12. Jean

203 25 14
                                    

Judul: The Last Goodbye
Part : Duabelas
Oleh : Al-Dhimas dan S. Azarian
Cast : Eren Jaegar X Mikasa Ackerman (and other Attack on Titan's character)
Disclaimer: Hajime Isayama-sensei selaku mangaka asli Attack on Titan, kami hanya numpang tenar pakai cerita gaje ini. Mohon izinnya. -/\-)
Btw, ini cerita ide awalnya ditulis sekitar tahun 2016 dan waktu itu Author cuma ngambil karakter tiap tokoh berdasarkan cerita di season pertama. Jadi yah, mohon maaf kalau ceritanya kelewat OOC. 😭🙏

-

Aku menghela napas berat tepat setelah mematikan telepon singkat dari Eren. Sebenarnya, yang melatarbelakangi ketakutanku untuk membahas kecelakaan 22 tahun lalu bukan semata-mata karena takut ibuku mengamuk. Namun aku juga takut perasaan marah dan dendam terhadap keluarga Jaegar yang telah kukubur dalam-dalam akan kembali meluap ke permukaan. Aku sangat yakin dengan rasa sayangku kepada Eren sebagai kakak sepupunya, tapi setiap aku mengingat kecelakaan 22 tahun lalu, rasa benci kepada ayah Eren menyebar seperti racun di dalam hatiku. Aku takut perasaan benci itu merusak akal sehatku dan membuatku berbalik membenci Eren yang tidak bersalah. Eren sudah cukup menderita oleh sikap dingin ibuku, setidaknya aku harus berusaha menjadi keluarga yang baik baginya.

"Ah, kenapa semua hal selalu berakhir menjadi masalah yang rumit, argh--"

Aku mengacak-acak rambutku dan menepuk kedua pipiku sekuat tenaga.

"Sadarlah, Jean Kirstein!" pekikku.

Tanpa sadar orang-orang di sekitar taman menatapku seperti hewan langka yang sedang dipamerkan di tengah panggung sirkus.

"Ah, sial," sungutku pelan.

Aku buru-buru pergi menuju mobilku yang terparkir beberapa meter dari pagar taman kota sambil berusaha memasang wajah datar.

-

Aku membawa mobilku meninggalkan taman kota, melesat dengan kecepatan sedang. Jalanan bersalju benar-benar membuatku bergidik ngeri, kau bisa saja tergelincir dan menabrak pembatas jalan atau malah menabrak pengendara lain. Kuharap musim dingin ini segera berakhir, pikirku.

Usiaku dan Eren hanya terpaut satu tahun, saat kecelakaan maut itu terjadi, aku baru berusia 6 tahun. Aku menangis selama seminggu penuh sampai airmataku habis dan mataku bengkak. Sementara Eren sempat kritis selama beberapa hari dan harus menjalani perawatan intensif selama dua minggu.

Saat Eren menginjakan kakinya ke rumah kami, aku berusaha mengacuhkan keberadaannya. Aku juga secara terang-terangan menyembunyikan semua mainanku ke dalam kamar agar tidak disentuh oleh Eren. Karena kamar kami berseberangan, seringkali secara sengaja aku membanting pintu kamarku setiap kali Eren melewati lorong di depan pintu kamar kami. Semua itu kulakukan semata-mata untuk melampiaskan kemarahanku kepada orangtuanya Eren. Namun wajah Eren justru membuatku merasa iba. Ia hanya menunduk dan pergi menghindariku. Aku bahkan tidak pernah mendengar tangisannya sejak ia keluar dari Rumah Sakit.

Sampai suatu malam, aku terbangun karena kehausan. Saat melewati kamar Eren, aku mendengar isakan kecil dari celah pintunya yang tidak tertutup rapat. Karena penasaran, aku menyelinap masuk ke kamar itu. Samar-samar, tampak sosok mungil yang sedang menenggelamkan wajahnya ke bantal. Suara isakannya terdengar pilu, tapi yang lebih menyakitkan adalah melihatnya berusaha meredam suara tangisan itu agar tidak ada yang mendengar.

'Bagaimana bisa anak berusia lima tahun bersikap seperti itu? Kalau mau menangis ya menangis saja sekuat mungkin, memangnya siapa yang akan memarahinya saat ia menangis?' pikirku pada saat itu.

Namun pemikiran itu hanya kusimpan untuk diriku sendiri. Aku hanya mengusap pelan punggung Eren sampai ia berhenti terisak. Aku masih ingat betul kalimat pertama yang ia ucapkan kepadaku.

"Jean, apa kau juga akan membenciku?" tanya Eren kecil.

Aku saat itu hanya menggeleng pelan, dan berbisik, "kau tidak salah apa-apa, kenapa aku harus membencimu?" tanyaku, berusaha terlihat tegar.

Eren tampak gemetaran, ia menggigiti jari-jemarinya yang samar-samar tampak memar dan berdarah. Aku meraih kedua tangannya yang dingin agar ia berhenti menggigiti kukunya.

"Eren ...."

"T--tapi Bibi bilang ini semua terjadi karena kesalahan ayahku, dan aku adalah pemicu utamanya. A--aku tidak mau jadi aktor lagi, aku tidak akan berakting lagi. Apa kalau seperti itu semuanya akan kembali normal?" tanya Eren sembari terisak pelan.

Pada saat itu, aku tidak tahu harus berkata apa. Aku seharusnya menyangkal perkataan Eren. Namun aku hanya diam seribu bahasa, dengan tanganku yang masih menggenggam kedua telapak tangan Eren. Tak lama kemudian adik sepupuku itu tertidur dengan sendirinya. Ia mungkin kelelahan setelah menangis sampai matanya sembab.

Aku pun memutuskan untuk kembali ke kamarku setelah memastikan Eren benar-benar tidur dengan lelap. Sejak malam itu, aku berjanji untuk menjadi kakak yang baik bagi Eren.

-

Aku mengusap kedua tanganku, berusaha menghilangkan rasa dingin yang menusuk kulitku. Restoran sushi yang Eren maksud adalah restoran kecil dekat stasiun kereta api yang sering kami kunjungi saat masih SMA.  Meski menu andalan restoran itu adalah nigiri sushi, tetap saja aku lebih sering memesan paket tori kaarage bento-nya. Sementara Eren justru lebih sering memesan ramen super pedas kesukaannya. Sampai-sampai Paman pemilik restoran menandai kami sebagai pelanggan setianya yang tidak perlu diberi buku menu setiap datang ke sana.

Pikiranku terlalu fokus mengingat kejadian-kejadian di masa lalu sehingga tidak sadar sudah melewati restoran itu beberapa belas meter. Mataku langsung menangkap sosok Eren yang berdiri mematung di pinggir jalan yang baru saja kulewati. Telinganya tampak memerah karena kedinginan, sementara matanya menatap kosong ke sebuah toko buku yang belum pernah kulihat sebelumnya. Ah, sepertinya restoran sushi yang dulu kami datangi sudah tidak beroperasi lagi. Memang aku sendiri sudah sangat lama tidak melewati daerah ini. Sayang sekali, pikirku.

"Apa kau sudah lama berdiri di sini?" tanyaku.

"Entahlah. Padahal dulu aku bisa berlari dari stasiun kereta ke tempat ini dengan menutup mata. Melihat semuanya berubah begitu drastis, rasanya hanya aku saja yang terperangkap di masa lalu, ya?" gumam Eren.

"Ah, semua hal berubah dalam sekejap mata, dunia ini kan tidak mungkin ikut berhenti saat kau terbaring koma. Sudahlah, ayo pergi dan cari restoran lain yang masih buka," ajakku.

Eren tetap bergeming, "bahkan sekalipun aku hancur lebur dan menghilang tanpa menyisakan sekeping atom-pun, dunia ini akan tetap berputar, ya?" gumamnya. Terdengar semakin ngelantur dan menyedihkan.

"Ah, kau ini," ringisku.

Aku langsung menggamit lengan bocah sinting ini tanpa menunggu persetujuannya. Eren berusaha melepaskan diri, namun aku bersikeras mencengkram tangannya lebih kuat.

"Dunia ini gila dan tidak memiliki empati. Dia akan terus berputar meski seluruh umat manusia punah. Tentu saja, kematian dan kemalangan satu manusia tidak berarti apa-apa baginya. Apa yang kau harapkan?! Bahkan saat ayahku dan orangtuamu hendak dikuburkan, langit menampakkan warna biru cerah yang sangat menyilaukan. Seakan menghina dan mengerdilkan rasa sedih yang kita alami," ujarku penuh emosi.

Eren berhenti memberontak dan akupun melepas cengkramanku. Selama beberapa saat, kami hanya diam berdiri seperti dua orang bodoh di tengah keramaian.

"Sialan," umpat Eren. Ia terlihat lebih tenang, tetapi matanya yang tampak lelah dan senyuman miris di wajahnya tidak membuatku lega sedikitpun.

Aku hanya menepuk pundak adik sepupuku itu dan berjalan kembali ke parkiran mobil. Eren pun hanya mengikutiku dari belakang tanpa berkata apa-apa.

Sesampainya kami di dalam mobil, Eren menatapku dengan ekspresi yang sulit kuterjemahkan. Raut wajahnya penuh kebimbangan, hingga akhirnya ia membuka mulutnya dan berkata, "Jean, anggap saja ini permintaan sekali seumur hidupku. Kalau kau menyanggupi satu permintaan ini, aku janji tidak akan membuatmu kerepotan lagi."

Aku hanya mengernyitkan dahiku, menunggu Eren melanjutkan ucapannya yang serba menggantung.

Ia menghela napas, "tolong dengar ceritaku sampai akhir. Jangan menyelaku, tidak peduli segila apa cerita yang akan kau dengar. Cobalah untuk percaya walau hanya sedikit saja," pinta Eren.

"Hah?"

-TBC-

The Last GoodbyeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang