'Bukannya aku hendak berdusta, tak ada maksud untuk mengingkari ucapanku padamu. Sungguh, semua ini aku lakukan karena terpaksa. Entah senang atau resah yang seharusnya kurasa, itu semua tak akan mengubah keadaan. Bahkan, jika aku menangis pun tak akan menyelesaikan. Aku tak ingin ingkar, aku akui bahwa rasa itu masih ada, bahkan harapan untuk memilikinya pun semakin menggelora. Silahkan kamu memanggilku egois, atau bahkan munafik. Ya, itulah aku. Maaf kan aku Zah. Kemarin, lamaran itu telah datang. Bapak dan Ibu dipanggil Kyai Mansyur untuk datang ke pesantren, dan saat itu aku yang tengah membantu dapur ndalem seketika pun langsung di panggil oleh Umi. Aku belum mengerti maksud Umi, hingga akhirnya Abine menyampaikan maksud bahwa beliau ingin mengkhitbah diriku untuk Gus Umam. Aku tak berpikir panjang, melihat senyum pada Bapak dan Ibu, tak ada alasan bagiku untuk menolak lamaran itu. Sekilas aku melirik pada Gus Umam, wajahnya nampak lesu, aku tau, dibalik mimiknya, ada emosi yang berusaha ia redam. Sekali lagi maaf kan aku Zah.' Fitri mengirim untaian racun itu pada Fauzah. Tidakkah ia sadari bahwa hal itu semakin membuat Fauzah larut dalam kesedihan. Entah apa tujuan Fitri melakukan itu.
Usai melihat isi pesan dari Fitri, Fauzah langsung melempar telepon genggamnya, beruntung tidak sampai rusak. Hp itu ia dapatkan dari Abinya, sebagai hadiah kelulusannya dari pesantren Darun Najah.
Gadis itu kembali menangis sejadi-jadinya. Sore itu ia habiskan untuk merutuki nasibnya. Kini ia tengah berada di titik terendah.
Buku dairy yang berwarnakan hitam itu masih terlentang di nakas. Dairy itu telah menjadi saksi bisu perjalanan cinta Fauzah dan Umam sampai kandas hingga detik ini. Sebenarnya cinta mereka belum kandas sempurna, hanya saja gadis itu memilih untuk mundur dan menerima keadaan. Ia hanya bisa pasrah. Dirinya berfikir, sudah tidak ada jalan lagi selain mundur. Tak ada untungnya memikirkan seseorang yang sama sekali tak memperdulikannya. Mungkin, ini adalah teguran dari Allah karena ia telah menduakan-Nya. Tak seharusnya ia mencintai manusia melebihi rasa cintanya pada Sang Pencipta. Fauzah membuang napas kasar, berkali-kali bibirnya beristigfar.
Sunyi.
Malam menyapa tanpa sua dan salam. Terbisu menemani keheningan hati Fauzah. Laila sudah terbuai dalam rayuan malam. Selepas Isya' tadi, Laila langsung menghamburkan badannya di ranjang, nampaknya gadis ayu itu tengah kelelahan. Dalam tidurnya, senyum merekah di bibir Laila, entah apa yang dia mimpikan.
Isakan tangis yang sedari tadi ia keluarkan, tidak menjadikannya lelah. Malah gadis itu enggan untuk beranjak tidur. Padahal jam sudah menunjukkan pukul dua, dan satu jam lagi aktivitas santri akan segera di mulai.
Kini Fauzah tengah berdiri di depan jendela kamarnya, menikmati udara malam. Di luar sana nampak seorang pria yang baru saja keluar dari mushollah. Sedikit mengusik kesedihannya.
"Siapa itu? Jam segini udah salat tahajud aja. Sregep amat."
Sepertinya pria berpeci itu menyadari jika ada yang memandanginya. Pria itu mendongak menatap Fauzah, lalu kemudian menyunggingkan senyum. Apa dia tau jika itu Fauzah?
"Gus Aziz. Manis sekali jika tengah tersenyum. Hais, apa yang kau pikirkan Fauzah."
Mengetahui jika itu Aziz, Fauzah langsung menutup kembali jendela kamarnya, takut jika besok akan mendapat masalah. Gadis itu memaksakan kedua matanya untuk tertidur, hingga akhirnya ia menyusul Laila ke alam mimpi. Beruntung saja hari ini dia tengah datang bulan, jadi tidak ada kewajiban untuk bangun pagi.
…
Kicauan burung yang bertengger di pohon, sudah siap untuk membangunkan Fauzah. Angin telah membawa suara burung-burung itu hingga terdengar di telinga Fauzah. Gadis itu mulai mengerjap-ngerjapkan mata, dilihatnya arloji di tangannya, tepat pukul tujuh."Astagfirullah al 'adzim. Kenapa Laila tidak membangunkanku. Hari ini ada jadwal mengajar pagi lagi. Duh, harus cepet-cepet. Kalo sampe telat, mati aku. Bakalan kena ta'dzir dari Gus Aziz. Pria itu meskipun tampan, tapi tetap saja galak."
KAMU SEDANG MEMBACA
MIMPI NIKAH Sama GUS
عاطفيةMimpi Nikah sama Gus Synopsis Ini kisah tentang seorang santri biasa yang berharap menjadi istri seorang Gus. Tentang pengorbanan seorang sahabat sekaligus ujian seberapa kuat persahabatan mereka. Kisah cinta sederhana yang bernuansa pondok. Dibungk...