Chapter 21

132 16 2
                                    

Sebelum hari ini tiba, ada hari di mana semua alur berubah menjadi pilu. Sebelum hari ini datang, hari itu sebelumnya sudah mengajak lukanya lebih dulu.

Ibnu, anak yang ceria, pandai bergurau walau membosankan untuk Fariz dengar. Tapi jauh sebelumnya, Ibnu pernah mengatakan kalau dia sendiri, di ruangan gelap bersama sepi yang selalu datang. Di ruang yang menyekat waktu tanpa ada satu pun yang tahu.

Jauh sebelum kecelakaan itu hadir, Ibnu juga pernah masuk rumah sakit akibat ulah seseorang. Regi tahu, orang itu, bahkan pernah mengancamnya untuk tidak melapor pada yang berwajib.

Ketika itu, Galuh masih SMP, liburan yang dirasanya menyenangkan, tapi malah membawa tangis Kamila hadir diantara senyum yang Galuh ciptakan.

Galuh, Ibnu, dan Fariz adalah satu. Mereka tak pernah terpisah, meski ketiganya memiliki sifat yang berbeda. Galuh tersenyum, tapi tak banyak yang tahu dibalik senyumnya ada tangis yang tak kalah sesak dari apa yang ia lihat saat Kamila memeluk Fariz.

Galuh tak bisa membayangkan betapa rapuhnya Kamila saat tahu Ibnu telah dibawa kabur oleh orang lain. Dalam situasi yang begitu ramai dan banyak orang yang berjalan ke sana dan ke mari, cukup membuat sedikit pandangan  beralih tanpa sadar.

"Om siapa? Om bukan temen Papa!"

Tepuk tangan itu menjadi pembuka saat Ibnu tersadar dari pingsan. Ia melihat sekitarnya, tak ada siapa-siapa di sana. Ibnu kembali menatap orang yang ia ajak bicara sebelum ia mendengar tawa besar itu menggema, membuat Ibnu terdiam untuk beberapa saat.

"Kamu pasti Garuda 'kan, anak Regi Wijaya?"

Tanya orang tersebut sambil memegang sebelah pipi Ibnu. Ibnu memalingkan wajahnya, membiarkan  hiruk piruk angin yang masuk melewati celah lubang di bawah pimtu itu mengembus.

"Wah, ada tamu di sini, rupanya. Ayah ketemu dia di mana?"

"Stasiun, kamu kenal dia, Nak?"

"Kenal, dong. Dia Garuda Ibnu Haikal. Adik kandung seorang Haikal Ananta Fariz yang bijaksana. Bagaimana aku bisa lupa?"

"Kalian mau ngepain?!"

"Mau buat Fariz menyesal, dia itu nggak pantas menang. Pertandingan waktu itu harusnya dimenangkan oleh gue, Kakak lo curang!"

"Gue nggak peduli, gue nggak ada urusan sama lo atau Bang Fariz. Gue nggak kenal lo, apalagi Ayah lo itu, gue nggak peduli! Biarin gue pergi!"

Kedua lelaki itu tertawa, puas dan sangat bahagia. Sementara Ibnu sudah ketakutan dalam diamnya. Sesekali ia melihat ruang gelap di sudut ruangan, sesekali ia memperhatikan dua orang yang masih sibuk dengan ponselnya. 

Ibnu fidak diam, Ibnu berusaha melepaskan ikatan pada pergelangan tangannya, cukup sakit karena begitu kencang. Sebisa mungkin ia mencoba, sampai akhirnya tali itu mengendur dan Ibnu berhasil melepaskan diri.

Langkah jinjit agar tidak ketahuan, justru membuat Ibnu melakukan kesalahan. Ia tak sengaja menginjak sebuah paralon yang berserakan di lantai kotor juga berdebu. Pandangnya membelalak, Ibnu terkejut ketika salah seorang lelaki itu melangkah mendekati dirinya.

"Gue nggak tahu lo siapa, apa mau lo, dan ada urusan apa sama Abang gue. Tapi tolong, biarin gue keluar. Ini nggak adil. Lo kayak kutu loncat, datang kayak jailangkung. Nyeremin!"

Dibalik rasa takut dan cemasnya Ibnu masih berkata hal yang absurd, baginya itu adalah cara mengurangi ketakutan, tapi setelahnya Ibnu terjatuh. Ia mendongak, menatap lelaki yang kira-kira usianya sama seperti Fariz.  Sorot mata yang tajam juga senyum yang menyebalkan. Ibnu tak lagi menatapnya, ia sudah cukup kesal sampai ia harus mendorong lelaki itu sekeras mungkin sampai terjatuh dan Ibnu pun bisa kabur dari  tempat di mana ia berada sebelumnya. Rumah kosomg berukuran sedang, di sanalah Ibnu di tahan.

GALUH 2✓ (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang