Menyusul Kawan

20 2 0
                                    

Kapal dengan lambung berwarna sama dengan kapal baru namun bertonase dua ratus ton itu masih terparkir di sana. Area bongkar nomor lima. Terpampang tulisan KM Wahyu Samudra pada plakatnya. Berkondisi lambung penuh lumut dan kotoran karena sudah berbulan-bulan berada di lautan. Tapi, ah tak kufikirkan karena mesti lekas menyusul teman. Kuparkirkan mobilku di sisi depan masjid kantor pelelangan karena area parkir telah penuh angkutan hasil pelelangan ikan. Lekas aku menuju kapal usai mesin Fortuner kumatikan.

Alangkah terkejutnya diriku ketika sampai kapal mendapati ruang mesin tak beraturan. Kunci pas dan peralatan berserakan tak seperti saat aku meletakkan. Aku pandang Pakde Januri yang tengah duduk merehatkan badan.

"Pakde, Andik ada?" tanyaku pada Pakde Januri, rekan motorisku yang duduk di depan kamar mesin.

"Itu, masih ngebantu Jono ngepel kamar mesin yang bawah. Abis ini selesai. Kamu tunggu aja." tunjuk beliau pada Andik yang masih nampak mengelap sisa tumpahan oli di dekat mesin induk.

"Oh, ya saya tunggu aja lah. Lagian juga adik saya masih di kontrakan kok bareng anaknya Almarhum mbah Nardi."

Motoris yang seumuran almarhum lelaki tua kekar itu menunduk nampak tertekan. Kulihat terlukis penyesalan yang tiada terjelaskan. Mungkin juga kekecewaan pada keputusan almarhum mengakhiri hidupnya dengan cara yang jauh dari batas kewajaran. Mata beliau sesekali melirik kanan kiri. Sesekali pula memperlihatkan penyesalan diri.

"Pakde, jangan ngelamun lah. Ntar kesambet lho." kataku lekas duduk di sampingnya.

Kini motoris kedua itu mulai mendongakkan kepala. Pandangan kedua bola mata mengarah kepadaku. Ia menghirup nafas panjang lantas meletakkan tangan di pundak kananku.

"Maaf Dana, dahulu aku pernah meragukan, meremehkan bakat dan keberanian jiwamu. Aku bahkan pernah punya keinginan untuk menggantimu dengan Jono hanya karena kamu dulu hanya seorang mantan koki yang cerewet suka membatasi pemakaian bahan sementara Jono adalah saudaraku. Kini aku sadar ternyata kinerjamu lebih baik, bahkan jika dibanding Jono yang sudah tahunan menjadi motoris kapal cantrang. Kau suka kerapian, menurut apa kata atasan walaupun nyawa jadi taruhan. Sekalipun mulutmu cerewetnya menyaingi emak-emak lagi arisan untuk urusan bahan makanan dan kebersihan. Aku pun cukup salut dengan keberanian kamu mengambil resiko walau bertaruh nyawa seakan tiada takut kau rasa. Bahkan untuk urusan menjaga kesegaran ikan kamu tak perlu diragukan. Kini hanya penyesalan menggantikan kamu dengan orang yang kerjanya asal-asalan. Dan...."

"Sudahlah Pakde, kita kan udah dipercayai kapal baru. By the way, we must learn from past, live for now, and hope for future. Right?" potongku sebelum makin panjang penyesalanya.

"Yes, dan you harus pakai bahasa lokal aja. Because I not ngerti what you omongkan and School pakde, smp aja is not lulus." jawab Pakde memakai RIP English namun logatnya seperti turis.

"Iya Pakde. Ini terjemahanya. Lagipula, kita wajib belajar dari masa lalu, hidup untuk masa kini, dan berharap untuk hari esok, benarkan?" tanyaku lagi.

"Iya, kamu benar. Karena selalu itu saja yang kau ucapkan..." jawab beliau terkekeh mengusap kepalaku.

"Eh iya, kamu udah punya pacar belum? Masak duit doang tiga komisi pacar sama sekali? Anaknya Nardi cantik kan?" sambung Pakde mulai meledek.

"Ya, cantik amat lah. Cuma sekarang saya masih fokus kuliah adik dulu. Lagipula, kan udah bilang sama Pakde tadi kalau adik saya satu kelas dengan anaknya. Belum lagi, jujur saya masih trauma sama perempuan keturunan Madura. Takut sakit hati lagi Pakde."

"Eh Dana, aku sudah bilang kan jika karakter mantanmu yang tahun lalu kemari itu memang kurang baik orangnya. Jangan asal judge lah. Tak semua perempuan Madura sama. Tapi terserah kamu lah. Asal nikahmu jangan sampai terlambat. Buat apa kamu sunat jika nikah aja udah hampir telat? Ingat sabda Nabi..."

Bintang SamudraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang