Part 11

318 19 0
                                    

Usai pertemuan dua keluarga minggu lalu, hati Umam menjadi tak menentu. Dia bingung harus melakukan apa. Dia bingung antara memperjuangkan cintanya atau tawadhu' terhadap keinginan kedua orang tuanya. Mengingat dirinya adalah anak semata wayang, jadi orang tuanya berharap lebih padanya. Orang tuanya hanya ingin yang terbaik bagi dirinya. Terlebih, keluarganya dan keluarga gadis itu sangat dekat. Bukankah pernikahan yang baik itu adalah yang dapat mempererat hubungan kekeluargaan.

"Apa yang kamu lakukan Umam. Apa kamu rela membiarkan cintamu sirna begitu saja. Apa kamu tidak memikirkan bagaimana perasaan Fauzah. Kau sudah menyuruhnya untuk bersabar menunggumu. Tapi apa balasannya? Kau malah menghianatinya. Besok. Besok lusa kau akan tunangan dengan gadis yang sudah dijodohkan denganmu. Lalu bagaimana dengan Fauzah? Kau jahat Umam. Kau Jahat. Kau tidak peduli dengan Fauzah. Argh ...." Umam masih duduk di atas sajadah. Usai salat tahajud, pria itu mencurahkan segala gundahnya pada sang Kholiq, berharap dirinya akan mendapat petunjuk.

Pria itu tak dapat menolak keinginan orang tuanya. Terlebih kalimat "In syaa Allah" telah terlontar dari bibirnya. Entah sadar atau tidak, kalimatnya itu telah menjadikan semua orang berfikir bahwa ia telah setuju akan perjodohan itu.

'Maafkan aku Fauzah,' lirih Umam.

Alunan lagu "Ana Uhibbuka Fillah" berdendang dari hand phone Fauzah. Sepertinya ada panggilan yang masuk. Benda pipih itu senantiasa bergetar. Fauzah baru saja ingin berangkat mengajar, tapi ia urungkan, siapa tau telpon tersebut penting. Tertera jelas nama Fatma di benda itu. Panggilan video, segera ia mengangkatnya. Mungkin sahabatnya itu kangen. Karena kesibukan masing-masing, mereka jadi jarang berkomunikasi.

"Assalamu'alaikum Fat."

Benda pipih itu menampakkan wajah kedua sahabat yang saat ini tengah ia rindukan. Namun, di mana Fitri? Ia tidak tampak, apa mereka tidak bersama? Pertanyaan itu terlontar begitu saja dikepala Fauzah.

"Wa'alaikumussalam warahmatullah Zah."

"Gimana kabar kalian?"

"Alhamdulillah baik Zah," jawab Fatma cepat. Kemudian disambung anggukan dari Anggun.

"Kalian kenapa? Kayaknya kok panik gitu? Apa kalian belum kiriman. Ckck."

"Bukan itu Zah, tapi ada hal buruk."

"Hal buruk? Tentang apa?" Fauzah mengeryitkan dahi.

"Tapi kamu janji nggak akan marah ya Zah. Sebelumnya kamu atur nafas kamu dulu, supaya kamu gak syok nanti."

"Iya iya, buruan. Aku udah kepo ini."

"Em, em, Gus Umam Zah. Gus Umam."

"Gus Umam Kenapa?" Fauzah nampak panik.

"Lusa. Lusa Gus Umam akan tunangan."

Deg.

Mendengar hal itu, hati Fauzah langsung nyeri. Ia tak mampu lagi menopang tubuhnya. Gadis itu terduduk lemas. Ketakutan yang dulu sempat hinggap dihatinya, kini terjadi juga. Sakit. Tentu sakit. Pria itu. Pria yang menyuruhnya untuk bersabar, lusa ia akan bertunangan. Derai air mata membasahi wajah ayu Fauzah. Make up yang tadinya sudah ia persiapkan untuk mengajar, kini luntur sudah bersamaan dengan lunturnya kepercayaannya pada Umam.

Sambungan telepon masih terhubung. Suara isakan gadis itu masih bisa terdengar jelas oleh Fatma, dan Anggun yang sangat memahami perasaan sahabatnya. Mereka tak menyangka, jika pria sealim Umam pun bisa memberikan harapan palsu pada Fauzah.

"Dengan siapa Gus Umam akan bertunangan?" Bibir Fauzah bergetar, namun, ia perlu tau siapa yang telah menggantikan posisi yang seharusnya ia miliki.

"Em." Fatma nampak ragu untuk mengatakan yang sebenarnya.

"Siapa Fat?" Fauzah mengiba, suaranya nampak parau.

"Fitri, Zah. Fitri," lirih Fatma.

Tangisan Fauzah pecah mendengar nama sahabatnya disebut. Bagaimana bisa Fitri melakukan hal itu? Bukankah ia yang menyuruh Fauzah untuk maju mendapatkan hati Umam? Bukankah ia berkata telah mengikhlaskan Umam untuk sahabatnya? Namun, sekarang setelah Fauzah pergi ke Surabaya untuk mengabdi, ia malah mengingkari janji. Persahabatan macam apa ini Fit?

Fauzah makin lesu. Perasaannya berkecamuk menjadi satu. Ingin rasanya ia memaki orang yang telah membuatnya hancur. Kitab yang ia peluk pun jatuh bersamaan dengan hati dan kepercayaannya yang mulai runtuh. Semangat awal untuk mengajar pun telah pupus.

Kebetulan Laila telah berangkat mengajar, ia ada jadwal pagi, sehingga Fauzah dapat melapiaskan semua rasa kecewanya melalui tangisnya. Ia berteriak, tak peduli apa kara orang.

Disebrang sana, kedua sahabatnya ikut tersakiti karena ulah Umam dan Fitri. Kedua orang itu telah mempermainkan hati Fauzah. Terlebih Fitri, keduanya sampai tak habis pikir terhadap sahabatnya itu. Apa? Sahabat? Bahkan ia tak layak dipanggil sebagai seorang teman.

"Sabar Zah. Sabar," lirih Anggun. Gadis itu menahan tangis di matanya, ia tak ingin semakin membuat Fauzah bersedih.

"Kamu harus kuat Zah, mungkin Gus Umam bukan jodoh kamu. Mungkin Allah sudah mempersiapkan jodoh yang lebih baik dari Gus Umam. Inget Zah, rencana Allah adalah yang terbaik. Kita hanya bisa berencana, selebihnya Allah. Kamu harus kuat!" Suara Anggun terdengar dari hand phone Fauzah.

Hanya anggukan yang dapat ia berikan pada sahabatnya. Pikirannya kelu.

"Aku mau sendiri dulu guys. Makasih infonya. Hiks," lirih Fauzah. Ia ingin segera mengakhiri panggilan itu.

"Ya udah kalo gitu. Jaga diri baik-baik yah. Jangan terlalu dipikirkan. Kami selalu ada buat kamu Zah. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam warahmatullah."

Tut. Panggilan terputus.
Suasana kamar masih sunyi, hanya isakan tangis yang mengisi.

"Kamu jahat Gus. Aku membencimu. Kau pembohong, pendusta, PHP. Dan kamu Fitri, ah, shit." Semua cacian ia lontarkan pada orang yang telah menyakitinya. Tak puas, gadis itu masih memukul-mukul bantal. Tak peduli dengan keadaan kamarnya sekarang.

Selang beberapa menit, terdengar ketukan pintu dari luar.

"Assalamu'alaikum."

Dari suaranya, Fauzah sudah mengetahui jika itu Laila. "Wa'alaikumussalam warahmatullah. Masuk aja La."

Lepas membuka pintu, mata Laila menyapu isi kamar. Gadis ayu itu terperangah melihat kondisi kamarnya. Terlebih ia melihat temannya yang terduduk tak berdaya. Mata Fauzah sembab, wajahnya nampak parau. Sepertinya ia usai menangis. Tanpa pikir panjang, Laila langsung berhambur mendekati Fauzah. Isakan tangis masih dapat ia dengar. Ingin bertanya, tapi gadis itu memilih untuk menenangkan Fauzah terlebih dahulu.

"Tenang Zah."

Air mata kembali tumpah. Sisa-sisa bening air mata ia teteskan dipelukan Laila.

"Sabar Zah, yang tenang. Coba tarik napas lalu buang perlahan."

Fauzah menuruti saran Laila.

"Orang yang aku cinta. Orang yang aku percaya. Orang yang aku ..., hiks-" Fauzah merenggangkan pelukannya, menatap Laila pekat. "lusa. Lusa dia akan tunangan La. Dia udah menghianati janjinya sendiri. Hiks. Hiks." Fauzah kembali memeluk Laila. Dalam suasana seperti itu, gadis itu membutuhkan tempat sandaran.

"Sabar yah Zah. Sabar. Kamu harus kuat." Laila berusaha menguatkan Fauzah meskipun ia belum paham betul maksud dari perkataan sahabatnya.

'Kenapa kamu memilih mengambil bulan yang sudah pasti kau tak dapat mengambilnya, sedangkan di sini ada aku yang selalu ada buat kamu.'

Aziz masih berdiri di luar jendela kamar Fauzah. Sepertinya dia sangat khawatir dengan keadaan gadisnya. Sebenarnya ia sudah tau apa yang tengah dirasakan Fauzah. Umam. Pria itu telah menceritakan semua padanya. Bahkan dirinya diundang dalam tunangan tersebut.

Entah senang atau sedih. Pria itu bingung dengan perasaannya. Disatu sisi, dirinya sangat mengharapkan Fauzah menjadi pelengkap hidupnya. Namun di sisi lain, dirinya tak kuasa melihat gadisnya menangis.

'Ukhty, sebegitu sempurnakahnya Gus Umam di matamu. Sampai-sampai diriku tak sebanding dengannya,' lirih Aziz.

Pria itu mulai menjauh dari jendela kamar Fauzah. Langkahnya tak menentu, ia masih bingung dengan perasaannya. Yang pasti, ia sudah menyerahkan semuanya pada Dzat Yang Membolak-balikkan hati.

MIMPI NIKAH Sama GUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang