Katanya riuh adalah tanda bising yang tak nyata. Katanya, riuh adalah tanda kalau bicara harus selalu tenang. Nyatanya, semua itu tak akan berlaku ketika sampai di rumah saat langit mulai menghitam. Di sana Kamila dan Fariz sudah menunggu dengan raut wajah yang mengkhawatirkan.
Langkah berat yang memasuki ruangan seperti dihantam bebatuan kerikil di dalamnya. Mata bulat itu terpejam ketika dalam gendongan tubuh tegap sang kakak.
"Dia ketiduran aja kok Bun, jangan khawatir."
Tidak ada yang menyahut, Kamila hanya mengangguk kecil, lalu melesat pergi ke dapur untuk mengambil kompres serta membuatkan susu cokelat hangat untuk putra bungsunya. Sementara Fariz memerintahkan kerja otaknya untuk mengikuti Ibnu yang sudah berada di lantai dua, tepatnya di kamar Galuh yang terletak diantara Kamarnya dan Ibnu.
"Dia kenapa?" tanya Fariz tiba-tiba, saat ia baru saja sampai di depan pintu kamar Galuh yang masih terbuka lebar. Ibnu menoleh sebentar usai melepaskan sepatu yang Galuj kenakan. Ia pun duduk di pinggir tempat tidur milik Galuh kemudian menunduk dengan bertopang kedua tangan yang ditautkannya.
"Dia hampir mati tadi, lo nggak tahu gimana paniknya gue, dan lo nanya dia kenapa sekarang?"
"Gue nanya dia kenapa?" Ibnu pun menghela napasnya, lalu berdiri menatap Fariz yang masih diam di tempatnya.
"Lo budeg atau tuli? Gue udah bilang, adek lo hampir mati tadi, kalau aja gue nggak ada, mungkin dia udah terkapar di tanah dengan tumpukan sampah, masih mau nanya dia kenapa? Buka hati lo makanya Bang! Waktu itu lo marahin gue karena nggak becus jagain dia, sekarang lo mau marahin gue lagi dengan alasan yang sama? Di mana otak lo? Gue hampir di drop out sama Bu Geralda, itu yang harus lo tahu."
Fariz bungkam, setelah Ibnu menyelesaikan kalimatnya, cowok itu pun melangkah ke arahnya hendak melewati pintu kamar namun, lengannya tertahan oleh Fariz yang lebih dulu.
"Gue nggak peduli. Itu tanggung jawab lo, harusnya lo tahu, nggak perlu gue jelasin lagi."
"Cih! Terserah lo mau peduli atau nggak, kalau pun lo nggak peduli sama dia, masih ada gue yang peduli dan sayang sama dia. Gue tahu lo benci sama gue, tapi nggak gini caranya, gue hubungin lo berkali-kali, lo dateng nggak ke sekolah? Nggak! Jadi jangan harap Galuh baik-baik aja depan lo nanti, kalau dia udah sadar, minggir!"
Ibnu terlihat sangat kesal, Kamila bisa melihat semuanya ketika wanita itu tiba di lantai dua dengan nampan berisi baskom kecil dan juga segelas susu cokelat hangat kesukaan Galuh. Wanita itu pun melangkah, pura-pura tak mendengar atau melihat apa pun di sana.
"Bun, biar Nu aja," kata Ibnu, setelah ia berhasil melewati Fariz. Cowok itu pun mendekat ke arah sang Bunda, tapi Kamila hanya memberi senyum saat ia dan Ibnu berdiri berhadapan.
"Bunda aja, kamu bersih-bersih aja, bentar lagi Papa pulang anaknya masih dekil," ucap Kamila. Ibnu terkekeh, lalu mengusap kepalanya kemudian mencium pipi sang Bunda dengan sayang.
"Ah, Bunda bisa aja. Yaudah Nu bersih-besih dulu," katanya, lalu Ibnu pun melesat menuju kamarnya yang terletak bersebelahan dengan kamar adiknya.
Kamila masih terpaku di tempatnya menatap Fariz yang berdiri menghalangi pintu kamar. Kamila pun berdeham, membuat Fariz sempat tersentak lalu menyingkir memberi jalan pada Bundanya untuk masuk.
"Kamu kenapa lihatin Bunda begitu?"
"Maaf Bun," ucapnya pelan, Fariz pun melangkah mendekat ke arah Bunda yang sedang mengompres Galuh. "Maaf kalau Fariz nggak bisa nepatin janji, ini berat Bun," katanya lagi.
Kamila pun tersenyum, mengalihkan seluruh fokusnya pada Fariz yang masih berdiri di dekatnya. Diusapnya lengan Fariz yang terasa begitu hangat, namun tatap matanya tertuju pada Galuh yang masih terpejam.
KAMU SEDANG MEMBACA
GALUH 2✓ (REVISI)
Teen FictionBukan Sekuel! Hanya sejarah sederhana tentang dia dan kisahnya. . . . Ibnu hanya perlu waktu untuk memberikan kekuatan pada dirinya sendiri. Bukan berarti dia melupakan satu dari ribuan mimpi yang dianggap adalah nyata. Bukan hanya itu, dia juga h...