Katanya langit biru akan tetap biru, walau kelabu akan datang tanpa diundang. Katanya, hamparan putih di atas sana adalah awan yang ikut bergerak. Nyatanya, langit dan awan akan tetap di sana, tidak bergerak ke manapun. Seperti tenangnya air laut jika ombak tidak mengganggu. Seperti batu karang yang yang diam membisu terkena debur ombak, bila laut pasang. Namun Galuh akan tetap berdiri tegak meski rapuh. Dirinya akan tetap setenang air laut, meski debur ombak yang riuh menyisir tepi pantai."Bun, Abang mana?" Kata yang terlontar sejak ia sadar beberapa menit lalu. Dari sekian orang yang dilihatnya, hanya satu yang selalu ia tanyakan kabarnya, yaitu Ibnu.
"Bang Fariz?" Anak itu menggeleng lemah, kelopak matanya perlahan mulai menghitam, bibirnya pun tetap dalam warna yang sama, pasi begitu juga dengan wajahnya.
"Abang, Bun. Bang Nu, ke mana?" tanyanya lagi. Kali ini Kamila tidak menyahut, melainkan mengusap punggung tangan putranya begitu lembut. Wanita itu tampak sesak kalau mengingat tadi Ibnu pergi dalam keadaan kesal pada Regi. Bahkan pamit pun tidak. Ibnu tidak ingin mengajarkan hal buruk pada Galuh, bersikap tidak sopan pada orang tua. Hanya saja, ia takut kalau emosinya memuncak lalu melukao hati sang Bunda lebih dalam.
"Ibnu sekolah, Sayang, tumben nanyain Ibnu. Biasanya yang ditanya duluan Fariz," kata Bunda. Galuh tersenyum cukup lebar, dengan deretan gigi putih yang tampak rapi.
"Abang kok gitu, sih? Masa Aku di tinggal, Bun? Nggak asik banget deh," gerutunya. Kamila benar-benar terhibur bila mendengar gerutu yang begitu menggelitik dipendengannya. Apalagi melihat raut wajah Galuh dengan bibir mengerucut sebal.
"Masih ada besok, hari ini 'kan ada jadwal cek up, hayo... lupa, ya?" Peringat Kamila, Galuh benar-benar bosan bisa berlama-lama di ruangan sempit dengan selang-selang yang menempel di lengannya. Terakhir kali ia melakukannya, kira-kira bulan lalu, karena dirinya pernah menolak untuk tidak cek up.
"Nggak Bun, aku cuma mikir kenapa belakangan aku tuh kerasa capek banget, malah baru duduk sebentar rasanya tuh kayak sakit, apa aku kurang minum kali, ya?"
"Lo itu kebanyakan konsumsi cokelat, makanya masih muda udah rentan. Kurangin yang manis-manis. Sumbangin kalau perlu!"
Galuh dan Kamila pun menoleh, mereka melihat sosok yang baru saja berkomentar atas ucapan Galuh yang begitu membosankan.
"Mulut tuh di filter Bang, kayak sendirinya dermawan aja! Pergi lo!"
"Kamu nggak kuliah Riz?"
Dengan cepat Kamila melerai perdebatan kecil yang hampir saja membuatnya pusing. Untung saja Galuh langsung diam ketika lengannya diusap hangat oleh sang Bunda, jika tidak, anak itu mungkin sudah melemparkan bantal guling ke arah Fariz.
"Nanti, Bun."
"Kalau gitu temenin Galuh sebentar, ya, mau? Bunda mau ke kantor Papa sebentar," ucap Kamila. Fariz hanya mengangguk tak bergerak sedikit pun dari tempatnya berdiri. Sudah berulang kali Kamila menghela napas, ia tak tahu harus berbicara dengan sikap seperti apa pada Fariz. Putra sulungnya sama sekali tidak memberi akses, setidaknya senyum meski setipis kertas. Kamila tidak mengerti bagaimana Fariz kecil dulu mengatakan hal yang sampai detik ini terus tengiang di telinganya.
"Aku ndak mau punya dedek bayi, Bunda! Aku ndak mau!"
Kamila masih mengingatnya, Kamila masih menyimpan foto-foto kecilnya, bahkan ketika Regi mencoba mendekatkan Ibnu dalam pangkuan Fariz. Dan ada juga foto Regi yang tengah duduk memangku keduanya. Semua terekam manis dalam sebuah album foto yang disimpan rapi dalam lemari kecil di kamar Galuh.
"Aku sendirian di rumah juga nggak apa-apa," kata Galuh. Fariz yang sedari tadi berdiri pun melangkah masuk ke dalam kamar, setelahnya menarik kursi belajar milik Galuh untuk ia duduk.
KAMU SEDANG MEMBACA
GALUH 2✓ (REVISI)
Teen FictionBukan Sekuel! Hanya sejarah sederhana tentang dia dan kisahnya. . . . Ibnu hanya perlu waktu untuk memberikan kekuatan pada dirinya sendiri. Bukan berarti dia melupakan satu dari ribuan mimpi yang dianggap adalah nyata. Bukan hanya itu, dia juga h...