Bab 12

4.4K 272 1
                                    

Danila POV

Memisahkan anak-anakku dengan ayah kandungnya bukanlah keputusan mudah.

Tentu aku ingin mereka saling mengenal dan hidup berdampingan dengan bahagia. Tapi, jika mengingat alasan pernikahanku dan Haris, dan juga alasan kami berpisah, mungkin orang akan mengerti.

Waktu itu aku benar-benar merasa bersalah pada Haris. Dia menikahiku karena terpaksa, dia harus memikul beban sebagai suami dari wanita sepertiku, padahal dia memiliki kecerdasan luar biasa, Haris sangat bersemangat meraih semua mimpi-mimpinya, dia juga memiliki sahabat yang selalu mendukung.

 Lalu, aku datang tanpa diundang, menjadi beban dan juga penghalang.

Aku tidak mungkin memaksanya untuk tetap di sisiku, sementara dia tertekan dan tidak bahagia. Sungguh, lebih menyakitkan melihat orang kau cintai menderita karena terpaksa hidup di sisimu, dibandingkan melihatnya bahagia saat bersama orang lain.

Sejak hari itu aku mengerti, mencintai artinya melepaskan, membiarkan orang kau cintai melakukan apapun apa yang membuatnya bahagia. Bagimu, dapat melihat ia tersenyum bahagia dan dalam keadaan baik-baik saja itu sudah cukup.

Kilas balik.

"Jangan seperti ini, Nak. Nanti Mama bicara dengan Haris, dia pasti akan kembali lagi."

Waktu itu Mama Mariana mencegahku saat hendak melayangkan gugatan cerai ke pengadilan agama.

"Maaf, Ma. Keputusan Nila sudah bulat, ini juga keinginan Haris. Dia berhak menentukan hidupnya sendiri, Ma. Kalau dipaksa-paksa kayak gini, kasihan Haris, Ma."

Setelah itu aku meninggalkan rumah mereka, diiringi isak tangis wanita yang selama dua bulan menjadi ibu mertuaku. Sungguh, aku tahu ia tulus menyayangiku seperti putrinya sendiri. Penerimaan dan perhatian yang beliau berikan  memberiku kebahagiaan yang teramat besar.

Tapi, di sisi lain ternyata ia tanpa sengaja membuat putra kandungnya sendiri menderita. Bukankah itu jadi tidak adil?

Aku memutuskan untuk kembali ke rumah Bunda Siska. Tapi, ternyata tetap tidak dibukakan pintu. Aku menelepon Davina, dia bilang aku boleh kembali ke rumah itu jika aku meninggalkan Haris.

"Maaf, aku tidak bisa memenuhi janjiku," katanya.

"Kenapa? Kamu sudah janji, Vin."

"Ini bukan keinginanku. Papa, dia tidak mau kau kembali ke rumah ini."

Laki-laki itu lagi! Dia sudah membuatku menjadi yatim piatu, sekarang dia mencoba menjadikanku gelandangan.

Aku merasa tidak berdaya sekarang. Bagaimana aku harus meneruskan hidupku sekarang? Apa boleh aku mati saja?

Aku sedang di pinggir jalan, mobil lalu lalang dengan kencang di hadapanku, haruskah aku menabrakkan diriku?

"Nila!"

Seseorang menarik tanganku, dan membuatku terjatuh menimpanya.

"Kamu mau bunuh diri?"

Itu suara Rania, sahabat baikku. Dia datang menyelamatkanku rupanya.

"Kenapa kamu kayak gini sih?! Kamu gak sendirian. Kamu punya aku, Nila."

Rania menangis, dia menangisi diriku, kenapa? Aku bahkan tak menangis sama sekali. Memang apa gunanya? Apa semuanya akan berubah?

Jika aku menangis, apakah Haris akan kembali padaku? Apakah semua keinginanku terkabul? Apakah ayah dan ibuku akan kembali hidup?

"Ayo! Ikut denganku, mulai sekarang, kamu akan tinggal denganku. Aku akan mengurusmu, Nila. Dan jangan coba-coba melakukan hal konyol lagi!"

Rania membawaku ke apartemennya. Dia tinggal bersama adik laki-lakinya di sana.

"Untung aku tepat waktu. Davina telepon, katanya kamu butuh tempat tinggal. Dia minta aku jemput kamu di jalan. Awalnya aku bingung di mana harus jemput kamu, jadi aku jalan aja ke arah rumah Bunda Siska. Gak nyangka nemuin kamu mau nabrakkin diri di jalan."

Rania memelukku, dia masih menangis. "Kalau mau nangis, nangis aja, Sayang. Jangan ditahan, kamu harus keluarin semuanya," katanya.

Dia mengusap-usap punggungku dan membisikan kata-kata yang mungkin dimaksudkan untuk menghibur diriku.

Beberapa hari kemudian.

"Hoek! Hoek!"

Lagi-lagi aku merasakan mual yang hebat dan berakhir muntah di kamar mandi. Sudah beberapa hari aku tidak bisa memakan apapun. Setiap ada sesuatu masuk ke perutku, pasti keluar lagi.

"Menurutku kamu hamil."

Aku yang sedang berjongkok menekuri toilet mendongak mendengar perkataan Rania.

"Aku yakin. Nanti kita beli tespack. Kamu harus tes, pasti hasilnya positif."

Dan benar, aku hamil.

"Hahahaha."

Sungguh ini teramat lucu.

Apa ini? Apa hidupku ini sebuah lelucon? Apa Tuhan sedang bercanda denganku? Aku baru saja meninggalkan suamiku, lalu sekarang aku hamil?

Rania mengelus dadanya karena melihatku tiba-tiba tertawa, aku sedang menertawakan hidupku sendiri.

"Kamu akan baik-baik aja, Nila. Aku akan selalu ada buat kamu, aku janji."

Dia mengambil telepon genggamnya, mencari-cari sebuah nomor, hendak menelepon seseorang.

"Kamu mau telepon siapa?" tanyaku.

"Haris, dia harus tahu kalau kamu hamil," jawabnya.

"Jangan!" kataku.

"Kenapa?"

"Pokoknya jangan!"

Rania memandang tak mengerti, di raut wajahnya tersirat sebuah tanya, kenapa?

"Punya istri aja, dia sudah merasa terbebani, gimana mau punya anak?!"

"Tapi, dia ayah anakmu, dia harus tahu. Dia berhak tahu, Nila."

"Nanti aja. Lagi pula, ada Davina. Dia cinta mati sama Haris, aku sudah janji tinggalin dia untuk Davina."

"Kalau masalahnya Davina, biar aku yang urus," kata Rania.

Beberapa menit kemudian,

"Jangan! Jangan sampai Haris tahu kamu hamil. Kamu pasti bohong kan?! Ini cuma alasan supanya kamu bisa balik sama dia, iya kan?!"

Rania berang dengan tuduhan Davina, dia mencoba untuk membelaku, tapi aku melarangnya, tidak ada gunanya. Tidak akan merubah apapun.

"Awas saja, kalau sampai kamu kembali pada Haris, aku tidak akan segan-segan Danila. Dia sangat mempercayaiku, kau tahu bukan?! Dan ingat satu lagi, Bunda Siska ada di sini bersamaku, kamu gak mau sesuatu yang buruk terjadi padanya bukan?!"

"Jangan lakukan apapun pada Bunda Siska!" kataku geram.

"Aku janji, tidak akan melakukan apapun padanya, aku akan merawatnya dengan baik, aku akan memperlakukannya seperti ibuku sendiri, dengan syarat, kamu tidak kembali pada Haris!"

Dan begitulah semua yang terjadi.

Mengapa Dia Ayahku?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang