Hampir setiap hari keadaan rumah kian membaik, bahkan kondisi Galuh sudah jauh lebih baik, bahkan tak lagi menolak untuk melakukan transfusi darah. Setidaknya kurang lebih selama satu semester Galuh telah melewatinya dengan baik. Meski ia harus izin tidak masuk sekolah beberapa kali.
Galuh, tetaplah Galuh. Tidak akan pernah bisa menjadi orang lain. Bahkan saat rasa malasnya muncul, anak itu benar-benarmerengek untuk tidak melakukan transfusi darah. Walau pada akhirnya Galuh akan merintih kesakitan nantinya. Kamila bisa apa? Ia hanya tak mau dikatakan sebagai Ibu kejam, tapi melihat putranya kesakitan, Kamila tidak bisa melakukan apa-apa selain membujuknya untuk ke rumah sakit.
"Bun, kali ini aja, boleh, ya?"
"Sayang, kamu udah bolos ke Om Surya, masa mau bolos lagi? Inget, bentar lagi kamu mau ujian, kondisi kamu harus bener-bener sehat, katanya mau liburan?"
Kamila bisa melihat senyum masam dengan bibir yang mengerucut bagai bebek. Galuh tidak suka kalau harus membatalkan liburannya. Ia hanya bosan berbaring cukup lama dengan selang yang menempel sebagai temannya selama berjam-jam.
"Bunda sih nggak mau maksa, ya, itu mah terserah kamu. Kalau kamu nurut, liburan bakal jadi, tapi kalau kamunya males, Bunda nggak janji," ucap Kamila lalu berdiri sebelum akhirnya Galuh kembali menarik lengan Bundanya sambil memelas ddngan wajah menggemaskannya.
"Oke, aku nurut. Terkahir, ya? Besok-besok nggak lagi, capek Bun," gumam Galuh pelan.
Kamila pun menangkup kedua pipi putra bungsunya, setelahnya membawa Galuh dalam peluknya.
"Maaf, kalau Bunda sama Papa buat kamu capek, Bunda sama Papa sayang sama kamu, mau kamu selalu sehat, maafin Bunda, ya?"
"Kue cokelat, tapi cuma buat aku, jangan kasih Bang Nu, dia rakus!"
Kamila terkekeh saat putra bungsunya mulai merajuk. Ia tahu kalau Galuh sangat suka dan cinta dengan makanan berbau cokelat. Galuh sangat terobsesi dengan cokelat, bahkan Galuh selalu meminta Regi untuk membangun perusahaan cokelat saja daripada perusahaannya yang sekarang. Celetuk itu berhasil membuat Regi tertawa puas, bahkan tak percaya dengan ucapan Galuh yang begitu terobsesi dengan cokelat.
"Bun, tuh, kan! Bunda suka ngelamun, malesin banget sih."
Kamila tersenyum lalu mengusap wajah putranya dengan lembut. Di sela obrolan santainya, tiba-tiba Ibnu datang dengan wajah khas bangun tidurnya. Cowok itu berjalan mendekati Galuh yang sejak tadi bersandar manis di bahu Bunda. Mereka menikmati camilan Buatan Bunda yang tinggal setengah sambil menonton animasi favorit Galuh tentunya.
Kebetulan hari ini, hari weekend, sudah pasti penghuni kediaman Regi akan menghabiskan waktu lebih banyak di rumah. Beberapa waktu lalu Restu telah menceritakan semuanya pada Fariz mengenai Galuh yang pingsan tiba-tiba. Sepanjang jalan Fariz benar-benar bungkam selain Ibnu yang tertidur pulas dengan jejak lukanya, dia juga melihat Galuh dengan wajah pucatnya. Sungguh, rasa kesal seperti mencabik hatinya yang kini semakin kesal dengan Rakiel.
"Abang ke mana Bun?"
Kamila menoleh, melihat Ibnu yang tak mau kalah dari adiknya. Cowok itu ikut duduk dan bersandar pada sofa tepat di sebelah Galuh.
"Katanya ke rumah Restu, kenapa? Tumben kamu nanya Fariz?"
"Kangen aja. Oh, ya Bun, hari ini Papa nggak ada rencana mau jalan keluar, kan?" Kamila menggeleng, lalu mengusap lengan Galuh yang sudah memeluk Bundanya dari samping.
"Nggak ada kayaknya, ada apa nanya Papa segala? Bunda curiga kamu mau buat yang aneh-aneh pasti, iya, kan?" Selidik kamila. Ibnu terkekeh, kemudian bangkit dan mendekat ke arah Kamila.
KAMU SEDANG MEMBACA
GALUH 2✓ (REVISI)
Teen FictionBukan Sekuel! Hanya sejarah sederhana tentang dia dan kisahnya. . . . Ibnu hanya perlu waktu untuk memberikan kekuatan pada dirinya sendiri. Bukan berarti dia melupakan satu dari ribuan mimpi yang dianggap adalah nyata. Bukan hanya itu, dia juga h...