06 • Heeseung side

145 44 17
                                    

Heeseung, ia berdiri di depan sebuah pagar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Heeseung, ia berdiri di depan sebuah pagar. Tak bergerak sedikit pun sejak pertama ia berada di posisinya sekarang.

Kakinya sangat lemas, nyaris tidak kuat menopang tubuhnya sendiri. Tangannya menggenggam kuat rangkaian bunga yang ia pegang. Heeseung menghirup dan menghembuskan napas dalam, mencoba menetralkan detak jantungnya yang sedang berdetak di luar irama normal.

Perlahan, Heeseung mulai memasuki sebuah lahan tersebut. Sesak di dadanya mulai muncul, matanya sudah terasa panas pula sekarang. Ini masih berada jauh dari tempat yang ia tuju, lalu bagaimana saat sudah sampai di tujuannya?

Heeseung berhenti melangkah. Ia sudah dapat melihat yang dicari. Bukannya membaik, kakinya makin mati rasa. Heeseung mendekati sebuah nisan yang menjadi tujuan utamanya.

Sekuat tenaga ia menahan bulir bening tak seenaknya keluar dari mata tanpa izin. Sekuat tenaga pula ia menahan dirinya sendiri yang sudah gemetar.

Heeseung bersimpuh, menundukkan kepalanya.

"B-bun.."

Heeseung paksa mengangkat kepala. Tangannya terulur untuk mengusap nisan yang sudah dipenuhi debu tersebut. Berusaha membayangkan bahwa yang ia sentuh sekarang adalah sosok seorang wanita, bukan batu.

"Ini Heeseung.."

"Heeseung udah sebesar ini, bun.."

"Oh iya, ini bunga buat bunda, barusan Heeseung beli khusus buat bunda." Heeseung menaruh bunga yang sedari tadi digenggamnya di atas makam.

Lagi, matanya terasa sangat amat perih. Kepalanya kembali ia tundukkan. Jujur, Heeseung sudah tak kuasa menahan sesaknya. Ingin rasanya ia memukul kencang-kencang dadanya sekuat tenaga, berharap hal itu bisa memulihkan rasa sesak.

"Bunda, bunda masih inget Heeseung kan pasti?"

"Bunda apa kabar selama di sana? Di sana gimana rasanya bun?"

Heeseung tersenyum getir. Meratapi kebodohannya yang hanya bisa bicara menatap sebuah nisan, bukan lagi wujud ibundanya. Menanyakan pertanyaan-peryanyaan yang ia sendiri tahu sampai kapan pun takkan pernah dijawab lagi.

"Bun, Heeseung jahat, ya?"

"Tuh kan, bunda diem, berarti bunda ngambek sama Heeseung. Iya bunda, Heeseung tau Heeseung jahat, maafin ya.."

"Heeseung baru berani ngunjungin bunda setelah bertahun-tahun lamanya. Jahat banget kan, bun?"

"Heeseung pengecut, bun. Heeseung lemah, Heeseung penakut, Heeseung.."

Tak lagi mampu Heeseung melanjutkan racauannya. Pertahanannya runtuh saat itu juga. Menumpahkan air matanya yang masih banyak itu. Melepaskan sesak yang dirasa—walau belum semua.

Penyesalan, penyesalan, dan penyesalan. Andai dapat memutar waktu, andai dulu ia sudah dewasa, dan andai-andai lainnya. Hanya itu yang ada di kepala Heeseung.

Nemo ; HeeseungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang