Di kamar, Laila tengah sibuk dengan Kitab di genggaman, muroja’ah hafalan ayat al-Qur’an sakaligus hendak menunggu Fauzah untuk meminta kejelasan dari permasalahan yang saat ini tengah menimpanya.
“Assalamu’alaikum.” Fauzah masuk ke dalam kamar yang tak terkunci itu, kemudian menutupnya kembali.
Laila menutup Kitabnya dan menaruhnya di atas nakas. Ia menyuruh Fauzah untuk duduk di sampingnya.
Di atas ranjang, ia hendak mendengarkan kejelasan.
“Zah, jujur sama aku! Kamu sama Gus Umam kenapa?” Dengan hati-hati Laila menata setiap kata yang ia lontarkan.
Fauzah menatap lekat manik mata Laila, bersiap membawa sahabatnya itu larut dalam kisah cintanya. Fauzah menarik napas panjang, “Jadi gini La. Sebenarnya aku, Gus Umam, dan Fitri ada rasa yang tak biasa diantara kami. Aku sempat mundur, mengikhlaskan Gus Umam untuk Fitri. Namun, Fitri menyangkalnya. Menurutnya, Gus Umam lebih mencintaiku dan hal itu memang aku rasakan. Hingga akhirnya aku harus mengabdi di Surabaya, jauh dari Gus Umam. Ada rasa kekhawatiran, takut, jika kebiasaan perjodohan di kalangan abdi ndalem akan terjadi. Namun, aku berusaha menepisnya, tak ingin memikirkan hal-hal yang belum tentu terjadi.” Air mata Fauzah mulai luruh satu-persatu.
“Tapi, nyatanya hal itu memang terjadi. Gus Umam dan Fitri akan bertunangan besok. Hiks.” Tubuh Fauzah tergunjang, jiwanya kembali lemah hingga ia berada di pelukan Laila sekarang. Laila pun ikut larut dalam suasana, ia menghapus beberapa bulir bening yang berhasil luruh dari mata.
“Sabar ya Zah. Mungkin Allah sudah menyiapkan seseorang yang lebih baik dari Gus Umam.” Laila mengeratkan pelukannya.
…
Hari bahagia telah tiba. Hari yang dinantikan setiap insan yang bernafas. Sepasang muda-mudi saling mengikat janji untuk hidup semati dalam ikatan yang suci. Berbeda dengan Umam, pria itu mengurung diri di kamar, merutuki kesalahan yang telah ia perbuat. Wajahnya murung, sama sekali tak ada rona bahagia di sana. Itu semua karena perjodohan ini. Ingin sekali ia menolak permintaan kedua orang tuanya, namun, tidak semudah itu. Kyai Mansyur adalah orang yang kekeh dengan pendiriannya, sekali tidak ya tidak, dan sekali memerintah harus segera dilaksanakan."Argh ...," pekik Umam. Kini ia tengah duduk di bibir ranjang sembari memandangi wajah gadis impian dalam gawainya.
Tok tok tok.
"Umam, apa kamu sudah siap?" tanya Nyai Mira dari balik pintu.
"Inggih Umi. Bentar lagi."
"Cepet loh Le, itu udah ditungguin Abine."
"Inggih Umi."
Suara Nyai Mira menghilang bersamaan dengan langkah kakinya.
"Perjodohan apa ini? Aku sama sekali tidak bahagia. Sama sekali tidak menginginkannya." Dengan langkah lemah, Umam keluar dari kamar menghampiri pria yang ia segani. Kemeja hitam dengan celana yang senada telah menempel di tubuhnya. Ia nampak tampan.
"Loh, mukamu kok kusut gitu toh Le, hari ini kan hari pertunanganmu, seharusnya kamu itu seneng. Lah ini kok malah tak berdaya, kayak mau disunati mindo aja." Kyai Mansyur terkekeh melihat ekspresi putranya.
"Mungkin dia udah ndak sabar lagi ketemu calonnya Bi." Kedua pasutri itu tengah asik melempar tawa.
"Bi, Umam mau bicara penting." Tak terima dengan tuduhan Nyai Mira, akhirnya Umam angkat bicara.
"Ngomong opo meneh toh le? Udah, udah, ngomongnya nanti saja! Kita ini sudah telat, lihat ta sekarang jam berapa." Kyai Mansyur melihat pada arloji di tangannya.
"Tapi Bi -"
"Halah, udah ayo masuk mobil."
Tanpa berlama-lama mobil keluarga Umam mulai membelah jalanan menuju rumah Fitri, calon tunangannya. Perjalanan dari pondok Darun Najah ke rumah Fitri hanya memakan waktu setengah jam. Dalam perjalanan, hening yang Umam rasakan, meskipun gelak tawa tetrdengar menggelegar dari Kyai Mansyur dan Nyai Mira. Sesekali ia ikut andil ketika mendapat pertanyaan dari keduannya dengan jawaban yang sekedarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
MIMPI NIKAH Sama GUS
RomanceMimpi Nikah sama Gus Synopsis Ini kisah tentang seorang santri biasa yang berharap menjadi istri seorang Gus. Tentang pengorbanan seorang sahabat sekaligus ujian seberapa kuat persahabatan mereka. Kisah cinta sederhana yang bernuansa pondok. Dibungk...