Sore sudah berlalu beberapa menit setelah hujan reda. Galuh tetap meminta Ibnu mengantarkannya ke padang ilalang, karena Ibnu sudah berjanji sebelumnya. Ibnu tidak lupa, tapi keadaan saat itu sebelumnya hujan, jalan menuju ke sana pasti sangat licin. Ibnu tidak mau ambil resiko jika terjadi sesuatu nanti.
Namun, usaha Ibnu membujuk adiknya selalu berakhir sia-sia. Ibnu lupa tentang moto Galuh yang selalu meresahkan kepalanya. Jika ia sudah meminta tidak dapat di tolak atau dibantah. Semuanya adalah mutlak. Lagi pula semua yang Galuh minta bukan kesalahan anak itu. Melainkan Ibnu sendiri yang sudah berjanji pada Galuh akan mengajaknya pergi. Jangan salahkan Galuh kalau sepanjang jalan ia akan mengumpat habis-habisan pada Ibnu.
"Kita pulang aja Luh, jalanan ke sana itu licin, bisa bahaya kalau kita maksa jalan."
Galuh sudah bersumpah sejak mereka keluar dari toko cokelat, anak itu tidak akan berbicara selain menagih janji Ibnu. Bahkan, baru beberapa meter jalan, hujan kembali turun jauh lebih deras dari sebelumnya. Kalau saja mereka bisa pulang tanpa berdebat dulu, mungkin saat ini sudah sampai di rumah.
Cukup lama mereka berteduh di sebuah halte bus, hingga membiarkan semilir angin dingin menusuk sampai ke tulang. Galuh sudah menggigil kedinginan karena pakaian yang dikenakannya sudah basah saat di jalan.
"Bibir lo biru, Luh."
"Gue mau ke padang ilalang pokoknya!"
"Besok, gue anter. Sekarang kita pulang dulu, badan lo udah menggigil begini."
Galuh hanya bisa diam, ia tak kuat menahan rasa dingin di tubuhnya. Bahkan Ibnu yang sudah merangkukulnya dengan erat saja, anak itu tetap tak dapat hangat yang Ibnu salurkan.
"Abang..." panggil Galuh, suaranya mulai melemah, matanya juga sudah mulai sayu, ia sudah tak lagi bisa menahan bobot tubuhnya sendiri. Perlahan tubuhnya meluruh, membuat Ibnu tersentak saat adiknya hampir saja terjatuh bersama-sama karena Ibnu belum siap.
"Gue di sini, gue di sini. Tahan sedikit kita pulang sekarang, gue udah minta tolong Genta jemput kita di sini. Oke?"
Ibnu semakin bersalah kalau sudah melihat Galuh lemah di hadapannya. Untung saja di halte bus tempat mereka berteduh, tak banyak pasang mata yang menatap ke arah mereka, jika tidak mungkin Ibnu sudah di sangka penculik adik sendiri. Sebisa mungkin Ibnu memeluk Galuh sambil mengusap-usap tubuh adiknya.
"Bang Fariz nggak bisa jemput?" tanya Galuh tiba-tiba. Ibnu sedikit menunduk, kemudian mengusap pipi adiknya dengan lembut. Ia bisa melihat bibir gemetar yang sudah membiru itu terus bergumam tak jelas.
"Fariz masih ada kelas, nggak apa-apa, 'kan?" ucap Ibnu, Galuh mengangguk, ia mengerti maksud ucapan Ibnu yang terdengar pelan adalah kebohongan kalau sebenarnya Fariz tak membalas atau mengangkat telepon dari Ibnu sejak beberapa waktu lalu.
Saat Ibnu hendak berdiri, Galuh kembali menahan Ibnu. Sebelum adiknya benar-benar terjatuh tadi, cepat-cepat Ibnu membawa Galuh untuk duduk di kursi halte yang sudah mulai sepi. Sebelumnya memang sempat ramai, tak lama beberapa orang di sana pergi satu-persatu dengan tujuan masing-masing.
"Ibnu!" Itu Genta, dari balik jendela mobil yang ia turunkan terlihat wajah Genta yang tak kalah khawatir. Cowok itu pun turun dari mobilnya berlari kecil menghampiri sahabatnya tak lupa payung yang sudah ia bawa di tangannya.
"Lo sama Genta, ya, Luh? Abang kawal dari belakang," ucap Ibnu. Galuh menggeleng, meski lemas anak itu semakin mengeratkan genggamnya pada jaket milik Ibnu.
"Mau sama Bang Nu, nggak apa-apa pulang naik motor, yang penting bareng." Ibnu menggeleng cepat, ia pun mengangkat tubuh Galuh lalu membawanya ke mobil Genta yang berada di depan mereka. Genta terus memayungi Ibnu yang sudah memastikan adiknya duduk dengan nyaman di dalam mobilnya. Berkali-kali Ibnu meyakinkan Galuh, meski butuh waktu agak lama untuk membujuk Galuh. Barulah Ibnu bisa meyakinkan Galuh kalau besok ia benar-benar menepati janjinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
GALUH 2✓ (REVISI)
Teen FictionBukan Sekuel! Hanya sejarah sederhana tentang dia dan kisahnya. . . . Ibnu hanya perlu waktu untuk memberikan kekuatan pada dirinya sendiri. Bukan berarti dia melupakan satu dari ribuan mimpi yang dianggap adalah nyata. Bukan hanya itu, dia juga h...