Bab 8

4.7K 304 0
                                    

POV Davina

Lagi-lagi dia memandangku dengan tatapan seperti itu.

"Ya! Aku tahu kau tidak suka aku di sini. Kau berharap Danila yang menemanimu, iya kan?! Tapi kau hanya punya aku sekarang. Jadi, terima saja!"

Ah, sial! Aku menyesal tidak membawa satupun asisten pribadiku. Sekarang, kursi roda wanita tua ini aku sendiri yang harus mendorongnya.

"Bersiaplah! Kita harus berfoto."

Aku mengambil foto dalam beberapa sudut, kira-kira yang mana yang pas untuk ku posting di media sosialku?

Ah! Yang ini saja, aku sedang berlutut, terlihat seperti anak yang berbakti.

Kira-kira caption apa yang cocok dengan foto ini ya? Coba kupikirkan dulu.

Ibuku sayang.

Ah, tidak.

Aku sayang ibu.

Ah, rasanya tidak pas juga.

Menemani ibuku ke rumah sakit.

Ya! Yang ini pas.

Setelah berfoto aku mendorong kursi roda menuju ruangan dokter Fadila, wanita itu sudah menunggu kami sejak sepuluh menit lalu.

"Assalamu'alaikum."

Terdengar suara ramah dokter tersebut, ia adalah ahli saraf yang menangani Ibu selama ini.

"Wa'alaikumussalam."

"Apa kabar Nak Davina? Tambah cantik aja nih."

Aku berterima kasih dan tersenyum mendengar pujiannya, entah itu benar-benar pujian atau hanya basa-basi.

Sementara dokter menangani Ibu, aku duduk menunggu.

Kupandangi wanita yang duduk di kursi roda itu, tubuhnya kaku karena struk yang dia alami beberapa tahun lalu.

Sebenarnya aku kasihan, tapi, aku juga merasa diuntungkan dengan ketidakberdayaannya.

Aku menyayanginya, tapi juga membencinya.

Karena wanita itu, aku harus bersikap seperti anak angkat di rumah ayah kandungku sendiri. Dia begitu baik saat aku datang pertama kali ke rumahnya sepuluh tahun lalu.

Menyambut kedatanganku bersama keponakan tersayangnya. Dia bilang, "Dari manapun kamu berasal, kita adalah keluarga sekarang. Kita akan saling menyayangi dan saling mendukung."

Dia memperlakukanku dengan sangat baik. Memberiku apapun yang kubutuhkan, membuatkan kamar yang indah, seindah milik Danila. Membelikan baju-baju bagus dan menyekolahkanku di sekolah mahal.

Tapi dia berubah saat tahu aku sebenarnya adalah anak haram suaminya. Wanita itu marah, selalu memandangku dengan tatapan merendahkan.

Keluarga katanya?! Omong kosong!

***

Kriiing!

Keheningan di kediaman pasangan Prasetyo Abdallah dan istrinya yang bernama Mariana pecah karena dering itu.

Seorang asisten rumah tangga yang biasa dipanggil Bi Ijah, terlihat berjalan mendekati pesawat telepon yang baru saja berdering.

"Halo."

"Halo. Mana Mama?!"

Bi Ijah terperanjat mendengar suara tuan mudanya yang begitu keras, seperti sedang diliputi amarah.

"Sebentar ya, Den."

wanita yang sudah bekerja selama belasan tahun di rumah orang tua Haris itu meneruskan panggilan ke pesawat telepon yang ada di ruang tidur sang empunya rumah.

Mengapa Dia Ayahku?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang