"Bagaimana keadaan Bunda Siska?" tanya Danila.
"Baik, dua hari lalu, aku mengantarnya menemui dokter Fadilah, Bunda sudah bisa menggerakkan kaki dan tangannya," jawab Davina. "Kamu apa kabar?"
"Seperti yang kamu lihat, aku baik-baik saja, Vina."
Danila memang baik-baik saja, setidaknya, dia berusaha keras agar semua baik-baik saja.
Hening menyapa dua wanita yang usianya hanya terpaut dua bulan tersebut. Davina memandangi ikan di dalam akuarium yang ada di hadapannya. Sedangkan Danila memikirkan putrinya, benak wanita itu bertanya-tanya apa yang sedang dilakukan gadis kecil itu bersama ayah kandungnya.
"Kamu pasti membenciku." Suara Davina memecah keheningan.
Danila menatap sang sepupu. "Kamu ingin aku membencimu?" tanyanya.
Davina tidak menjawab, dia tertawa tanpa suara, entah apa yang lucu.
"Aku menemui Dini beberapa hari lalu."
Danila terhenyak, dia tak tahu bahwa mereka bertemu tanpa sepengetahuannya.
"Jangan khawatir ..., kami hanya mengobrol. Dia melukisku. Kalau tidak percaya, lihat saja buku sketsanya, ada gambarku di sana."
Mendengar penjelasan itu, Danila berangsur tenang.
Lalu hening datang kembali. Gemericik air yang tercipta karena filter akuarium mengisi kesunyian di antara keduanya.
"Terima kasih," kata Danila tiba-tiba.
Davina memandang heran sepupunya, sepertinya dia salah dengar. Buat apa Danila berterima kasih? Yang seharusnya diucapkan adalah caci-maki dan hujatan. Itu lebih layak baginya, dia akan menerimanya.
"Terima kasih, karena kamu telepon Rania malam itu."
Malam itu, Rania bisa menyelamatkan Danila dari usahanya menabrakkan diri di jalan raya adalah karena Davina menelepon, dan memintanya memberikan tempat bagi Danila untuk sementara waktu.
"Aku sangat berterima kasih. Bagaimanapun jahatnya dirimu padaku, aku selalu mengingat kejadian malam itu. Sebesar apapun keinginanku untuk membencimu, aku tidak bisa."
Lagi-lagi Davina tertawa tanpa suara.
***
Davina POV
Ini sungguh lucu bukan?!
Saat aku masih di rumah dan merencanakan perjalanan ke tempat ini, aku telah bersiap menerima apapun yang akan diucapkan Danila padaku. Entah itu caci-maki, hujatan, hinaan atau apapun.
Tapi sekarang, yang kudapat justru ucapan terima kasih. Ah! Sungguh, terkadang hidup terasa seperti sebuah komedi.
"Dan terima kasih, karena sudah merawat Bunda Siska dengan baik. Juga, karena sudah menemani ayah dari anak-anakku dalam semua masa sulitnya."
Benar kan?! Apalagi ini?
"Jika kamu bertanya 'apakah aku membencimu?' jawabanku 'ya' aku sempat membencimu. Tapi tak lama, saat melihat anak-anakku lahir, menatap wajah mereka satu persatu, aku selalu teringat padamu. Karena kamu, aku bisa memeluk mereka hingga hari ini.
"Lalu, soal Haris, aku tidak pernah merasa kau merebutnya dariku. Kami berpisah atas keinginannya sendiri. Dia tidak mengatakan apapun saat aku menawarkan perpisahan. Dia melangkah pergi dari sisiku dengan kakinya sendiri. Dia pergi, karena memang ingin pergi. Aku tak bisa menahannya jika ia tak ingin menetap di sisiku."
Danila mengatakan itu dengan suara tertahan, aku tahu perasaannya. Bertahun-tahun ini kami mencintai pria yang sama. Pria yang bahkan tidak peduli pada kisah percintaan, romantisme atau pernikahan. Dia hanya peduli pada karir dan semua pencapaiannya sebagai laki-laki.
"Terima kasih, karena kamu membawanya ke sini menemui anakku. Dini memang sangat ingin bertemu dengan ayahnya."
Gadis kecil itu, ya Tuhan, aku ingin menangis jika mengingatnya. Entah kenapa, setelah bercakap-cakap dengannya dari balik pagar waktu itu, aku merasa semua yang kulakukan salah. Semua yang terjadi, tidak seharusnya.
Dia bilang, dia tidak berharap bisa hidup bersama ayahnya. Tapi justru aku ingin ia hidup bahagia bersama Haris.
Dulu, saat usiaku sedikit lebih tua darinya, aku ingin sekali hidup bersama ayahku. Tapi ayahku justru tidak ingin hidup bersamaku kecuali mengaku diri sebagai anak angkat, bukan anak kandung. Tapi Dini sebaliknya.
***
"Ayah!"
"Ya, Sayang?"
"Ayah!"
"Apa Dini?"
"Ayah! Ayah! Ayah!"
Dini ingin sebanyak mungkin memanggil 'ayah' pada Haris. Itu adalah sesuatu yang sudah lama sekali gadis kecil itu tunggu. Ini adalah jawaban dari doa-doanya.
Ibunya selalu bilang, "Berdoalah, semoga dia hidup bahagia dan selalu baik-baik saja. Berdoalah, semoga Allah membuka jalan bagimu bertemu dengannya dan memanggilnya 'ayah' sesuka hatimu. Doa gadis kecil yang baik sepertimu pasti didengar dan dikabulkan."
"Aku sayang Ayah," kata Dini.
"Ayah juga sayang sama Dini."
Dua insan berbeda usia yang baru saja menemukan satu sama lain itu sejak tadi hanya saling berbalas ungakapan cinta dan sayang. Mereka berpelukan di atas sofa, tak juga beranjak darinya.
***
"Aku mau pulang."
Sungguh, Davina ingin mengucapkan kata ma'af, tapi justru kata-kata itu yang keluar dari mulutnya.
"Aku akan panggil Haris," kata Danila.
"Tidak perlu, aku akan pulang sendiri."
"Tapi kalian datang bersama."
"Ya, memang. Aku sudah berjanji sebelum datang ke tempat ini. Setelah aku mempertemukannya dengan anak-anak kalian, aku tidak akan mengganggunya lagi. Mulai sekarang, kami akan mengurus hidup kami masing-masing."
Davina menghela nafas, lalu sebuah senyum terbit di bibirnya, senyum itu untuk dirinya sendiri, sebagai sinyal yang menandakan bahwa ia baik-baik saja. Keputusannya kali ini memang sudah seharusnya dilakukan.
***
"Dewa di mana?"
"Oh, iya! Ada. Ayo ikut Dini, Yah!"
Dini menarik tangan Haris, membawanya menemui Dewa di tempat tadi ia meninggalkan saudara kembarnya tersebut.
Beberapa menit kemudian, sebuah pintu nampak dalam penglihatan Haris, sepertinya ia dibawa ke sebuah perpustakaan khusus anak-anak, ruangan itu berukuran cukup besar, mainan berwarna-warni terdapat di setiap sudut ruangan itu. Buku-buku cerita dan komik berjejer di beberapa rak yang dicat dengan berbagai warna mencolok.
Seorang anak laki-laki terlihat sedang fokus membaca buku di atas sebuah coffee table, tangan kirinya menumpu wajah, tangan kanannya membolak-balik lembaran buku.
Haris seperti melihat dirinya sendiri. Ibunya punya foto Haris kecil saat sedang dalam aktivitas membaca seperti itu. Rupanya, hobi membaca sejak kecil menurun kepada anak laki-lakinya.
Timbul sebuah rasa dalam hatinya, perasaan yang tidak dikenalnya, Haris bertanya-tanya perasaan apa ini?
Apakah ini perasaan bangga sebagai seorang ayah? Apakah seperti ini perasaan ayah Haris saat melihatnya meraih berbagai macam prestasi dan pencapaian? Ya! Tentu saja, tak salah lagi. Ternyata seperti ini rasanya, sangat menyenangkan.
"Mau ngapain datang ke sini?"
Haris tercengang mendengar pertanyaan dengan nada tak ramah itu, sedangkan di sampingnya, Dini terlihat memandang saudara kembarnya dengan tatapan marah.

KAMU SEDANG MEMBACA
Mengapa Dia Ayahku?
Ficção GeralDanila mendapati anak laki-lakinya diliputi amarah saat mengetahui siapa ayah kandungnya. Apa yang membuatnya marah? Siapa ayah kandung dari anak-anaknya sebenarnya?