Satu hari tanpa masalah rasanya mustahil untuk hidup tenang. Semua pikirannya akan terus mengingat situasi yang selalu mencekam, bahkan saat ia baru saja sampai di lobi pun, Fariz hanya berdeham menjawab semua pertanyaan Ibnu yang tak berguna.
Memapah tubuh Ibnu yang terbilamg berat sedikit membuat Fariz menggerutu, selain berisik Ibnu malah terkekeh, untung tidak dilempar begitu saja, jika tidak mungkin Fariz sudah mendorongnya tanpa perasaan sejak tadi.
"Berisik!"
"Kalau nggak berisik nanti lo kangen, bisa repot urusannya, Bang!"
"Gue peduli?"
"Harus, lo Abang gue, masa mau kayak Emak tiri, nggak asik dong," sahut Ibnu. Fariz sudah kesal sejak ia datang membantunya, bahkan sampai ia menunggu Irgi selesai, Ibnu tak berhenti berbicara.
"Galuh gimana? Bang Restu udah kasih kabar lagi?"
Pertanyaan itu membuat Fariz mendesah kasar, ia pun menunduk dengan kedua tangan yang saling bertautan dengan tatap tajam ke depan. Ibnu bisa melihat kecemasan di wajah Fariz yang tidak biasa, seperti ada sesuatu yang coba Fariz sembunyikan darinya, mungkinkah Galuh kembali masuk rumah sakit?
Semua pikiran Ibnu selalu tertuju pada selang-selang jahat yang membuat adiknya kesakitan setiap kali petugas medis menanganinya.
"Galuh aman, pikirin diri lo sekarang kayak apa, kalau dia lihat bisa ngamuk lagi."
Ibnu mengerjap, ia juga mencondongkan tubuhnya sedikit mendekat ke arah Fariz, untuk yang kesekian, tanpa diduga sama sekali, diam-diam Fariz peduli padanya, namun caranya selalu menyebalkan, itulah kenyataannya.
"Cie perhatian, cie...."
Baru beberapa detik, tapi Fariz sudah kembali dalam dunianya, Fariz yang kesal memilih bangkit, membiarkan Ibnu kesulitan untuk menyusulnya. Meski kursi tunggu di lobi tidak terlalu ramai, tali Ibnu tidak suka ditinggal sendirian, terlebih saat ini ia sangat menikmati moment bersama Fariz yang terbilang sangat langka. Sebisa mungkin Ibnu berusaha untuk mendekatkan dirinya pada Fariz, meski ia tahu setelahnya Fariz akan menolak keberadaannya.
"Lo mau ke mana?" tanya Ibnu, sebelah tangannya lebih dulu menahan tangan Fariz, saat Fariz akan melangkah pergi. Fariz menatap tangan Ibnu, dengan cepat Ibnu mengulurnya. Di sana Ibnu hanya terdiam, membiarkan Fariz melanjutkan langkahnya.
"Masih ada gue kok, Nu," sahut Arvy yang tiba-tiba muncul di sebelahnya. Ibnu menoleh, lalu terkekeh hambar.
"Lo bener Vy, dia nggak mungkin bisa duduk lama bareng gue, dia itu kutub, hatinya beku, ngomong aja irit, gimana mau jadi Walikota, muka aja sok ganas kayak macan, kesel!" Arvy tertawa, ia melihat Ibnu yang selalu kesal dengan sikap Fariz, bahkan Ibnu memaki Arvy karena tidak peka padanya.
"Lo temen gue bukan? Bantuin dong, sakit nih!"
Arvy hanya mengangguk, namun Ibnu tidak menyadari kalau sebenarnya Fariz masih di sana menyaksikan hal yang sama seperti sebelumnya. Bahkan Fariz sempat mengerjap berkali-kali kemudian melihat di sekitar, di sana tidak ada siapa pun, hanya Ibnu dengan sikap anehnya.
"Gue rasa lo tungguin Bang Fariz aja dulu, kayaknya dia cuma pergi sebentar deh," saran Arvy, Ibnu meliriknya, kemudian mengangguk setuju, mungkin apa yang Arvy katakan ada benarnya untuk saat ini, ia pun kembali duduk membiarkan matanya terpejam ketika rasa kantuk itu datang. Bahkan tubuhnya sudah ikut bersandar pada punggung kursi.
Jika saja Fariz bisa meredam emosinya, mungkin saat ini ia masih berada di sebelah Ibnu, menatapnua dari dekat saat cowok itu mulai terlelap.
⌛⌛
![](https://img.wattpad.com/cover/245551073-288-k342156.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
GALUH 2✓ (REVISI)
Novela JuvenilBukan Sekuel! Hanya sejarah sederhana tentang dia dan kisahnya. . . . Ibnu hanya perlu waktu untuk memberikan kekuatan pada dirinya sendiri. Bukan berarti dia melupakan satu dari ribuan mimpi yang dianggap adalah nyata. Bukan hanya itu, dia juga h...