3. Eren

628 58 9
                                    

Judul: The Last Goodbye
Part : Tiga
Oleh : Al-Dhimas dan S. Azarian
Cast : Eren Jaegar X Mikasa Ackerman (and other Attack on Titan's character)
Disclaimer: Semua karakter dan cerita ini milik Hajime Isayama-sensei, dan kami akan menistakan mereka semua. Hahaha-- //Digampar fans SnK.
-

-Eren's POV-

Aroma lemonade memenuhi ruangan ini, nuansa yang sama sejak terakhir kali aku menginjakkan kaki di kamar Jean, kakak sepupuku. Kami tak terlalu akrab, tapi bukan berarti kami bertengkar. Ia orang yang keras dan menyebalkan, tapi hanya dialah keluarga yang masih menganggapku ada. Bibiku--Ibunya Jean--tak pernah peduli padaku, ia hanya memenuhi kewajibannya sebagai waliku karena kedua orangtuaku meninggal sejak aku kecil.

"Hmm? Kau sudah keluar dari rumah sakit?" tanya Jean, ia tampak terkejut.

"Yah, meskipun aku lebih mirip bangkit dari kubur," candaku. Ia menautkan alisnya, tak ada niat sedikitpun untuk tertawa.

"Baguslah. Welcome back, Bro," ujar Jean. Ia menyimpulkan sedikit senyum untuk menghiburku mungkin. Aku hanya mengiyakan dan langsung pamit ke kamarku yang berada di sebelah kamarnya.

"Hey, mau makan sesuatu? Ya, kau tau... mungkin aku harus menyambut kepulanganmu," ungkap Jean.

"Makan apapun bisa, lidahku mati rasa sebenarnya," ujarku disertai tawa getir. Namun aku tetap mengucapkan terima kasih dan langsung menutup pintu kamarnya.
-
Aku mengedarkan pandangan ke kamarku yang tak banyak berubah, melangkahkan kaki dengan helaan nafas berat. Meskipun sudah diizinkan pulang, aku masih harus melakukan bebarapa kali cek up. Aku bahkan tak tahu untuk apa melakukan hal itu, maksudku ... apa mereka pikir aku sudah sembuh dan bisa melanjutkan hidupku lagi? Tentu saja tidak. Aku akan mati, tepat setelah semua urusan duniaku selesai.

"Hei pemalas," sapa seseorang.

Aku bergidik ngeri saat melihat Malaikat Maut itu berada di dalam kamarku. Ia duduk di atas meja bacaku dengan kaki menyilang. Niatku untuk tidur pun langsung sirna.

"Apa?"

"Kau ini bodoh atau apa, memangnya kau lupa apa alasan kau diberi kesempatan. Waktumu tidak banyak, kau tau?" kicaunya.

"Tentu saja aku ingat. Memangnya berapa banyak waktu yang aku miliki?" tanyaku.

"Tinggal 25 hari lagi, itu sih menurut perhitungan manusia."

"A--apa? Umm, aku hanya perlu memutuskan Mikasa, kan?" tanyaku sedikit ragu.

Ia tampak tak senang dengan jawabanku, kakinya menepak di lantai dan berjalan mendekatiku. Aku langsung was-was jika dia berniat menghajarku. Tapi ia hanya berdiri dengan wajah ditekuk seperti biasanya, memojokkanku yang sedang duduk di sudut kasur.

"Dengar, aku tidak bisa menghajar tubuh lemahmu itu karena akan meninggalkan bekas yang merepotkan. Tapi mungkin aku bisa mengeluarkan arwahmu dan menghajarnya sepuasku," ujarnya. Ia menghela nafas sebelum melanjutkan ucapannya, "aku bilang urusan duniamu, semuanya. Jadi, jangan pikir kalau masalahmu hanya dengan gadis itu."

"Tapi, aku tak punya masalah dengan siapapun," sahutku dengan penuh keyakinan.

"Oh ya? Menyenangkan sekali hidupmu. Bagaimana dengan Bibi yang tak peduli denganmu? Bagaimana dengan sahabatmu yang lumpuh itu? Bagaimana dengan anti-fans yang beberapa kali mengancam nyawamu?" tanya Malaikat maut itu bertubi-tubi.

Aku mengerjapkan mata tak percaya dengan apa yang ia katakan, "maksudmu apa?" tanyaku. Aku menghela nafas berat sebelum melanjutkan ucapanku, "aku bisa mengerti kalau Bibi tak menyukaiku dan aku tak masalah dengan hal itu. Tapi, sahabat yang lumpuh? Anti-fans? Apa maksudmu, hah?" tanyaku.

"Ya Tuhan, kau ingin aku merincikan semuanya dan membuat otak dungumu itu semakin tak berguna? Pikirkan sendiri. Aku tak boleh terlalu ikut campur dengan urusanmu," ujarnya.

Kepalaku seakan ditusuk ribuan jarum, setiap ucapannya bergema di dalam pikiranku. Sangat sulit mencerna informasi yang sebelumnya belum pernah kudengar. Mikasa tak memberitahuku tentang hal-hal yang terjadi selama aku koma. Belum sempat aku bertanya lagi, Malaikat maut itu sudah menghilang entah kemana.

"Sahabat? Ah--"

Mataku membulat saat mengingat nama seseorang, sahabat karib sekaligus asistenku, Armin.

Jantungku seakan ingin meloncat keluar saat mengingat kejadian itu, kejadian sebelum aku kecelakaan. Aku dan Armin sedang memperdebatkan sesuatu yang entah apa di dalam mobil, ia mengendarai mobil itu dan aku berada di sampingnya. Saat itu sedang hujan deras dan jalanan sangat licin, ban mobil kami tiba-tiba saja tergelincir dan remnya blong.

Aku tidak tahu keadaan Armin setelah kejadian itu, apa ia baik-baik saja? Aku tak percaya dengan apa yang Malaikat Maut itu katakan. Rasanya sangat menyakitkan saat membayangkan keadaan Armin yang lumpuh, ia bahkan tak pernah menjengukku di rumah sakit. Aku harus menemuinya dan meminta maaf.

"Eren!" seru Mikasa di ambang pintu. Ia menghampiriku dengan wajah ditekuk.

"Oh, maaf Mikasa. Aku lupa memberitahumu kalau aku akan pulang," ujarku.

"Umm, bukan masalah. Aku hanya khawatir kalau kau pulang sendiri," ujar gadis dengan syal merah itu. Aku hampir lupa kalau Mikasa tidak pernah marah padaku, seburuk apapun aku memperlakukannya. Ia gadis yang baik, sangat baik.

"Ah, aku sudah baik-baik saja. Anu, Mikasa ... selama aku koma, apa yang telah terjadi? Maksudku, ada banyak kejadian yang aku lewatkan, kan?" tanyaku gelagapan. Aku tak mungkin langsung bertanya tentang Armin, ia pasti curiga.

"Yah, kau tahu ... pertama, seluruh dunia mengira kau sudah meninggal. Maaf sebelumnya, tapi aku benci kalau mereka terus berusaha mengorek informasi tentang keadaanmu," terang Mikasa. Ia melepas syal merahnya dan menggantungkan syal itu di balik pintu.

"Hahaha, baguslah. Lagipula aku tak ingin menjadi aktor lagi. Oh ya, selain itu apa lagi yang terjadi?" tanyaku. Apa yang Mikasa katakan bukanlah hal yang mengejutkan, sudah seharusnya seluruh dunia ini melupakanku.

Mikasa berpikir sejenak, menimbang-nimbang tentang apa yang harus ia katakan. Ia duduk di sebelahku, kalau diperhatikan dari dekat, ia tampak jadi lebih dewasa dari yang terakhir kali aku lihat. Rambutnya dipotong sebahu, membuatnya tampak lebih segar.

"Aku pensiun, tapi itu bukan kejadian besar. Oh ya, apa kau sudah menghubungi Armin? Ia membuka sebuah kedai kopi di pusat perbelanjaan. M--mau pergi bersamaku?" tawar Mikasa.

"Benarkah? Aku mau."

Aku yakin wajahku tampak sangat senang, aku bahkan tak berniat menanyakan alasan Mikasa pensiun. Armin membuka sebuah kedai kopi, aku rasa itu berita yang sangat bagus. Aku harap Malaikat Maut itu hanya melebih-lebihkan ceritanya, Armin baik-baik saja, itulah yang aku yakini.

-TBC-

The Last GoodbyeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang