untuk penyelaman pertama..." mulainya menunjukkan gambar berdasarkan ponselnya.

"Jadi untuk posisinya setelah kamu hitung berada dimana? Jangan kelamaan. Pusing kakak denger teorimu yang berbelit-belit. Bisa dipercaya gak nih? " potongku masih ragu untuk ucapanya yang membingungkan.

Bintang SamudraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang