Brak!!
Danila mengentikan aktifitasnya di dapur saat mendengar suara pintu ditutup dengan sangat keras.
Terlihat putrinya yang baru saja pulang belajar sedang berdiri di balik pintu dengan nafas terengah-engah.
"Dini, ada apa sayang?"
Danila berlutut di depan gadis kecil itu dan memeluknya erat.
"Kamu kok ketakukan gitu?"
"Takut." Dini memeluk ibunya jauh lebih erat.
"Gak apa-apa. Kamu sudah aman sekarang."
Butuh beberapa menit bagi Dini untuk meredakan rasa takutnya. Danila mengajaknya untuk duduk di sofa, lalu mengambilkan air minum.
"Jadi, ada apa?" Danila bertanya setelah tegukan putrinya selesai.
Dini menghela nafasnya sebelum menjawab pertanyaan sang ibu.
"Tadi, waktu aku mau kasih tahu ayah. Ada orang yang liatin aku, kayaknya dia jahat, aku takut, langsung lari."
"Tunggu! Siapa? Ayah? Ayah siapa?"
Danila tidak mengerti dengan maksud dari perkataan putrinya.
"Iya, Ayah. Ayahku dan Dewa."
Gadis kecil itu mengeluarkan foto pernikahan yang ia ambil dari amplop cokelat di lemari ibunya.
Danila memandang foto itu tak mengerti, ia menatap putrinya lalu menatap foto itu lagi.
"Pak Dokter, Pak Dokter yang mengajar anak-anak itu ayah. Ini, yang ada di foto ini." Dini menunjuk-nunjuk wajah mempelai pria dalam foto pernikahan sang ibu.
Danila tercengang, rasanya ia tak percaya.Tapi, dia tahu bagaimana putrinya itu. Gadis kecilnya memang masih berusia tujuh tahun, tapi tak pernah salah memahami sesuatu. Dia begitu tenang, karena selalu asyik mengamati meski tanpa bicara, dan pengamatannya hampir selalu akurat.
"Yang benar?"
"Benar, Ibu bisa lihat sendiri. Pak dokter masih di sana."
Dini menarik lengan ibunya dan menyeret wanita itu ke pendopo tempat ia biasa belajar dengan dokter Haris.
"Itu dia!"
Dari kejauhan dua perempuan berbeda usia tersebut melihat laki-laki yang sama-sama mereka cintai, dia sedang sibuk membereskan buku-buku.
"Ayo! Kita datangi Ayah!" kata Dini menarik tangan ibunya.
"Tunggu! Sayang, jangan! Di sini aja!"
"Tapi, Bu, Ayah harus tahu kalau Ibu di sini, Dini anaknya dan juga Dewa."
Alih-alih menuruti ajakan sang putri, Danila justru memperhatikan sekeliling, mencari-cari orang yang mencurigakan, saat ini ia merasakan takut yang amat sangat.
"Yang tadi lihatin kamu, ada di mana dia?" tanya Danila.
"Di sana! Di dekat pohon yang ada di belakang pendopo."
"Kita harus pulang, Sayang!"
"Tapi, Bu." Dini merengek menolak permintaan ibunya.
"Enggak! Sayang, Ibu mohon." Danila memohon pada putrinya sambil meneteskan air mata.
Tubuh Dini yang sejak tadi penuh dengan energy dan antusiasme sontak melemah, air mata ibunya adalah kelemahannya.
Gadis kecil itu pasrah saat Danila menyeret tubuhnya untuk kembali ke rumah. Ia menatap nanar ayah kandungnya yang tak pernah menyadari kehadiran mereka. Mungkin, memang tak akan pernah.
***
Kilas balik 18 tahun lalu.
Sebulan beberapa hari Mama meninggal.
"Jadi, sebenarnya bagaimana ini Pa?"
"Enggak tau Ma, Aku juga bingung kenapa jadi kayak gini."
"Terus gimana? Kalau kamu masuk penjara gimana? Aku gak mau, kasian Danila, Pa."
"Mama tenang aja, Aku gak akan tinggal diam. Aku punya bukti-bukti kejahatan mereka, Aku bisa buktikan kalau kita gak bersalah."
Danila terbangun karena mendengar percakapan kedua orang tuanya malam hari itu. Ia tidak mengerti apa yang sedang terjadi, tapi gadis kecil itu merasa sesuatu yang buruk akan terjadi.
Danila memeluk boneka kelinci kesayangannya, dia berharap itu bisa mengusir resah di hatinya, beberapa menit kemudian gadis itu terlelap kembali.
Beberapa hari kemudian, ibunya pamit untuk pergi ke suatu tempat, beliau bilang akan membawa hadiah saat pulang nanti.
Tapi ternyata yang terjadi tidak sesuai dengan apa yang djanjikan.
Kilas balik selesai.
***
Danila menatap foto pernikahannya delapan tahun lalu dengan mata berkaca-kaca.
"Akhirnya kita bertemu lagi, kamu tampak sangat baik."
Dia tersenyum pedih, ujung telunjuknya mengelus wajah tampan yang sangat ia rindukan, beberapa bulir air mata yang jatuh membuat basah gambar diam tersebut.
"Aku gak bisa kayak gini terus, Ma. Ini terlalu berat. Aku ingin kuliah, jadi dokter, ambil spesialis. Maaf, sebenarnya aku gak mau menikah, umurku masih 19 tahun. Aku tahu seharusnya menolak dari awal, aku gak mau buat Mama kecewa. Tapi, Aku punya banyak cita-cita. Mama tau kan?! Kalau kayak gini, sama saja Mama dan Papa menghancurkan masa depanku!"
Haris muda yang waktu itu baru berusia sembilan belas tahun berteriak marah pada ayah dan ibunya.
Akhirnya, dia bisa mengungkapkan isi hati di depan kedua orang yang begitu di hormatinya itu.
"Tapi, Nak. Kamu bisa tetap kuliah, jadi dokter, ambil spesialis, atau apapun yang kamu inginkan, kamu boleh lakukan. Mama gak pernah larang."
Ibu Haris meyakinkan putranya bahwa keputusannya menikahkan Haris dengan Danila adalah keputusan yang tepat.
"Aku jadi terbebani Ma. Aku belum siap jadi suami apalagi ayah. Aku gak bisa meraih semuanya jika beban di pudakku terlalu berat."
Danila tercengang, saat itu secara tak sengaja ia mencuri dengar percakapan suami dan ibu mertuanya di suatu tempat.
Setelah dua bulan pernikahan, ia baru tahu isi hati suaminya yang sebenarnya. Dia sama sekali tidak menyangka. Haris selama ini bersikap begitu baik, laki-laki itu bahkan terlihat seolah-olah sedang jatuh cinta, dan mebuat Danila juga jatuh cinta hanya dalam waktu beberapa bulan.
Tapi, sungguh, mungkin jadinya memang tidak adil.
Haris begitu cemerlang, dia cerdas, bahkan lebih cerdas dari remaja seusianya, Haris tidak belajar di sekolah formal. Dia menghabiskan waktu tiga tahun untuk sekolah dasar. Ia juga menyelesaikan sekolah tingkat pertama pada usia 13 tahun.
Di saat remaja sebayanya masih disibukkan dengan memadu kasih, Haris sibuk dengan belajar dan perkuliahan, dia sedang menempuh studi strata satu kedokteran. Tak lama lagi upacara pemberian gelar dokter akan dilakukan untuknya.
Sedangkan Danila, dia hanya gadis yatim piatu dengan masa lalu suram, pantaslah jika Haris hanya menganggap dirinya sebagai beban.
Bagaimana ini? Apakah sebenarnya pernikahan ini tak seharusnya terjadi? Apakah Danila harus bertahan, berpura-pura tidak tahu dan tidak mengerti yang sedang terjadi?
***
"Ayo! Dini, kita harus pergi, Sayang."
Rania sudah datang bersama beberapa orang yang akan membantu mengangkati barang-barang milik Danila dan anak-anaknya.
"Aku mau ketemu pak Dokter dulu," kata Dini pada ibunya.
"Enggak, Sayang, ibu mohon."
"Aku cuma lihat aja, Bu. Aku janji, gak akan bilang apa-apa."
Danila menghela nafas, tapi dia mengiyakan permintaan anaknya.
Dini berlari menuju puskesmas bagian belakang di mana selalu terdapat dokter Haris di sana, biasanya di jam seperti ini sedang beristirahat siang, dan benar, dia melihat laki-laki itu.
POV Haris
Sepertinya ada seseorang di kaca jendela ruanganku. Ternyata benar, itu gadis kecil favoritku. Dia sedang melambai-lambaikan tangan. Aku membalas lambaian tangannya.
Saat aku berjalan mendekati jendela untuk membukanya lebih lebar, Dini terlihat bertolak dan berjalan menjauh.
Dia menatapku, matanya berkaca-jaca.
"I Love You."
Gadis kecil itu bicara tanpa suara, dia juga membuat ciuman jarak jauh.
Lalu sosoknya tak terlihat lagi, seketika hatiku serasa dihujam belati.
Apa ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengapa Dia Ayahku?
General FictionDanila mendapati anak laki-lakinya diliputi amarah saat mengetahui siapa ayah kandungnya. Apa yang membuatnya marah? Siapa ayah kandung dari anak-anaknya sebenarnya?