"Aku gak mau pindah! Pokoknya aku gak mau pindah!"
Danila mengerutkan kening, anak perempuannya yang biasanya begitu tenang, terlihat sangat gusar mendengar rencana pindah yang sudah ia susun begitu rapi.
"Tapi, Nak. Kamu bisa sekolah di sana. Kamu mau sekolah, 'kan?" bujuk Danila.
"Enggak! Aku gak mau pindah, aku mau tetap di sini."
Dini berlari ke kamarnya sambil menangis terisak-isak, sedangkan Dewa terlihat termenung menatap kotak-kotak berwarna cokelat yang disusun sang ibu di dinding ruang tamu.
Danila berjalan menuju kamar sang anak, saat pintu dibuka gadis kecil itu sedang menangis memeluk tas belajarnya.
"Huu huu huu."
Bulir-bulir bening mengalir dari netra wanita yang biasa dipanggil 'Ibu' oleh anak-anaknya. Sungguh, dia tidak mengerti apa yang sedang berlaku dua hari ini. Siang kemarin anak laki-lakinya mengamuk tanpa sebab yang pasti, pagi ini, anak perempuannya yang menangis begitu pilu.
Danila memeluk gadis kecil itu, dia teringat dirinya sendiri.
Dia pernah menangis seperti itu, seorang diri. Tidak ada yang memeluk dan menenangkannya, hanya ada sebuah boneka kelinci kesayangan, hadiah ulang tahun yang ke-8 dari Mama.
Waktu itu, ia mendengar bisik-bisik para bibi (ART) di dapur rumah orang tuanya, bahwa Mama yang melahirkan Danila wafat dalam kecelakaan.
"Siapa yang bilang?"
Danila kecil bertanya pada para perempuan itu satu persatu-satu. Tidak ada yang mau menjawab pertanyaannya.
"Mamaku masih hidup, Mama enggak meninggal, kalian bohong kan?!"
"Sabar ya, Non."
Salah satu ART mencoba meraih dirinya, dia sedikit menyesal membicarakan kabar yang belum boleh diberitahukan kepada Nona kecilnya itu.
Danila menepis tangan wanita itu, dia menangis dan berlari ke dalam kamar.
"Mama bilang mau pulang bawa hadiah yang banyak. Mama pasti pulang kan?!"
Danila bertanya pada boneka kelinci itu.
Ternyata Mama tidak pulang seperti janjinya.
Dua hari kemudian, saat bangun tidur, terlihat begitu ramai orang di rumah, Danila melihat ayahnya sedang menangis di depan jasad ibunya yang ditutupi kain putih.
Waktu itu, Danila kecil menangis pilu, sepilu tangisan putrinya saat ini, demikian juga dengan Dewa.
Satu jam kemudian, suasana menjadi hening, Dini tertidur dalam pelukannya, dia kelelahan, Danila memindahkan gadis kecil itu ke pembaringan, tak lupa mengusap sisa-sisa air mata di pipinya.
Di ruang tamu, terlihat Dewa juga sudah tertidur. Danila membetulkan posisi laki-laki kecilnya agar rebah dengan sempurna.
"Maaf, kalau Ibu bukan ibu yang sempurna," kata Danila. Ia duduk di lantai, di samping sofa yang sedang ditiduri Dewa.
"Maaf, tidak bisa memberikan semua yang kamu mau," katanya lagi.
Lagi-lagi air mata berjatuhan tanpa dapat ia cegah. Danila memeluk Dewa yang ia kira sedang tidur. Dia menangis di bahu putranya.
Tiba-tiba sebuah tangan kecil mengelus-elus punggungnya, Dewa terbangun karena mendengar suara ibunya menangis.
Pagi menjelang siang itu rumah mereka dipenuhi isak tangis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengapa Dia Ayahku?
General FictionDanila mendapati anak laki-lakinya diliputi amarah saat mengetahui siapa ayah kandungnya. Apa yang membuatnya marah? Siapa ayah kandung dari anak-anaknya sebenarnya?