Bab 15 (Selesai)

8.7K 300 5
                                    

"Kamu harus salim sama Ayah!"

"Enggak mau!"

"Pokoknya harus!"

Dini menarik tangan Dewa agar ia meraih tangan ayahnya, sejak tadi Haris mengulurkan tangan agar Dewa dapat melakukan cium tangan seperti keinginan saudari kembarnya.

"Kenapa, Sayang? Kok teriak-teriak sih?!"

Danila yang baru saja masuk merasa heran, suara teriakan anak-anaknya terdengar sampai lorong.

"Aku suruh Dewa salim sama Ayah, tapi gak mau! Dasar gak sopan!" kata Dini.

"Aku kan udah bilang gak mau, tapi dipaksa," balas Dewa.

"Tapi ini kan Ayah kamu juga!"

"Gak! Dia bukan ayahku!"

"Sudah! Stop! Jangan ada yang teriak lagi!" Danila mencoba menengahi pertengkaran itu.

Mendengar kata-kata Dewa yang barusan, Haris merasa hatinya seperti diiris sembilu. Kenapa ini begitu sakit?

Danila berjongkok agar dia dapat bicara dengan Dini dalam posisi sejajar. Dia mengelus pipi kecil sang putri.

"Sayang, kasih Dewa waktu ya, Nak. Nanti, ada saatnya Dewa mau bicara dan salim sama Ayah. Bisa, kan? Oke!"

Dini tidak menjawab, tapi Danila tahu, putrinya itu mengerti maksud perkataannya.

Tiba-tiba Dewa bangun dari tempatnya duduk, dia berjalan ke arah pintu.

"Mau kemana, Sayang?" Danila bertanya, tapi tak ada jawaban.

Wanta itu merasa tidak enak, "Maaf," katanya pada Haris, lalu dia pergi dari ruangan itu menyusul anak laki-lakinya.

Haris menatap kepergian keduanya dengan perasaan perih. Tapi beruntungnya, ada Dini yang mau  memperlihatkan hasil lukisannya dengan sangat antusias, dia sudah cukup merasa bahagia.

***

"Jangan terlalu galak sama Ayah," kata Danila.

Dewa dan ibunya sedang berada di kamar mereka sekarang. Lelaki kecil itu masih murung, bibirnya cemberut.

"Ibu tahu, Dewa kecewa sama Ayah."

Danila memeluk putranya yang masih diliputi amarah.

"Kalau mau marah, harusnya Dewa marah sama Ibu. Ayah baru tahu soal kalian sekarang, itu karena Ibu gak kasih tahu sejak dulu. Ayah memang gak dikasih tahu waktu Ibu melahirkan kalian."

Dewa masih diam, tapi ia mendengarkan semua perkataan Danila. Sebenarnya, anak laki-laki itu juga tahu dan mengerti tentang alasan ketidaktahuan ayahnya. Tapi, tetap saja, ada perasaan marah dan juga kecewa yang tidak bisa ia hilangkan.

***

"Davina sudah pulang."

"Iya, aku tahu. Dia barusan kirim pesan."

Hari sudah malam, Dini dan Dewa sudah tidur. Haris sedang berdiri di depan kamar yang selama ini menjadi tempat istirahat Danila dan anak-anaknya setiap malam. Di sampingnya, sang mantan istri sedang berdiri mematung.

Mereka berdua sama-sama merasa canggung.

"Maaf." - "Aku."

Tiba-tiba keduanya bersuara secara bersamaan.

"Kamu duluan aja!" Lagi-lagi mereka bicara dalam waktu yang sama.

"Ehhemm." Haris berdehem, ia berusaha keras menetralisir perasaan canggungnya.

Mengapa Dia Ayahku?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang