Rangkaian Kebohongan

2.8K 546 61
                                    

Semua karena Bagas

****

"Gimana Aruna?"

Riady bertanya demikian pada sang anak yang kini sedang berbaring di atas sofa ruangannya dengan tangan sibuk memainkan game yang ada di dalam ponsel.

"Gak gimana-mana," jawab anak itu dengan santai dan masih sibuk memainkan ponselnya, seolah tidak peduli dengan eksistensi sang ayah yang menatapnya garang.

Anak itu ... ya ampun. Jika dilihat dengan seksama, Bagas memang bertolak belakang sekali dengan Riady yang tegas dan berwibawa. Kalau orang lain yang tidak mengenal mereka mungkin menganggap Bagas bukanlah anak Riady.

"Gas!"

Bagas mendengkus, memutar kedua bola matanya malas. "Ya emang mau gimana sih, Pi? Tadi juga cuma ngobrol."

"Ngobrolin apa?"

"Banyak."

"Salah satunya?"

Heuh! Bagas berdecak dalam hati. Kalau tidak mengingat lelaki tua yang sedang menginterogasinya itu adalalah sumber kekayaannya, mungkin Bagas sudah meninggalkan ruangan ini sejak tadi.

"Ngomongin, mau malam pertama pake gaya apa," jawabnya nyeleneh.

Riady menghela dengan gelengan kepala pelan. Ia kemudian menutup dokumen yang ada di depannya seraya memangku tangan di depan bibir.

"Jadi kamu terima nikah sama Aruna?"

"Hem,"

"Kenapa?"

Anak laki-laki itu kembali mendengkus. "Kan Papi yang minta."

"Kamu gak lagi ngerencanain sesuatu, kan?" tanya Riady curiga. Ia cukup tahu seperti apa perangai sang anak. Sangat mencurigakan jika tiba-tiba saja Bagas menerima pernikahan itu sedangkan sejak awal ia menolaknya mentah-mentah. Atau setidaknya Riady kira Bagas tidak akan menyerah secepat ini.

"Apaan sih, Pi ... ya enggaklah," elaknya.

"Gas ... Papi kenal kamu, gak mungkin secepat itu kamu memutuskan untuk menikah sama Aruna. Apa yang kamu rencanain?"

Refleks tangan Bagas yang sedang aktif menekan layar ponsel mendadak berhenti. Ia memutar bola matanya untuk berpikir cepat. "Gak ngerencanain apa-apa, tadi aku cuma minta sama Aruna untuk kasih aku waktu, ya ... biar kita sama-sama cinta dulu."

Riady mengernyit tidak percaya. Lelaki tua itu masih memandangi anaknya dari meja kerjanya. Satu kesamaan yang mereka punya, yaitu sama-sama licik.

"Kamu gak akan keluyuran malam-malam lagi, kan?"

Sontak tubuh Bagas menegang kaku, napasnya mendadak tercekat. Ia tahu maksud sang ayah apa. Pasti kebiasaannya yang gemar keluar masuk kelab malam.

"Nggak, Pi," bohongnya. Astaga, bahkan semalam ia baru meminjam uang Cakra untuk bersenang-senang di sana.

"Beneran?"

"—ya bener lah, Pi."

"Inget ya, Gas, kamu nyakitin Aruna, gak akan sepeser pun harta Papi jatuh ke tangan kamu."

Detik itu juga Bagas membelalak. ia berjengit dari baringannya dan terduduk kaget. "Pi ... kok, gitu banget? Kenapa aku gak dapet harta Papi? Emangnya aku bukan anak Papi?"

Riady mengedik. "Bukan, Papi pungut kayaknya."

"Pi ... wah tega sih ini." Anak laki-lakinya itu berdiri, menghampiri dan berhenti tepat di depan meja kerjanya. "Kenapa harus gitu?"

ELIGERETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang