4. Eren

502 47 5
                                    

Judul: The Last Goodbye
Part : Empat
Oleh : Al-Dhimas dan S. Azarian
Cast : Eren Jaegar X Mikasa Ackerman (and other Attack on Titan's character)
Disclaimer: Hajime Isayama-sensei selaku mangaka asli Attack on Titan, kami hanya numpang tenar pakai cerita gaje ini. Mohon izinnya. -/\-)
-

-Eren's POV-

Terkadang aku lupa seperti apa diriku sebelum koma, apa aku orang yang baik atau justru buruk? Entahlah. Aku hanya perlu menyelesaikan satu demi satu urusan duniaku sampai waktuku habis.

Saat ini aku dan Mikasa sedang berada di sebuah Cafe minimalis yang terletak di pusat perbelanjaan. Tampak sebagian besar pengunjungnya adalah anak sekolah yang sedang berkumpul bersama teman-temannya. Aku memperhatikan Mikasa yang sepertinya sedikit risih berada di sini.

"Ada yang bisa saya bantu, Tuan?" tanya seorang pegawai laki-laki yang mendapati kami berdua hanya berdiri di depan Cafe.

"Apa Armin ada di sini? Maksudku, apa bos-mu ada? A--aku teman lamanya," tanyaku dengan sedikit tergugup.

"Oh, Tuan Armin biasanya akan datang sebentar lagi. Silahkan duduk dulu, Tuan," ujar pelayan itu.

"Ah, baiklah ... Kalau begitu aku pesan dua gelas teh melati rendah gula," pintaku.

-

"Umm ... Mikasa?" panggilku.

"Hah? I--iya?" sahut Mikasa, ia tampak gelagapan. Entahlah, sejak tadi ia hanya melamun menatap gelas di hadapannya.

"Apa ada sesuatu yang tidak aku ketahui? Maksudku ...."

"Eren! Ma--maafkan aku," ujar Mikasa.

Wajahnya memerah dan ia bahkan enggan menatapku. Mikasa yang kukenal adalah wanita yang kuat, namun Mikasa yang saat ini berada di hadapanku terlihat sangat rapuh. Perasaanku mulai tidak enak, apapun itu ... ia pasti telah mengalami masa-masa yang sulit saat aku terbaring koma. Aku meraih tangannya, mencoba menguatkan gadis yang paling kucintai.

"Maaf aku tak bersamamu saat kau menghadapi masa yang sulit," ujarku pelan.

"Bu--bukan begitu! Kau pasti tidak akan mengerti, Eren," ujar Mikasa. Ia menatapku dengan air mata yang telah menggenang di pelupuknya. Mikasa menarik nafasnya dalam, "aku--aku telah melakukan kesalahan yang melukaimu, aku sangat menyesal," sambungnya dengan terbata.

"Tenangkan dirimu, hei ... Kau tidak salah apapun, Mika. Tak ada yang bisa disalahkan untuk semua kejadian ini," ujarku.

Aku tak mengerti apa yang ia katakan, tapi kurasa sebaiknya hal itu tak dibicarakan di sini. Mikasa mulai bisa mengendalikan emosinya dan menghapus air matanya. Aku menawarkan teh melati yang sejak tadi tak ia sentuh.

"Terima kasih," gumam Mikasa. Ia meneguk teh hangat itu sedikit dan meletakkannya kembali ke meja. "Aku ingin ke toilet sebentar," ujarnya dan langsung pergi meninggalkanku.

Tak lama setelah Mikasa pergi, seorang pria berambut pirang dengan kursi roda datang menghampiriku. Wajahnya tampak terkejut, kami berdua hanya terdiam selama beberapa saat.

"Armin?!"

"Eren ... K--kau sudah siuman?" tanya Armin.

Ia tampak terkejut sekaligus senang. Aku mengangguk pelan, perasaan bahagia pun tak bisa kusembunyikan. Aku pikir kami tak akan pernah bertemu lagi, aku pikir kecelakaan itu adalah hari terakhir aku melihatnya. Aku menghampiri Armin yang masih terduduk di kursi roda.

"Senang bisa melihatmu lagi, teman," gumamku.

"Ayo mengobrol di ruanganku," ajak Armin.

-

Ruangan ini cukup sederhana namun sangat tertata rapi dengan rak buku di sudut ruangan. Aroma bunga lavender memenuhi ruangan ini, benar-benar mencerminkan sosok Armin yang kukenal.

"Jadi ... Sejak kapan kau membuka cafe ini?" tanyaku.

"Ayolah, Eren ... Kau tak mungkin datang ke sini hanya untuk menanyakan cafe-ku. Ini adalah hari terbaik sepanjang masa, aku pikir aku takkan pernah melihatmu lagi," ujar Armin.

"Yah, kau benar ... Aku sangat senang, tapi, ada banyak pertanyaan yang mengganjal di pikiranku," ujarku dengan sedikit kikuk.

"Oh ya, kau benar ... Ada banyak hal yang telah kau lewatkan," sahut Armin.

Kami terdiam beberapa saat, suasana menjadi sangat hening. Sampai akhirnya kuberanikan diri untuk bertanya, "Apa ini semua karena kecelakaan itu? Maksudku, kakimu ...."

"Apa? Oh ini, lupakan saja ... Semuanya sudah berlalu, kan?" ujar Armin dengan senyum cerianya yang tak pernah berubah.

"Anu--apa kau ingat apa yang terakhir kali kita bicarakan sebelum kecelakaan itu?" tanyaku.

Akhirnya pertanyaan itu meluncur juga dari bibirku, sangat sulit mengatakannya meskipun Armin terlihat santai berbicara denganku.

"Hmm?" gumam Armin. Ia tampak mengingat-ingat sesuatu dengan cara berpikirnya yang khas.

"Eren," panggil Mikasa yang tiba-tiba saja muncul di ambang pintu. Ia langsung menghampiri kami dan berdiri di sampingku.

"Oh, kau sudah selesai, Mikasa?" tanyaku.

Mikasa hanya mengangguk dan tersenyum kecil. Aku merasakan hawa tak enak di ruangan ini, terutama wajah Armin yang berubah kaku.

"Sebentar lagi kau harus cek up ke rumah sakit, Eren," ujar Mikasa.

"Benarkah? Oh, baiklah ... Armin, apa kau ada waktu senggang besok?" tanyaku.

Armin yang mendadak salah tingkah langsung meraih kartu namanya dan memberikannya kepadaku. "Ini kartu namaku, kau bisa hubungi aku kalau ingin menanyakan sesuatu," ujar Armin.

Aku menerima kartu itu dengan senang hati. "Baiklah, aku akan menghubungimu nanti," sahutku.

"Semoga lekas sembuh, teman," ucap Armin.

Aku tersenyum dan langsung mengacungkan jempol ke arahnya. Ia tak akan pernah tahu apa yang sebenarnya telah menantiku, kematian.

-TBC-

The Last GoodbyeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang