6. Eren

462 45 6
                                    

Judul: The Last Goodbye
Part : Enam
Oleh : Al-Dhimas dan S. Azarian
Cast : Eren Jaegar X Mikasa Ackerman (and other Attack on Titan's character)
Disclaimer: Hajime Isayama-sensei selaku mangaka asli Attack on Titan, kami hanya numpang tenar pakai cerita gaje ini. Mohon izinnya. -/\-)
-

Aku duduk di sudut cafe dengan segelas kopi yang telah dingin. Ini sudah memasuki minggu pertama bulan Desember, dan waktuku pun semakin menipis. Armin sudah berjanji untuk menemuiku hari ini. Karena ada banyak sekali hal yang ingin kutanyakan padanya. Tapi, sampai detik ini pun ia tak muncul.

"Apa dia lupa?" gumamku.

Baru saja aku ingin menghubungi Armin lagi, tiba-tiba saja kursi di hadapanku diduduki oleh seorang pria pendek yang sudah sangat familiar wajahnya. Siapa lagi kalau bukan malaikat maut yang  menyebalkan ini.

"Aku bisa membaca pikiranmu, bodoh," cibirnya.

Aku melihat sekeliling, "apa hanya aku yang bisa melihatmu?" tanyaku pelan, nyaris seperti berbisik sebenarnya.

"Menurutmu?" tanyanya balik.

Ia meletakan kakinya di atas meja dan berteriak, "hei, kalian semua! Apa kalian bisa melihatku? Apa mungkin manusia bisa melihat malaikat? Tolong jawab pertanyaan manusia bodoh satu ini," ujarnya dengan lantang.

Tak ada seorang pun yang merespon ucapan malaikat maut itu. Aku mendengus kesal karena ia benar-benar memperlakukanku seperti orang bodoh.

"Kau tahu, waktumu hanya tinggal 23 hari lagi. Dan lihat apa yang kau lakukan, duduk di cafe sambil menikmati segelas kopi seperti manusia tanpa beban. Apa kau benar-benar tak bisa berpikir? Atau otakmu itu tertinggal di alam baka?" ejek malaikat maut itu. Ia seakan tak pernah kehabisan kata untuk menghinaku.

"A--aku tak sedang bersantai, aku sedang menunggu seseorang yang akan menjawab semua pertanyaanku," sahutku. Meski aku sendiri tak yakin akan hal itu.

"Astaga, kau pikir ia akan berkata jujur? Ayolah, Eren ... Apa kau senaif itu? Jangan percaya pada manusia, cari tahu semuanya sendiri, selesaikan semuanya sendiri. Kau mengerti?!"

"Aku mengerti, tapi--"

"Eren? Maaf membuatmu menunggu lama. Apa kau tadi berbicara dengan seseorang?" tanya Armin yang tiba-tiba saja sudah berada di belakangku. Ia bersama seorang wanita cantik yang mendorong kursi rodanya.

"Oh, tidak--aku tidak berbicara dengan siapa-siapa. Yah, aku juga baru datang kok," dustaku.

"Syukurlah kalau begitu. Oh ya, ini tunanganku, namanya Historia Reiss, dia seorang jurnalis," ujar Armin.

"Hai, Eren," sapa wanita beramput pirang itu dengan ramah.

"Waw, kalian bertunangan? Tunggu dulu, sejak kapan? Sayang sekali aku ketinggalan banyak momen yang luar biasa," ujarku.

Ini benar-benar mengejutkan, maksudku ... Armin bahkan tak pernah dekat dengan satu wanita pun selama kami berteman. Dan sekarang, ia berada di hadapanku dengan seorang wanita yang sangat manis sebagai tunangannya. Aku penasaran bagaimana mereka bisa saling menyukai.

"Ayolah, Eren ... K--kau tahu ada banyak hal yang lebih penting untuk kita bahas," ujar Armin dengan wajah yang bersemu merah.

"Dia hanya malu, Eren. Aku salah satu jurnalis yang mengangkat berita tentang kecelakaanmu. Dan yah ... Kami jadi lumayan akrab setelah itu," sahut Historia dengan tawa renyahnya.

"Benarkah? Ternyata Armin yang kukenal tak sepenuhnya berubah. Dasar kau, sama teman sendiri aja malu-malu," tukasku sambil meninju pelan pundaknya.

Historia duduk di tempat dimana malaikat maut tadi duduk, sementara Armin tetap di kursi rodanya. Awalnya pembicaraan kami mengalir begitu saja, sesekali kami tertawa dan merenungkan semua yang sudah telanjur terjadi. Dari cerita mereka berdua, dapat disimpulkan kalau yang selama ini membantu dan mendukung Armin adalah Historia. Saat jurnalis lain menemui Armin hanya untuk mengorek informasi, Historia hadir sebagai teman yang mengerti seluruh kesedihan Armin. Armin enggan bercerita kepada siapapun tentang tragedi itu selain dengan Historia. Aku sangat berterima kasih kepada gadis yang sudah menyelamatkan temanku ini. Entah bagaimana jadinya, jika Armin harus menanggung penderitaan itu sendiri.

"Eren ... Aku sebenarnya menemukan banyak sekali kejanggalan pada kecelakaan lima tahun lalu. Aku menceritakan semuanya kepada Armin, tapi tentu saja hal itu tidak kutulis di dalam beritaku. Aku hanya menulis semuanya sesuai perkataan polisi, bahwa ini murni hanya kecelakaan," ujar Historia. Suaranya sangat pelan, mungkin ia takut orang lain mendengar hal ini.

"Kejanggalan? Apa maksudnya?" tanyaku.

"Ada sabotase, Eren. Mungkin saja ada seseorang yang berencana membunuhmu," timpal Armin.

"Ta--tapi kenapa? Armin, kau tahu kan, aku tak memiliki musuh. Mana mungkin ada yang berniat buruk sampai ingin membunuhku," bantahku.

"Mungkin saja Eren, orang di dunia ini tak sebaik yang kau pikirkan. Apa kau lupa, dulu pernah ada yang melempar batu dengan kertas berisi ancaman ke jendela kamarmu?" tanya Armin.

"Tapi itu hanya haters, Armin, hampir semua selebritis pernah mengalaminya. Itu hal biasa di dunia hiburan," elakku.

"Bagaimana dengan kasus pelemparan petasan saat kau sedang di atas panggung?"

"Itu--"

"Dan saat ada yang mengirim bangkai tikus ke rumahmu?"

"Oh ayolah, orang yang melakukan teror seperti itu belum tentu berani membunuh targetnya. Mungkin mereka hanya iseng," sahutku enteng.

Meskipun semua yang Armin katakan benar, aku tak ingin mengambil pusing dan terpaku pada hal-hal seperti itu. Aku tak punya banyak waktu, dan bersikap seakan aku ingin menyelesaikan kasus ini untuk memulai kehidupan yang baru sangatlah menyakitkan. Aku akan mati, dan itu adalah kenyataan yang harus kuterima. Ada atau tidaknya orang yang berusaha membunuhku tidak akan mempengaruhi apapun, aku akan tetap mati, ingat?

"Eren, dengar ... Ini bukan hanya tentangmu. Apa kau tidak lihat bagaimana keadaan Armin sekarang? Ia lumpuh, Eren. Kau mungkin bisa melanjutkan hidup tanpa sedikitpun cacat di tubuhmu, tapi Armin tidak. Keadaannya yang saat ini sangat menyakitiku, kau tahu?" gumam Historia dengan penuh penekanan yang sangat menyayat hati.

Aku mengurut pelipisku, melanjutkan hidup katanya? Aku meringis pelan dengan seulas senyum yang aku sendiri tak mengerti artinya.

"Jadi apa yang ingin kalian lakukan?" tanyaku.

Rasanya sangat sulit untuk menyembunyikan emosiku. Aku benar-benar muak, ini bukanlah jawaban yang aku inginkan.

"Beberapa tahun lalu aku sudah menyelidikinya seorang diri, Eren. Tapi aku harus bertanya kepadamu untuk meyakinkan pendapatku. Jadi, apa kau ingat apa yang terakhir kali kau dan Armin bahas di dalam mobil itu?" tanya Historia.

"Entahlah, aku tak yakin ... kurasa kami sedang memperdebatkan seauatu. Tapi aku lupa tentang apa," ujarku.

"Kita berdebat tentang Mikasa, Eren. Sebenarnya itu lebih seperti bertengkar," sahut Armin.

"Hah?"

"Apa kau ingat saat kau bertengkar dengan Mikasa sebelum kecelakaan itu? Maksudku, tentang foto mesra Mikasa bersama seorang pria asing?" tanya Historia lagi. Kali ini aku benar-benar melihat sosok jurnalis di dalam dirinya.

"Tu--tunggu dulu," tukasku.

Aku mencoba mencerna semua informasi itu secepat mungkin. Kepalaku rasanya seperti ingin meledak saat mereka menyebut nama Mikasa. Namun kepingan-kepingan ingatan itu menyatu di kepalaku, menjadi sebuah puzzle yang nyaris utuh. Dan yang mereka katakan benar, semuanya benar. Tapi aku yakin itu hanya salah paham, Mikasa tidak mungkin mengkhianatiku.

"I--itu cuma editan, kan? Maksudku, Mikasa juga seorang selebritis, jadi mungkin saja foto itu di-edit oleh fans yang terobsesi padanya," ujarku.

"Yah, begitulah skandal itu ditutup. Foto itu memang cuma editan, tapi ... siapa yang mengira kalau Mikasa mengenal pria itu?" sahut Historia.

"Pria itu pernah menjadi rekan kerja Mikasa, dan hubungan mereka cukup dekat, Eren. Dan hal yang terpenting adalah, dia membencimu," terang Armin.

"Oke--oke, ini gila. Aku tahu arah pembicaraan kalian, aku mencoba menahan emosiku, tapi kalian justru memperkeruh keadaan. Mikasa tidak ada hubungannya dengan semua ini, dan satu hal yang perlu kalian ketahui ... Eren Jaegar tidak akan pernah memiliki kehidupan yang baru. Goodbye!"

-TBC-

The Last GoodbyeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang