4 - Sebuah Keputusan

68 20 29
                                    

"Kau dan Hyera belum membicarakannya?" Yeojin dan Hyuk duduk di sofa di ruangan Hyuk siang itu.

Hyuk sengaja memanggil Yeojin karena ingin membicarakan masalah adaptasi Novel Krisan di Musim Gugur karena sudah hampir satu minggu dan Hyuk tidak juga dapat membuat keputusan. "Ketika sudah berada di hadapan Hyera aku tidak tahu harus memulainya dari mana. Aku terlalu takut ia menjadi sensitif ketika aku menyinggung soal ibunya."

"Tentu saja, itu bisa dimengerti." Ujar Yeojin sambil menyilangkan kaki.

"Atau kita tolak saja, noona?"

"Kau mau menyerah bahkan sebelum mencoba?"

Hyuk menghela napas. ia tidak ingin menyerah. Ia harus profesional. Jika ia menolak proyek bagus ini begitu saja karena melibatkan perasaan pribadi artinya ia tidak profesional. Setidaknya itulah yang sedang ada dalam pikirannya. "Lalu aku harus bagaimana, noona?"

Yeojin terlihat berpikir. Hyuk pun sedang berpikir. Keduanya sempat terdiam karena sedang mencari ide masing-masing.

"Kalau kau tidak bisa mengkonfirmasi masalah ini kepada Hyera secara pribadi, bagaimana kalau kita adakan pertemuan saja?"

"Pertemuan?"

"Ya. Maksudku, kita undang Produser Han juga, maka itu akan menjadi diskusi formal."

Pertemuan formal adalah ide yang bagus. Tentu saja dari awal seharusnya mereka sudah melakukan pertemuan. Menurut Hyuk itu akan lebih mudah dibandingkan mengkonfirmasi kepada Hyera secara pribadi yang sangat berisiko melibatkan banyak perasaan.

"Baiklah, aku setuju."

Hyuk langsung menyetujuinya. Mereka berdua kemudian melanjutkan diskusi untuk membahas jadwal pertemuan.

***

Jingga terpapar di depan mata. Daun-daun kecokelatan yang berguguran, kelopak bunga yang tumbang satu persatu tersapu angin yang berhembus kencang. Matahari perlahan-lahan terbenam meski tak terlihat karena awan hitam gagah berdiri menghalanginya.

Hujan lagi-lagi turun pada jam-jam ketika senja akan datang sebelum berganti malam. Ketika jalanan sibuk dengan manusia yang berjalan pulang untuk beristirahat...

Hyera mencoba membaca beberapa lembar novel yang pernah ditulis ibunya. Semua novel yang pernah diterbitkan masih rapi tersimpan di rak buku yang terpajang di ruang tengah rumahnya. Hyera belum banyak belajar dari ibunya soal kepenulisan, namun ia bersyukur ibunya meninggalkan banyak tulisan yang kapan saja dapat ia baca.

Kalimat demi kalimat. Hyera membacanya pelan penuh penghayatan. Setiap kata yang tertulis di sana mengingatkannya pada gaya bicara ibunya yang lembut dan penuh kesabaran. Kalimat itu tertulis sederhana namun indah.

...seorang pria muda tak pernah mengistirahatkan tubuhnya. Dua kali putaran jarum jam bahkan tak cukup baginya. Di masanya menjalin cinta yang indah, ia justru berlarian kesana kemari, mecoba menyelamatkan sang ibu dari kehancuran...

"Hong Minho, anakku..."

Go Hyera anakku... Tiba-tiba saja terbesit suara ibunya ketika Hyera membaca satu kalimat itu. Terbayang cara ibunya memanggilnya, semua terbayang jelas. Apa yang ditulis oleh ibunya di novel itu, dalam bayangan Hyera adalah ibunya yang sedang memanggil namanya juga. Hyera menghapus air mata yang tanpa disadari telah menetes di pipinya. Kemudian ia membuka lembar berikutnya.

Setiap kali suara sang ibu menggema di telinga, Hong Minho merasakan pun suara itu hingga ke hatinya. Suara itulah yang hingga saat ini mampu membuat jantungnya terus berdetak. Kemudian, pria muda itu bertambah kuat, bagai bunga krisan yang tak gugur diterpa angin musim gugur yang berembus terlalu kencang...

ClockworkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang