Part 14. Kawin

1.8K 237 35
                                    

Bukankah perasaan kita sama?
Lalu, kenapa Tuhan membedakan agama kita?

***

"Kamu sudah kasih tau ke Ayah kamu?" tanya Bunda saat Darren dan Yara datang setelah pulang dari rumah sakit.

Kandungan Yara sehat, tidak ada masalah apapun. Hanya Yara di suruh untuk menaikkan porsi makannya, jangan meninggalkan sarapan walaupun rasanya Yara ingin muntah saat pagi hari.

"Yara ga tau mau kasih taunya gimana, Bund." jawab Yara, dia meremas rok seragamnya sendiri.

"Sulit sih pasti," gumam Bunda pelan. "Kasih tau pelan-pelan gimana?"

Kepala Yara menggeleng pelan, "Papa lagi sakit. Yara ga tega kasih taunya walaupun pelan-pelan."

Bunda menghela napas, dia tidak bisa membiarkan Yara terus sendiri di saat gadis itu tengah hamil. Bunda tau, Yara pasti kesulitan mengurus dirinya sendiri di pagi hari di tambah dia juga harus mengurus Ayahnya yang tengah sakit.

"Gimana kalo kita lamar kamu aja?"

Perkataan Ayah Darren membuat semua krang langsung menatapnya. Tak terkecuali Yara yang menatap Ayah Darren dengan tatapan tidak percaya. Sungguh, kenapa Ayah Darren bisa berbicara sesantai itu?

"Tapi–"

"Gimana kalo kita coba aja dulu?" Ayah memotong, dia menatap putra sulungnya yang terdiam dengan tatapan tak percayanya.

"Ayah yakin? Kita 'beda' loh," ujar Darren sambil memberikan tanda petik saat dia mengatakan kata beda.

"Kita belum coba loh, Ren. Tapi Ayah yakin sih, Papanya Yara pasti baik." Ayah menjawab, dia menyenderkan punggungnya ke sandaran sofa.

"Bunda setuju sih," Bunda melanjutkan. "Yara, nanti kabarin kalo Papa kamu udah sembuh."

Mau tak mau, Yara mengangguk walaupun pelan. Dia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Yara tidak bisa membayangkan bagaimana ekspresi Papanya nanti.

*

*

*

"Pa, Yara hamil. Maafin Yara karena ga bisa jaga diri. Maafin Yara karena udah kecewain Papa. Maafin Yara karena hamil di luar nikah. Yara tau Papa kecewa. Yara juga ga tau bisa gini."

"Papa tau, ga papa kok. Kamu juga udah besar, pasti udah tau kayak gitu. Papa ga marah kok."

Plak!

"Kok mukul?" tanya Darren sambil memegangi bahunya yang baru saja terkena pukulan dari Yara.

Yara mendengus, dia menatap sinis Darren. "Papa gue ga bakalan ngomong gitu, Darren. Pinter dikit kek."

"Kan tadi bilang ke gue mau latihan dulu. Ya udah gue praktekin yang bakalan gue omongin ke anak gue nanti." jawab Darren santai yang lagi-lagi mendapatkan pukulan di kepala bagian belakangnya. "Kenapa mukul lagi?"

POSSESSIVE SENIOR (✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang