5. Mikasa

509 47 10
                                    

Judul: The Last Goodbye
Part : Lima
Oleh : Al-Dhimas dan S. Azarian
Cast : Eren Jaegar X Mikasa Ackerman (and other Attack on Titan's character)
Disclaimer: Hajime Isayama-sensei selaku mangaka asli Attack on Titan, kami hanya numpang tenar pakai cerita gaje ini. Mohon izinnya. -/\-)
-

Aku menarik nafas dalam, berusaha memfokuskan pikiranku. Jalanan menjadi sangat licin karena salju dan mobil kami beberapa kali tergelincir. Eren sudah berulang kali membujukku untuk berhenti dulu, namun aku yang keras kepala ini tak mungkin mau menurutinya. Ia harus segera sampai di rumah sakit untuk check up, aku takut kesehatannya kembali memburuk karena kesalahanku. Aku tak ingin kehilangan Eren lagi, pikirku.

"Mikasa, ayo kita menepi dulu. Kita tak perlu buru-buru, ingat?" bujuk Eren sekali lagi.

"Kau harus sampai ke rumah sakit tepat waktu," sahutku singkat.

Tanganku gemetar dan rasanya sangat sulit untuk berkonsentrasi.

"Mikasa!"

Ban mobil kami berdecit sangat kuat, aku sontak menginjak rem yang justru membuat mobil ini berputar beberapa kali di jalan raya yang sepi hingga akhirnya menabrak bahu jalan. Eren tampak sangat panik dan berulang kali menyebut namaku. Aku menatap wajahnya tanpa bisa mengucapkan sepatah kata pun.

"Mikasa--apa yang kau pikirkan?!" bentak Eren.

"Aku--aku ...."

Tak ada yang bisa kuucapkan, tidak sedikitpun. Pikiranku benar-benar kacau. Entah ini tentang kesehatan Eren atau tentang Armin, yah--tentang masalah lima tahun lalu yang membawa malapetaka bagi kami semua. Aku yakin Eren sedang mencaritahu kebenarannya, entah ia ingat atau tidak masalah itu. Namun keberadaan Armin membuatku takut, Eren mungkin saja tidak mengingatnya, tapi Armin? Ia pasti mengingat kejadian itu dengan sangat baik.

"Baiklah--kabar baiknya, kita berdua tidak terluka. Ayo keluar, aku akan meminta Jean menjemput kita. Oke?" ujar Eren.

Aku hanya mengangguk pelan, setidaknya aku masih bisa mencegah Armin menceritakan masalah itu kepada Eren. Bahkan jika harus bersujud dan mengemis kepadanya, aku akan melakukannya. Apapun itu, demi memulai hidup baru bersama Eren, akan kulakukan. Masa lalu yang terus diungkit hanya akan membawa kami ke masa depan yang suram, dan aku tidak menginginkan itu.

-

"Ha--halo, Armin?" sapaku dengan sedikit tergagap. Aku bahkan lupa kapan terakhir kali menghubungi Armin, yang pasti semenjak kecelakaan itu terjadi, kami hanya saling menghindari satu sama lain. Dan hal itu pula yang membuat Armin enggan mengunjungi Eren, karena aku selalu ada di sisi Eren setiap harinya.

"Mi--mikasa?" jawab Armin dari seberang telefon.

"Eum ... Apa kau ada waktu?" tanyaku.

"Untuk?" tanya Armin balik. Nadanya berubah dingin, dia bukan lagi pria kikuk nan pemalu yang dulu kukenal.

"Yah--berbicara," sahutku. Aku mengusap tengkukku yang terasa dingin.

"Saat ini kita sedang berbicara," tuturnya tanpa minat sedikitpun.

"Bukan begitu, Armin--kau pasti mengerti, kan?" gumamku dengan nada sedikit memelas.

"Ya, aku mengerti kalau kau ingin memiliki Eren seutuhnya, hanya untuk dirimu sendiri kan, Mikasa? Aku mengerti kalau kau tidak hanya mencintainya, tapi kau juga terobsesi denganny--"

"Tidak! A--aku tidak pernah seperti itu, Armin. Kau yang selalu berpikir aku seperti itu," tukasku membantah setiap sindiran Armin.

"Mikasa, dengar ... Kau tak bisa selamanya menyembunyikan kebenaran dari Eren, ia akan tetap mengetahuinya meski kau mati-matian memintaku menutup mulut. Kau pasti mengerti, kan?" ujar Armin. Suaranya melembut namun tetap terkesan mengguruiku.

"Hiks--ini tak seperti yang kau bayangkan, Armin. Aku hanya ingin memulai semuanya dari awal bersama Eren, tanpa ingatan tentang masa lalu itu. Hanya itu yang kumau," sahutku sambil terisak pelan.

"Terserahmu saja Mikasa," jawab Armin singkat. Ia langsung memutuskan panggilan itu sepihak, membiarkanku meratapi semua cercaannya yang menyakitkan.

-

Aku mengetuk pintu rumah Eren, namun yang membukakan pintu justru Jean. Aku cukup akrab dengannya karena kami bertiga pernah satu sekolah saat SD dan SMP. Tapi saat SMA Jean memutuskan masuk ke sekolah musik, sementara aku dan Eren masuk ke sekolah akting.

"Oh, Mika? Ayo masuk," sapanya ramah.

"Apa Bibi ada di rumah?" tanyaku saat baru saja masuk ke dalam rumahnya.

"Yah, seharusnya hari ini dia pulang dari Kyoto. Duduklah, akan kupanggilkan Eren," sahut Jean. Aku menganggu pelan dan membiarkannya naik ke lantai atas.

Rumah ini selalu sepi, dengan design minimalis yang sangat monoton. Dulunya tak seperti ini, aku kenal Ibu Jean sebelum suaminya meninggal. Ia wanita lemah lembut yang sangat suka memasak makanan enak untuk kami. Namun semuanya berubah saat kedua orangtua Eren dan ayahnya Jean mengalami kecelakaan yang menewaskan mereka bertiga. Saat itu aku, Eren dan Jean masih duduk di bangku SD. Bibi yang depresi membuatnya menjadi wanita angkuh yang gila kerja, tak ada yang mampu membujuknya untuk kembali seperti dulu. Bahkan Jean pun sudah menyerah menghadapi ibunya.

"Hai, Mikasa ... Kau datang ke sini dengan supir, kan?" sapa Eren.

"Eum--ya, tentu saja. Aku tak mungkin berani membawa mobil sendirian di tengah salju begini," sahutku.

"Syukurlah, aku khawatir kau kenapa-napa," gumam Eren.

Aku hanya tersenyum kikuk dengan wajah yang sedikit tersipu malu. Namun keadaan itu tak bertahan lama karena Jean langsung berdehem untuk menyadarkan kami tentang keberadaannya.

"Ada yang mau cemilan?" tawar Jean.

"Ibu mau," sahut seseorang dari ambang pintu.

Kami semua menoleh ke sumber suara itu, tampak ibunya Jean dengan wajah angkuhnya yang menyebalkan. Ia mengabaikan keberadaan kami dan langsung duduk di meja makan yang tak jauh dari ruang tamu.

"Ibu, lihat! Eren sudah sadar dari koma, ia akhirnya sem--"

"Jean, Ibu sangat lelah setelah perjalanan jauh. Bisa ambilkan Ibu segelas teh dan cemilan?" pinta Bibi tanpa sedikitpun peduli dengan keberadaan aku dan Eren.

"Hai Bibi, bagaimana kabarmu?" sapaku.

"Oh, ya ... Aku baik," sahutnya singkat.

"Bibi ...."

Aku melihat Eren yang memanggil wanita paruh baya itu dengan sangat lirih. Ia menunduk seperti orang yang ketakutan.

"Oh, kau sudah pulang? Pantas saja hawa di rumah ini jadi tak mengenakkan. Huft--baguslah, biaya rumah sakit itu sangat mahal, kau tahu?" ujar Ibu Jean.

Setiap perkataannya seakan menyayat hati, aku sangat ingin membawa Eren pergi sejauh mungkin agar ia tak perlu mendengar perkataan wanita itu. Tapi Eren hanya tersenyum tipis, entah apa yang sebenarnya ada di pikirannya.

-TBC-

The Last GoodbyeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang