Malam itu harusnya Ibnu bisa terlelap dengan damai. Tapi nyatanya, Ibnu sama sekali tidak bisa tidur. Ia terlalu sibuk memikirkan Galuh yang keluar-masuk dari kamar mandi.
Tubuh lemas itu terduduk di depan kloset sebelum akhirnya Ibnu memutuskan untuk menggendongnya sampai ke tempat tidur.
"Lagian lo bandel sih, di suruh sama Bunda makan tepat waktu, biar nggak kayak gini akibatnya. Udah tahu punya magg, udah tahu nggak bisa telat makan, pake acara ngambek segala," tutur Ibnu. Cowok itu sudah duduk di sebelah adiknya usai mengambil obat dan segelas air yang ada di atas nakas dekat dengan Ibnu.
Galuh menoleh ke arah Ibnu yang sudah siap memejamkan matanya. Anak itu memilih untuk bersandar sedikit lebih lama, agar rasa mualnya benar-benar hilamg.
"Bang Nu nggak marah sama gue, kan?" tanya Galuh tiba-tiba. Mendengar lirih suara Galuh, membuat Ibnu kembali mengurungkan niatnya untuk tidur. Cowok itu justru ikut bersandar di sebelah adiknya. Tangan besar Ibnu menarik tubuh Galuh sedikit mendekat, agar ia bisa merangkul adiknya untuk memberi rasa nyaman.
Belum ada lima menit, Galuh mulai memejamkan matanya dengan kepala yang sudah bersandar nyaman di dada bidang Ibnu.
"Dengerin gue. Sekesal apa pun gue, gue tetap Abang lo, orang yang akan selalu ada buat jagain adiknya. Sorry, kalau tadi sore gue udah buat lo kesal. Gue nggak bisa marah sama lo lama-lama, lagian gue bukan marah sama lo, kok. Mungkin ada kata-kata gue yang nggak enak, jangan diambil hati, ya?
Panjang ucapan Ibnu tak berarti apa-apa. Karena dalam peluknya Galuh sudah benar-benar terlelap. Selimut yang hanya menutupi bagian kaki Galuh, susah payah Ibnu menariknya hanya dengan satu tangan, agar adiknya tidak merasa kedinginan.
Lembut perlakuan yang Ibnu perlihatkan, membuat Fariz yang mengintip sejak tadi hanya diam mematung di tempatnya, tepat di depan pintu kamar Galuh.
"Konyol."
Langit memang gelap, tapi di depan sana Fariz melihat cahaya yang bersinar dengan terang. Sudut bibir Fariz terangkat, menangkap manisnya pemandangan yang ia lihat di depan sana. Galuh benar, semua hal yang sudah ada di depan mata, harusnya dijaga, bukan dilupakan atau dibuang seperti sampah.
Sekali lagi, Fariz bersyukur karena Tuhan telah menghadirkan Galuh ditengah-tengah dinginnya sikap Fariz pada Ibnu. Bahkan, langkah kaki Fariz saja terasa lebih ringan jika kedua adiknya sedang berdamai.
Perlahan ingatan Fariz melintas begitu saja, ia ingat dengan seseorang sebelum pertandingannya berakhir kala itu.
"Namanya Ananda, dia anak bungsu Regi, kalau perlu kalian jangan biarin dia lolos."
Kalimat yang tidak sengaja ia dengar saat melintas melewati ruangan ganti. Di sana ada dua orang pria yang mengenakan pakaian serba hitam. Kecurigaan Fariz saat itu hanya sebatas ingin tahu, tapi siapa sangka, beberapa minggu setelahnya. Ia mendapat kabar kalau Ibnu di sekap.
Amarah Fariz memuncak, ketika tahu siapa yang ada di dalam gedung tua. Fariz sengaja mengikuti mobil kijang berwarna hiyam yang masuk melewati sebuah gang kecil. Bahkan itu kali pertamanya ia membolos. Besi berjalan berwarna hitam yang ia kendarai pun ikut berhenti, setelah beberapa pria besar masuk dengan seseorang yang terus meronta di sana.
"Buka penutup kepalanya!"
Perintah itu segera terpenuhi, terlihat jelas wajah Ibnu yang ada di sana. Bahkan raut wajah lelaki yang sempat disebut sebagai Bos itu pun berubah. Tangannya terkepal, terlihat dengan jelas kalau lelaki itu marah pada anak buahnya.
"Ini bukan Galuh! Dia Garuda, kalian gimana sih?!"
"Anak itu berhasil lolos, karena dia."
Lelaki itu membelalakan kedua matanya, kemudian berjongkok di hadapan Ibnu yang sudah bersimpuh di depannya. Tangan kasar itu memegang dagu Ibnu sampai si pemilik menddcih.
![](https://img.wattpad.com/cover/245551073-288-k342156.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
GALUH 2✓ (REVISI)
Teen FictionBukan Sekuel! Hanya sejarah sederhana tentang dia dan kisahnya. . . . Ibnu hanya perlu waktu untuk memberikan kekuatan pada dirinya sendiri. Bukan berarti dia melupakan satu dari ribuan mimpi yang dianggap adalah nyata. Bukan hanya itu, dia juga h...